Beda dengan Anies Baswedan, Sandiaga Uno Larang Anak Ikut LPDP

Selasa, 01 Juli 2025 | 10:02:32 WIB
Beda dengan Anies Baswedan, Sandiaga Uno Larang Anak Ikut LPDP

JAKARTA - Program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) kembali menjadi perbincangan publik. Namun, kali ini bukan soal jumlah penerima, destinasi studi, atau kuota pendaftar, melainkan soal siapa yang layak untuk menerima beasiswa bergengsi milik negara ini. Perdebatan ini mencuat setelah dua tokoh nasional, Sandiaga Uno dan Anies Baswedan, menyuarakan pandangan berbeda tentang penerapan kriteria penerima LPDP.

Bagi sebagian orang, LPDP adalah harapan—peluang emas untuk melanjutkan pendidikan tinggi, baik di dalam negeri maupun luar negeri, tanpa terbebani biaya. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan krusial yang kini kembali mengemuka: apakah semua orang pantas menerima LPDP? Atau adakah kelompok yang semestinya tak lagi mengandalkan dana negara untuk pendidikan?

Inilah titik perbedaan yang menarik perhatian publik antara Sandiaga Uno dan Anies Baswedan.

Sandiaga Uno, tokoh publik sekaligus pejabat negara, dalam sebuah pernyataan menyebutkan bahwa beasiswa LPDP sebaiknya difokuskan untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan secara ekonomi. Ia menekankan bahwa dana negara harus diarahkan pada pemerataan akses pendidikan, bukan untuk mereka yang secara finansial sudah mapan.

Di sisi lain, Anies Baswedan mengambil posisi berbeda. Ia menganggap bahwa LPDP adalah instrumen meritokrasi, dan bahwa semua warga negara berhak mendapat kesempatan yang sama jika mampu membuktikan kapasitas akademik dan kontribusi yang akan diberikan kepada bangsa. Menurut Anies, membatasi LPDP hanya untuk yang tidak mampu secara ekonomi bisa menciptakan diskriminasi yang justru menghambat semangat keunggulan.

Isu ini jelas menyentuh aspek mendalam tentang keadilan sosial dan tujuan pendanaan publik. Di satu sisi, beasiswa berbasis kebutuhan (need-based scholarship) memang dirancang untuk mengangkat kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Tapi di sisi lain, pendekatan berbasis prestasi (merit-based scholarship) juga punya tempat dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang kompetitif dan produktif.

Program LPDP sendiri, sejak diluncurkan, memadukan kedua prinsip tersebut. Penerima beasiswa diseleksi melalui tahapan ketat: administratif, akademik, hingga wawancara. Tidak hanya dituntut unggul secara intelektual, pelamar juga diharuskan menunjukkan rencana kontribusi nyata setelah menyelesaikan studi.

Namun belakangan, masyarakat mempertanyakan beberapa penerima LPDP yang berasal dari latar belakang ekonomi mapan, bahkan terafiliasi dengan kalangan elite. Hal ini memicu diskursus publik: apakah dana pendidikan dari APBN—yang notabene berasal dari pajak seluruh rakyat—seharusnya juga digunakan untuk membiayai orang-orang yang sebenarnya mampu membayar sendiri?

Argumen dari pihak yang mendukung pembatasan penerima LPDP berdasarkan kondisi ekonomi menyebut bahwa keadilan distributif harus menjadi dasar utama. Dalam kondisi fiskal yang penuh tantangan, dana pendidikan seharusnya diprioritaskan bagi kelompok marjinal yang tidak memiliki akses pendidikan tinggi tanpa bantuan negara.

Di sisi lain, pihak yang mempertahankan sistem seleksi terbuka seperti sekarang menilai bahwa membatasi berdasarkan status sosial justru bertentangan dengan semangat meritokrasi dan konstitusi. Setiap warga negara berhak atas pendidikan dan kesempatan yang sama, selama memenuhi kualifikasi.

Muncul pula usulan jalan tengah dari kalangan akademisi dan pengamat kebijakan: memberikan jalur afirmatif khusus untuk masyarakat kurang mampu, sambil tetap mempertahankan jalur umum yang terbuka berdasarkan prestasi. Dengan demikian, baik aspek keadilan sosial maupun pencapaian akademik bisa berjalan seiring.

Terlepas dari perbedaan pandangan antara Sandiaga Uno dan Anies Baswedan, polemik ini mengungkapkan bahwa isu pendidikan tak pernah lepas dari politik kebijakan dan prioritas nasional. Bagaimana negara mengelola dana pendidikan adalah cermin dari nilai dan arah masa depan bangsa.

Sebagian masyarakat menyambut baik munculnya perdebatan ini, karena dianggap membuka ruang evaluasi terhadap kebijakan LPDP yang selama ini terkesan elitis. Tidak sedikit alumni LPDP yang kini menduduki posisi strategis di berbagai sektor, namun juga ada yang dinilai belum memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan sebagaimana dijanjikan saat seleksi.

Kini, LPDP bukan hanya soal siapa yang lolos dan belajar di luar negeri, tetapi telah berkembang menjadi simbol arah kebijakan pendidikan nasional: apakah hendak diarahkan untuk mengangkat kaum terpinggirkan, memacu daya saing global, atau keduanya?

Dengan sorotan publik yang terus meningkat, tampaknya wacana revisi mekanisme LPDP akan menjadi bagian penting dalam diskusi kebijakan pendidikan ke depan. Bukan tidak mungkin, perdebatan ini akan melahirkan desain baru beasiswa yang lebih adaptif, inklusif, dan berdampak luas.

Satu hal yang pasti: masa depan pendidikan tinggi Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana negara memilih mendukung warganya—bukan hanya mereka yang pintar, tetapi juga mereka yang selama ini tidak punya kesempatan untuk berkembang.

Terkini