JAKARTA - Isu mengenai pengenaan bea keluar untuk komoditas emas dan batu bara kini menjadi salah satu topik yang tengah dikaji secara serius oleh pemerintah. Wacana ini muncul sebagai bagian dari usulan optimalisasi penerimaan negara dalam rancangan kebijakan fiskal jangka menengah.
Pembahasan ini melibatkan koordinasi lintas kementerian, khususnya antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyebut bahwa isu tersebut masih dalam tahap diskusi, khususnya setelah sempat dibahas dalam panitia kerja (panja) penerimaan Komisi XI DPR RI.
Febrio menjelaskan, munculnya gagasan ini berasal dari masukan dalam forum panja bersama DPR. Pemerintah pun menerima masukan tersebut untuk dibahas lebih lanjut dengan kementerian terkait. “Itu sedang kami bahas. Tentunya kami akan koordinasikan dengan kementerian/lembaga terkait khususnya Kementerian ESDM,” ujarnya.
Namun, Kementerian ESDM memandang bahwa kondisi pasar batu bara saat ini masih belum stabil untuk diberlakukan tarif bea keluar. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menekankan bahwa harga batu bara sedang berada dalam tren pelemahan. Maka, pengenaan bea keluar justru dapat menekan daya saing dan kinerja ekspor komoditas tambang unggulan tersebut.
“Belum [dikenakan tarif],” jawabnya saat ditanya mengenai waktu penerapan. Ia menambahkan, “Jadi [batu bara] ini enggak ada yang beli juga [kalau dikenakan BK]. Jadi kita melihat kompetitif dari komoditas.”
Hingga kini, Kementerian ESDM pun belum memulai pembicaraan resmi dengan Kementerian Keuangan terkait penentuan tarif maupun skema teknis bea keluar tersebut.
Usulan mengenai penerapan bea keluar untuk emas dan batu bara tercantum dalam Laporan Panitia Kerja Penerimaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024—2025. Salah satu poinnya menyebutkan tentang upaya memperluas basis penerimaan bea keluar, termasuk untuk komoditas strategis seperti emas dan batu bara, dengan mengacu pada peraturan teknis dari Kementerian ESDM.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengonfirmasi adanya perubahan target dalam laporan tersebut. Target batas atas penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai dinaikkan dari 1,21% menjadi 1,30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Perubahan ini, menurutnya, dipicu oleh wacana penerapan objek baru dalam bentuk cukai maupun bea keluar.
“Ada perubahan angka sebesar 0,9% di kepabeanan dan cukai, karena kita ada penambahan objek cukai baru dan bea keluar untuk batu bara dan emas,” jelasnya dalam rapat kerja dengan Kementerian Keuangan.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi Amro, menambahkan bahwa tarif bea keluar nantinya akan ditentukan oleh Kementerian ESDM sebelum diusulkan ke Kemenkeu dan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Menurutnya, besaran tarif masih sangat dinamis karena dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar komoditas global.
“Memang itu kan otoritas daripada Kementerian ESDM. Kan kita enggak tahu besaran tarifnya seperti apa, karena fluktuatif harga komoditas itu kan sangat tinggi per hari ini,” ujar Fauzi.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan bahwa wacana tersebut masih dalam bentuk ide awal dan perlu dibahas secara komprehensif. Pihaknya belum memberikan keputusan final terkait implementasi, dan masih menunggu hasil kajian serta pembahasan dalam Nota Keuangan.
“Kepastiannya ada di nota keuangan. Itu kan disebutkan antara lain [usulan tersebut] untuk jangka panjang; kalau mau menambah penerimaan negara, [bisa] dengan cara ini [pengenaan BK terhadap batu bara dan emas],” jelasnya.
Selama ini, batu bara dikenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berdasarkan skema tarif yang ditentukan dalam PP No. 18/2025 tentang Perubahan atas PP No. 15/2022 mengenai perpajakan dan PNBP dalam sektor pertambangan batubara.
Skema tarif PNBP ini mengikuti harga batu bara acuan (HBA) dari Kementerian ESDM, dengan rincian:
HBA < US$70/ton → tarif PNBP: 15%
HBA US$70–120/ton → tarif PNBP: 18%
HBA US$120–140/ton → tarif PNBP: 19%
HBA US$140–160/ton → tarif PNBP: 22%
HBA US$160–180/ton → tarif PNBP: 25%
HBA > US$180/ton → tarif PNBP: 28%
Kebijakan ini mencerminkan sensitivitas pemerintah terhadap dinamika harga komoditas global, sekaligus kehati-hatian dalam merumuskan instrumen fiskal baru. Penerapan bea keluar tentu menjadi perhatian utama karena dapat memengaruhi ekspor dan daya saing produk Indonesia, terutama jika pasar global tengah melemah.
Ke depan, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum memutuskan penerapan bea keluar, mulai dari daya saing ekspor, kontribusi terhadap penerimaan negara, hingga dampaknya terhadap industri hulu dan hilir.
Dengan proses kajian dan koordinasi yang berjalan, keputusan akhir mengenai pengenaan bea keluar terhadap emas dan batu bara akan ditentukan melalui kebijakan fiskal resmi dalam dokumen Nota Keuangan mendatang. Pemerintah dan DPR pun diharapkan tetap menjaga keharmonisan kebijakan demi optimalisasi penerimaan negara tanpa membebani pelaku usaha sektor strategis nasional.