JAKARTA - Langkah dramatis kembali diambil pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Dalam kebijakan terbaru yang menuai sorotan global, Trump menandatangani "One Big Beautiful Bill Act"—sebuah undang-undang komprehensif yang secara signifikan memperluas peluang bagi industri energi fosil di wilayah federal, sekaligus mengakhiri berbagai insentif penting bagi sektor energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
Penandatanganan undang-undang ini menandai titik balik besar dalam arah kebijakan energi AS, memperjelas keberpihakan pemerintah terhadap minyak, gas, dan batu bara. Kebijakan ini dinilai akan memperkuat dominasi energi fosil di negara tersebut, sekaligus melemahkan perkembangan industri energi bersih yang selama ini tumbuh pesat berkat dukungan subsidi dan stimulus pemerintah federal.
Akses Lebar ke Lahan Federal untuk Eksploitasi Energi Fosil
Dalam pernyataan resminya, Presiden Donald Trump menggambarkan undang-undang ini sebagai "kemenangan besar untuk rakyat Amerika." Ia menyebutnya sebagai “One Big Beautiful Bill,” merujuk pada besarnya cakupan regulasi dan dampak yang diharapkan dari penerapannya.
“Ini tentang pekerjaan. Ini tentang kedaulatan energi. Ini tentang memenangkan kembali industri kita yang selama ini ditekan oleh regulasi tidak masuk akal,” ujar Trump dalam seremoni penandatanganan yang digelar di Gedung Putih.
Melalui kebijakan baru ini, pemerintah federal secara resmi membuka kembali jutaan hektar lahan publik—yang sebelumnya dilindungi atau dibatasi aksesnya—bagi perusahaan-perusahaan energi untuk mengebor minyak, mengeksplorasi gas alam, dan menambang batu bara. Departemen Dalam Negeri kini memiliki wewenang yang lebih besar untuk menyetujui izin eksplorasi dan produksi energi fosil, dengan proses perizinan yang dipangkas secara signifikan.
Akhir Dukungan bagi Energi Terbarukan
Tak hanya membuka jalan bagi industri fosil, "One Big Beautiful Bill Act" juga secara langsung mencabut sejumlah insentif fiskal yang selama ini menopang pertumbuhan energi terbarukan di Amerika Serikat. Termasuk di antaranya adalah pemangkasan Production Tax Credit (PTC) dan Investment Tax Credit (ITC) untuk proyek-proyek energi angin dan surya yang telah berlaku selama lebih dari satu dekade.
Dengan dihapuskannya insentif tersebut, para pengembang energi terbarukan kini menghadapi tantangan besar dalam hal pembiayaan proyek. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan daya saing energi bersih dibandingkan energi konvensional, terutama dalam jangka pendek.
Pihak Gedung Putih menyatakan bahwa pencabutan insentif ini merupakan bagian dari upaya "menyeimbangkan pasar energi" dan "menghilangkan ketergantungan pada subsidi pemerintah." Namun, para pengamat dan aktivis lingkungan menilai langkah ini sebagai bentuk kemunduran dalam agenda transisi energi global.
Kritik Keras dari Kelompok Lingkungan dan Energi Bersih
Reaksi keras segera bermunculan dari berbagai kelompok lingkungan dan organisasi pro-energi bersih. Mereka menilai kebijakan Trump tersebut sebagai bentuk pembalikan arah terhadap komitmen internasional yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris.
“Ini adalah tindakan berbahaya yang mengorbankan masa depan demi keuntungan jangka pendek industri bahan bakar fosil,” kata Lisa Jacobson, Presiden Business Council for Sustainable Energy (BCSE). “Kita melihat bagaimana energi bersih telah menciptakan jutaan pekerjaan baru dan memberikan pilihan yang lebih murah serta lebih bersih kepada konsumen. Menghapus dukungan terhadap sektor ini adalah kebijakan yang tidak bertanggung jawab.”
Sementara itu, Michael Brune, Direktur Eksekutif Sierra Club, menilai langkah ini akan meningkatkan emisi karbon dan mempercepat krisis iklim. “Presiden Trump secara terang-terangan menyerahkan masa depan energi kita kepada perusahaan batu bara dan minyak,” tegasnya.
Dukungan dari Industri Energi Fosil
Sebaliknya, perwakilan industri energi fosil menyambut baik undang-undang baru tersebut. American Petroleum Institute (API) memuji kebijakan ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap pekerja dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kami akhirnya melihat sebuah pemerintahan yang memahami pentingnya energi domestik dan mendukung sektor ini untuk terus berkembang,” ujar Mike Sommers, CEO API. “Undang-undang ini akan membantu memperkuat keamanan energi nasional dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.”
Hal senada juga disampaikan oleh National Mining Association (NMA), yang menyebut UU ini sebagai "langkah pembebasan" bagi industri batu bara yang selama ini dibatasi oleh kebijakan federal.
Implikasi Global dan Tantangan Masa Depan
Kebijakan ini tak hanya berpengaruh secara domestik, tetapi juga membawa implikasi besar dalam dinamika geopolitik dan pasar energi global. Di saat banyak negara, termasuk negara berkembang, tengah mempercepat adopsi energi terbarukan untuk menekan emisi karbon, AS justru mengambil jalur berlawanan dengan menegaskan komitmen terhadap eksploitasi energi fosil.
Sejumlah negara Eropa telah menyatakan keprihatinan atas arah baru kebijakan energi AS. Menteri Energi Jerman, Svenja Schulze, menyebut langkah Trump sebagai "kekecewaan besar" dan “ancaman terhadap upaya bersama menekan pemanasan global.”
Dalam negeri, dampak terhadap harga energi dan investasi di sektor energi akan menjadi sorotan dalam beberapa bulan ke depan. Sejumlah analis memperkirakan akan terjadi lonjakan investasi pada sektor minyak dan gas, sementara proyek energi bersih akan mengalami perlambatan karena hilangnya insentif yang sebelumnya menjadi motor penggerak utama.
Titik Balik atau Kemunduran?
Dengan disahkannya "One Big Beautiful Bill Act", arah kebijakan energi AS kini tampak jelas: dominasi energi fosil diperkuat, dan dukungan terhadap energi terbarukan dikurangi secara drastis. Bagi sebagian kalangan, ini adalah kemenangan atas deregulasi dan penguatan industri domestik. Namun bagi yang lain, ini adalah sinyal kemunduran dalam perjuangan global melawan perubahan iklim.
Ke depan, dunia akan menyaksikan apakah strategi ini akan membawa manfaat jangka panjang bagi Amerika Serikat, atau justru memperburuk tantangan lingkungan yang kian mendesak. Apa pun hasilnya, keputusan ini menandai salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah kebijakan energi AS.