Manifest Tak Valid, Pengawasan Transportasi Laut Disorot

Rabu, 09 Juli 2025 | 09:35:41 WIB
Manifest Tak Valid, Pengawasan Transportasi Laut Disorot

JAKARTA - Tragedi tenggelamnya kapal KMP Tunu Pratama Jaya membuka kembali luka lama dalam sistem transportasi laut Indonesia—terutama dalam hal pengawasan dan validitas data penumpang. Dugaan bahwa manifest kapal tersebut tidak akurat memicu kekhawatiran baru tentang keselamatan pengguna transportasi laut dan kapasitas pengawasan dari Kementerian Perhubungan.

Sorotan tajam datang dari Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKB, Sudjatmiko, yang menilai kejadian ini sebagai refleksi nyata lemahnya tata kelola transportasi laut. Ia menyebut ketidaksesuaian antara data manifest dan kenyataan di lapangan sebagai kegagalan sistemik dalam menjamin keselamatan publik.

“Ini menunjukkan bahwa pengelolaan transportasi laut masih longgar dan tidak disiplin dalam mematuhi aturan. Padahal manifest itu krusial untuk keselamatan,” tegas Sudjatmiko, yang akrab disapa Miko.

Manifest kapal semestinya memuat data lengkap seluruh penumpang, awak kapal, serta kendaraan yang dibawa. Namun, keluarga beberapa korban mengaku bahwa anggota keluarga mereka tidak terdaftar dalam manifest, meskipun mereka diketahui menaiki kapal tersebut. Kondisi ini terungkap ketika keluarga korban mendatangi posko pengaduan orang hilang di RSU Negara, Bali.

Dalam data awal disebutkan bahwa KMP Tunu Pratama Jaya mengangkut 53 penumpang, 12 awak kapal, dan 22 kendaraan saat tenggelam. Namun, fakta di lapangan mengindikasikan bahwa jumlah penumpang sesungguhnya bisa jadi melebihi angka yang tercatat. Ketidaksesuaian ini mengindikasikan celah besar dalam sistem pencatatan dan verifikasi identitas penumpang.

Miko mengkritisi praktik pembelian tiket yang tidak disertai pencatatan individual setiap penumpang. “Kalau beli tiket tiga orang, ya ketiganya harus terdata. Jangan hanya satu nama yang masuk manifest. Ini fatal,” tegasnya lagi.

Ia juga membandingkan sistem pencatatan di moda transportasi udara, yang secara ketat mencocokkan identitas pribadi dengan tiket dan manifest. Menurutnya, praktik serupa wajib diterapkan pada moda laut. Ia menilai bahwa keselamatan di laut selama ini kerap diabaikan karena dianggap kurang mendesak dibanding udara, padahal keduanya menyangkut nyawa manusia.

“Jangan sampai nyawa penumpang dikorbankan karena kecerobohan administratif,” ucapnya dengan nada serius.

Tak hanya itu, ia juga mengangkat isu krusial lainnya: praktik menunda pemeliharaan kapal atau docking demi alasan operasional. Menurutnya, banyak kapal tetap beroperasi meskipun telah melewati masa perawatan, yang seharusnya menjadi prioritas. Ia menyebut kebiasaan ini sebagai “bom waktu” yang menunggu untuk meledak.

“Banyak kapal tetap beroperasi meski seharusnya masuk galangan kapal. Ini membahayakan. Proses pemeliharaan harus jadi prioritas, bukan diabaikan karena alasan antrean atau efisiensi,” ujar Miko.

Dugaan bahwa kapal-kapal tertentu mengabaikan proses perawatan demi mengejar keuntungan operasional telah menjadi isu lama dalam dunia transportasi laut. Dalam konteks tragedi KMP Tunu, asumsi ini menjadi relevan kembali. Selain mengkritik sistem yang tidak disiplin, Miko juga menuntut tanggung jawab penuh dari Kementerian Perhubungan untuk menjadikan kejadian ini sebagai momen evaluasi besar.

Ia meminta agar insiden ini tidak dianggap sebagai kasus biasa. Menurutnya, terlalu banyak tragedi laut yang telah terjadi, dan banyak di antaranya disebabkan oleh kelalaian administratif, bukan karena faktor alam semata.

“Kecelakaan seperti ini bukan yang pertama, tapi jangan sampai jadi yang kesekian. Harusnya jadi yang terakhir. Negara harus hadir menjamin keselamatan warganya,” pungkasnya.

Seruan ini mencerminkan keprihatinan besar terhadap kondisi transportasi laut di Indonesia yang dinilai belum mencapai standar keamanan dan profesionalisme tinggi. Dalam konteks negara kepulauan, sistem transportasi laut semestinya menjadi prioritas utama pemerintah, mengingat jutaan warga mengandalkannya sebagai moda utama antarwilayah.

Masyarakat pun mulai menuntut kejelasan dan peningkatan mutu layanan publik. Ketidakvalidan manifest tak hanya membahayakan penumpang, tapi juga menyulitkan proses evakuasi dan pertolongan saat terjadi kecelakaan. Data penumpang yang tidak lengkap menyulitkan tim SAR dalam memastikan siapa saja yang menjadi korban dan siapa yang selamat.

Selain itu, keluarga korban tidak mendapat informasi yang pasti dan cepat terkait kondisi anggota keluarga mereka. Hal ini menambah beban psikologis mereka yang telah kehilangan atau belum menemukan anggota keluarganya.

Dalam konteks ini, reformasi sistem transportasi laut menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda. Validasi manifest, pemeriksaan berkala kapal, dan peningkatan koordinasi antarinstansi harus menjadi perhatian serius pemerintah. Sistem tiket elektronik yang terintegrasi dengan data identitas penumpang bisa menjadi salah satu solusi konkret untuk memperbaiki sistem yang ada.

Sementara publik menanti hasil investigasi resmi atas tragedi KMP Tunu Pratama Jaya, tekanan kepada Kementerian Perhubungan dan operator pelayaran terus meningkat. Kecelakaan ini diharapkan menjadi titik balik dalam upaya membangun sistem transportasi laut yang tidak hanya efisien, tetapi juga aman, tertib, dan akuntabel.

Terkini