JAKARTA - Hasil mengecewakan yang dialami Timnas Putri Indonesia saat kalah 0-2 dari Pakistan dalam lanjutan Grup D Kualifikasi Piala Asia Putri 2026 harus dijadikan titik balik pembenahan menyeluruh, bukan sekadar disesali sebagai kegagalan di lapangan. Laga yang berlangsung di Stadion Sport Center Kelapa Dua, Tangerang, Rabu malam, 2 Juli 2025 ini memperlihatkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah untuk membangun sepak bola wanita yang kompetitif dan berdaya saing.
Dari jalannya pertandingan, terlihat jelas betapa rapuhnya koordinasi antarlini Garuda Pertiwi. Gol bunuh diri pada menit kedelapan akibat miskomunikasi lini belakang menggambarkan kesiapan mental yang belum matang. Nadia Khan dari Pakistan sukses memanfaatkan celah, melepaskan umpan silang yang membentur Gea Yumanda dan membuat bola justru masuk ke gawang sendiri.
Hanya selang 12 menit, gawang Indonesia kembali kebobolan untuk kedua kalinya. Setelah gol tersebut, kepercayaan diri para pemain tampak menurun drastis, dan dominasi permainan justru dipegang Pakistan yang tampil lebih rapi dalam mengatur serangan.
Pertandingan ini harus menjadi evaluasi serius bagi seluruh elemen yang terlibat dalam pengelolaan sepak bola putri, dari federasi, pelatih, hingga pemerintah. Sebab jika hanya berhenti pada penyesalan hasil, kegagalan akan terus terulang di masa depan.
Bukan rahasia lagi, sepak bola wanita kerap terpinggirkan di Indonesia. Padahal, kehadiran talenta-talenta muda seperti Claudia Scheunemann, Zahra Muzdalifah, dan Iris De Rouw seharusnya bisa menjadi modal besar untuk bersaing di level Asia. Namun potensi hanya akan menjadi angka di atas kertas tanpa adanya sistem pembinaan yang terstruktur, kompetisi yang rutin, serta pelatih dengan keahlian khusus menangani sepak bola wanita.
Kesalahan mendasar ini terlihat lagi di menit akhir, ketika peluang emas Indonesia lewat aksi Awi gagal dikonversi menjadi gol setelah tembakannya ditepis kiper Pakistan, Zeeyana Jivraj. Bola muntah juga tak dimanfaatkan, memperlihatkan bahwa finishing dan mental dalam penyelesaian akhir masih menjadi titik lemah Garuda Pertiwi.
Sepak bola putri di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar dukungan moral menjelang turnamen besar. Ia butuh ekosistem pembinaan yang terintegrasi, mulai dari level sekolah, akademi, hingga kompetisi profesional. Liga 1 Putri yang belum berjalan secara konsisten harus dihidupkan lagi agar pemain punya panggung untuk mengasah kemampuan dan mental bertanding secara rutin.
Perlu juga perbaikan dari sisi teknis dan manajerial. Pembentukan timnas jangan hanya berbasis rekomendasi mendadak, tetapi melalui pemantauan performa pemain secara berkelanjutan. Rekrutmen berbasis data dan prestasi sepanjang musim akan menghasilkan tim yang lebih kompetitif.
Satu hal yang tidak boleh luput adalah pengembangan kualitas pelatih. Pelatih sepak bola wanita memerlukan pendekatan yang memahami perbedaan karakteristik fisiologis dan psikologis pemain putri dibanding pemain laki-laki. Tanpa pelatih dengan pemahaman khusus ini, strategi permainan dan pembinaan tak akan berjalan optimal.
Selain dari aspek teknis, sepak bola wanita Indonesia butuh dukungan publik yang lebih luas. Kampanye nasional untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sepak bola putri sangat mendesak. Sebab tanpa perhatian publik dan eksposur media, regenerasi dan semangat pemain bisa terhambat. Dukungan sponsor juga akan lebih sulit hadir jika sepak bola putri tidak mendapat sorotan yang layak.
Seperti yang dikemukakan dalam banyak forum, sepak bola putri bukan untuk dikasihani, melainkan harus diberi kesempatan berkembang setara. Kekalahan dari Pakistan tak seharusnya dipandang sebagai akhir perjalanan, tetapi lonceng untuk mulai membenahi manajemen dan pembinaan. Dari kekalahan ini, kita belajar bahwa Indonesia tidak kekurangan talenta, hanya saja sistemnya yang belum mendukung mereka untuk berkembang maksimal.
Apresiasi tetap patut diberikan kepada para pemain yang telah menunjukkan kerja keras dan semangat juang di lapangan. Namun, apresiasi saja tidak cukup. Mereka butuh sistem yang berpihak, fasilitas yang memadai, dan kompetisi yang teratur agar kualitas mereka terus meningkat.
Federasi juga harus berani mengevaluasi total strategi pembinaan, termasuk mengadopsi metode modern dan merancang roadmap jangka panjang. Roadmap ini harus berisi target realistis, baik untuk prestasi di tingkat Asia Tenggara, Asia, hingga mimpi menembus Piala Dunia Wanita.
Baca juga: Empat Ratu Lapangan dari Eropa, Garuda Putri Bersayap Internasional
Hasil buruk ini jelas bukan sesuatu yang menyenangkan, tetapi jika dijadikan momentum, ia bisa membuka jalan bagi transformasi besar. Dunia olahraga bergerak cepat. Jika Indonesia tak segera melakukan perubahan, maka sepak bola putri kita hanya akan menjadi penggembira setiap turnamen.
Sepak bola wanita Indonesia punya masa depan yang cerah, asalkan perubahan dilakukan mulai sekarang. Saatnya berhenti menyalahkan hasil, dan mulai memperbaiki akar masalah yang membuat Garuda Pertiwi sulit terbang tinggi.