Harga Minyak Dunia Naik karena Geopolitik

Kamis, 03 Juli 2025 | 14:12:58 WIB
Harga Minyak Dunia Naik karena Geopolitik

JAKARTA - Fluktuasi harga minyak mentah di pasar global kembali menjadi perhatian, menyusul kenaikan signifikan yang dipicu oleh ketegangan geopolitik dan dinamika perdagangan internasional. Harga minyak dunia mencatatkan peningkatan tajam, memperkuat tren naik yang telah terbentuk dalam beberapa sesi sebelumnya.

Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus mengalami lonjakan sebesar US$2 atau sekitar 3,1 persen. Dengan kenaikan ini, harga WTI berada di level US$67,45 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara itu, minyak mentah Brent yang merupakan acuan global, untuk pengiriman September juga mencatatkan peningkatan sebesar US$2 atau sekitar 3 persen, sehingga diperdagangkan di angka US$69,11 per barel di ICE Futures Exchange di London.

Kenaikan harga ini tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor teknikal di pasar komoditas. Sejumlah perkembangan geopolitik yang terjadi baru-baru ini turut memainkan peran besar dalam mengerek harga komoditas energi global, khususnya minyak mentah.

Salah satu pemicu utama yang memberikan tekanan terhadap harga minyak adalah kebijakan baru dari pemerintah Iran yang memperketat pengawasan terhadap aktivitas internasional di wilayah nuklirnya. Iran secara resmi memberlakukan undang-undang yang menyatakan bahwa setiap bentuk inspeksi dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) atas situs-situs nuklirnya ke depan harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi negara tersebut.

Langkah tersebut diambil sebagai reaksi keras terhadap dugaan keberpihakan badan internasional tersebut kepada negara-negara Barat. Iran menilai bahwa sikap IAEA memberikan pembenaran tidak langsung terhadap aksi-aksi militer yang dilakukan Israel, termasuk serangan udara yang belakangan marak terjadi. Keputusan Teheran ini menambah ketegangan di kawasan Timur Tengah, yang selama ini dikenal sebagai kawasan strategis penghasil minyak dunia.

Ketegangan di Timur Tengah sering kali berdampak langsung terhadap harga minyak global, mengingat kawasan ini menyumbang sebagian besar produksi dan ekspor minyak mentah dunia. Ketidakpastian politik, potensi konflik, atau gangguan terhadap rantai pasok di wilayah ini dapat memicu kekhawatiran di pasar dan mendorong para investor untuk mengambil posisi spekulatif yang menyebabkan lonjakan harga.

Selain isu geopolitik, pasar juga bereaksi terhadap dinamika perdagangan internasional. Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Vietnam kini ikut mempengaruhi pergerakan harga komoditas energi. Dalam kesepakatan terbaru, kedua negara sepakat atas pemberlakuan tarif sebesar 20 persen terhadap sejumlah produk asal Vietnam yang diekspor ke pasar Amerika.

Kebijakan tarif ini memunculkan kekhawatiran akan dampak lanjutan terhadap stabilitas perdagangan global dan potensi penyesuaian rantai pasok energi di kawasan Asia Tenggara. Meski tarif tersebut tidak langsung berkaitan dengan minyak, namun pengaruhnya terhadap sentimen pasar cukup kuat. Pelaku pasar melihat kebijakan perdagangan semacam ini sebagai pemicu potensi perlambatan ekonomi, yang pada akhirnya bisa berdampak terhadap permintaan dan distribusi energi global.

Faktor lain yang juga mendorong kenaikan harga minyak adalah sentimen pasar yang mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap pasokan di masa mendatang. Dengan meningkatnya ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat, serta kebijakan dalam negeri yang membatasi akses internasional, kemungkinan terganggunya pasokan minyak dari kawasan tersebut menjadi perhatian serius.

Investor dan pelaku pasar energi kini lebih waspada terhadap situasi yang berkembang. Ketegangan diplomatik bisa berdampak terhadap produksi maupun distribusi minyak mentah, terutama jika sanksi internasional kembali diberlakukan atau eskalasi militer terjadi. Dalam kondisi seperti ini, harga minyak cenderung bergerak naik sebagai refleksi dari risiko dan spekulasi yang terjadi di pasar global.

Sementara itu, di sisi lain, permintaan minyak dari negara-negara konsumen besar tetap stabil, bahkan cenderung menguat. Di tengah proses pemulihan ekonomi global pasca-pandemi, kebutuhan energi di sektor transportasi, industri, dan pembangkit terus mengalami peningkatan. Keseimbangan antara permintaan yang tumbuh dan potensi pasokan yang terganggu menciptakan tekanan tambahan yang memperkuat posisi harga minyak.

Secara teknikal, penguatan harga minyak ini juga ditopang oleh aksi beli dari para trader yang memanfaatkan momentum geopolitik untuk mengamankan posisi mereka di pasar komoditas. Dalam beberapa pekan terakhir, tren harga minyak dunia menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi, seiring dengan banyaknya faktor eksternal yang mempengaruhi pergerakan pasar.

Dengan latar belakang ini, analis pasar memperkirakan harga minyak dunia akan tetap berada dalam tekanan naik dalam jangka pendek, terutama jika ketegangan di kawasan Timur Tengah tak kunjung mereda. Selain itu, arah kebijakan perdagangan antara negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat dan mitra dagangnya, juga akan terus diawasi ketat karena berpotensi menimbulkan gangguan terhadap distribusi energi global.

Kondisi ini memunculkan tantangan tersendiri bagi negara-negara pengimpor minyak seperti Indonesia. Ketergantungan terhadap minyak dunia membuat stabilitas harga energi di dalam negeri sangat bergantung pada dinamika pasar global. Dengan harga minyak mentah yang terus menanjak, tekanan terhadap anggaran subsidi energi dan harga jual dalam negeri bisa meningkat, sehingga diperlukan strategi pengelolaan energi yang lebih hati-hati dan adaptif.

Secara keseluruhan, kombinasi antara kebijakan politik luar negeri, ketegangan regional, dan dinamika perdagangan global kini menjadi faktor utama yang memengaruhi harga minyak. Jika situasi ini terus berlanjut, maka harga minyak dunia berpotensi memasuki fase bullish lebih lama, dengan konsekuensi ekonomi yang harus diantisipasi oleh para pemangku kepentingan di berbagai negara.

Terkini