JAKARTA - Ketidakpastian yang menyelimuti kebijakan tarif Amerika Serikat dan langkah-langkah negara produsen minyak dunia membuat pergerakan harga minyak global terpantau stagnan. Meskipun ada indikasi positif dari sektor tenaga kerja AS, pelaku pasar tampaknya masih menunggu kejelasan lebih lanjut dari Gedung Putih, terutama menyangkut rencana tarif Presiden Donald Trump terhadap sejumlah negara mitra dagang.
Dalam perdagangan terakhir, harga minyak Brent hanya bergerak naik tipis sebesar 1 sen atau 0,01 persen, menetap di level US$ 68,81 per barel. Sementara itu, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami pergerakan serupa, naik 3 sen atau 0,04 persen menjadi US$ 67,03 per barel.
Minimnya volatilitas pasar kali ini turut dipengaruhi oleh tutupnya pasar Amerika Serikat karena libur nasional memperingati Hari Kemerdekaan. Namun, pergerakan stagnan tersebut justru mencerminkan kecemasan pasar yang tengah menanti dampak dari sejumlah kebijakan besar yang sedang disiapkan.
- Baca Juga BBM Non Subsidi Lebih Terjangkau
Ekonomi AS Tunjukkan Ketangguhan, Tekan Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga
Salah satu indikator ekonomi yang menjadi sorotan adalah laporan ketenagakerjaan terbaru dari AS. Data menunjukkan bahwa pada Juni, sektor usaha di Negeri Paman Sam menambah sekitar 147.000 lapangan pekerjaan. Angka ini lebih tinggi dari ekspektasi pelaku pasar dan analis, serta disertai dengan turunnya tingkat pengangguran menjadi 4,1 persen.
Kondisi ini menimbulkan implikasi penting bagi kebijakan moneter. Dengan ketahanan ekonomi yang masih solid, The Federal Reserve (bank sentral AS) diperkirakan belum akan mengambil langkah pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat. Keputusan The Fed yang mempertahankan suku bunga tinggi untuk meredam inflasi sering kali berdampak negatif terhadap harga komoditas, termasuk minyak, karena menguatkan dolar AS dan menurunkan daya beli global terhadap komoditas berdenominasi dolar.
Ketidakpastian Tarif Trump Ganggu Sentimen Pasar Energi
Selain isu suku bunga, pelaku pasar juga menaruh perhatian pada arah kebijakan dagang Amerika Serikat. Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya akan segera mengirimkan surat kepada sekitar 10 negara mitra dagang untuk memberi tahu mereka mengenai tarif baru yang akan diberlakukan.
Langkah ini menandai pergeseran dari pendekatan bilateral yang sebelumnya lebih bersifat per kasus. Kali ini, Trump mengindikasikan akan menerapkan tarif dalam rentang 20 hingga 30 persen terhadap produk ekspor dari negara-negara tersebut. Tenggat waktu penerapan kebijakan ini juga semakin dekat, menyusul akan berakhirnya masa tenggang 90 hari.
Ketidakjelasan mengenai implementasi kebijakan tarif ini memicu kehati-hatian di pasar, mengingat potensi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi. Negara-negara mitra dagang utama seperti Jepang dan Uni Eropa sendiri belum mencapai kesepakatan final dengan AS, yang menambah ketidakpastian pasar.
Kabar dari OPEC+ dan Sanksi terhadap Iran Perkuat Narasi Pasokan
Dari sisi suplai, langkah strategis juga datang dari kelompok produsen utama dunia, OPEC+. Empat delegasi kepada Reuters mengungkapkan bahwa OPEC+ berencana meningkatkan produksi sebesar 411.000 barel per hari pada Agustus mendatang. Tujuan dari penambahan volume ini adalah untuk merebut kembali pangsa pasar seiring mulai pulihnya permintaan global terhadap energi.
Namun, lonjakan produksi ini dinilai bisa memberikan tekanan tambahan pada harga, terutama bila pertumbuhan permintaan tidak secepat ekspektasi. Di sisi lain, Amerika Serikat juga kembali menjatuhkan sanksi kepada jaringan perdagangan minyak Iran. Departemen Keuangan AS menuduh jaringan tersebut menyamar sebagai eksportir minyak Irak untuk menghindari pengawasan. Sanksi juga dijatuhkan kepada lembaga keuangan yang dikendalikan oleh kelompok Hizbullah.
Langkah ini dinilai dapat mempersempit suplai dari Iran, yang selama ini kerap menjadi jalur pasokan alternatif bagi sebagian pembeli minyak global. Sanksi baru ini tentu berpotensi memperkecil pasokan global jika Iran menurunkan ekspornya, namun belum cukup kuat untuk mendorong lonjakan harga secara signifikan di tengah naiknya suplai OPEC+.
Revisi Proyeksi Harga Brent Cerminkan Optimisme Hati-Hati
Meskipun saat ini harga minyak bergerak stabil, sejumlah lembaga analis mulai melakukan penyesuaian proyeksi untuk jangka menengah. Salah satunya adalah Barclays yang memutuskan menaikkan estimasi harga minyak Brent untuk 2025 dari sebelumnya US$ 66 menjadi US$ 72 per barel. Sedangkan untuk 2026, proyeksi harga dinaikkan dari US$ 60 menjadi US$ 70 per barel.
Kenaikan proyeksi ini didasarkan pada ekspektasi perbaikan permintaan global, terutama dari sektor transportasi dan industri di negara berkembang. Selain itu, ketegangan geopolitik serta kemungkinan perlambatan produksi di sejumlah wilayah juga diperkirakan akan menopang harga.
Pasar Masih Tunggu Kepastian
Secara keseluruhan, kondisi pasar minyak dunia saat ini dipenuhi dengan sinyal yang beragam. Di satu sisi, data ekonomi AS memperlihatkan ketangguhan yang dapat menahan langkah pelonggaran moneter. Di sisi lain, kebijakan tarif AS yang belum final dan langkah strategis dari OPEC+ menciptakan ketidakpastian baru terhadap keseimbangan pasar minyak global.
Kenaikan proyeksi dari lembaga-lembaga analis memberikan harapan terhadap pemulihan harga dalam jangka menengah. Namun, dalam waktu dekat, pelaku pasar masih menunggu kepastian dari Washington terkait arah kebijakan ekonomi dan tarif dagang yang bisa mengubah arah permintaan energi secara signifikan.