JAKARTA - Upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Kabupaten Banjar masih menghadapi tantangan besar. Salah satu persoalan utama yang terus membayangi adalah tingginya jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) serta kondisi infrastruktur pendidikan yang belum memadai di sejumlah wilayah. Meskipun pendidikan menjadi salah satu prioritas dalam visi pembangunan jangka menengah daerah, kenyataannya masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Kondisi ini tergambar dari data yang dirilis Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar. Awalnya, tercatat sebanyak 12.752 anak masuk dalam kategori tidak bersekolah. Setelah dilakukan verifikasi dan validasi (verval), jumlah tersebut mengalami penurunan menjadi 10.000 orang. Namun, angka ini tetap menjadikan Kabupaten Banjar sebagai wilayah dengan ATS tertinggi di Kalimantan Selatan.
Bupati Banjar, H Saidi Mansyur, secara terbuka mengakui bahwa kondisi pendidikan di daerahnya masih memerlukan banyak perbaikan. Ia menyebut bahwa angka ATS yang tinggi merupakan indikator serius yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan belum berjalan maksimal.
“Pemkab Banjar harusnya lebih serius dalam menanggapi persoalan ini. Kami bersama Disdik dan Dewan Pendidikan Kabupaten Banjar yang berlatar belakang pendidikan agama, baik itu yang belum terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan Education Management Information System (EMIS), segera mendaftarkan diri dan mengikuti kurikulum standar nasional. Kami akan terus sosialisasikan,” jelasnya.
Persoalan pendidikan bukan hanya berkutat pada angka ATS. Infrastruktur sekolah di beberapa kecamatan juga memperlihatkan realitas yang memprihatinkan. Beberapa sekolah negeri yang masih aktif menjalankan kegiatan belajar mengajar, justru menghadapi masalah fasilitas dasar yang belum memadai. Salah satu contohnya adalah SDN Astambul Seberang, yang berada di Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. Sekolah ini beroperasi dengan sarana yang jauh dari kata layak, memperlihatkan betapa pentingnya perhatian dari pemerintah daerah dalam perencanaan anggaran pendidikan.
“Kami juga sudah meminta dukungan legislatif untuk mendorong anak-anak tidak sekolah dengan berbagai kategori, seperti anak yang bersekolah di pesantren yang tidak menerapkan kurikulum standar nasional, anak putus sekolah karena faktor ekonomi, dan lain sebagainya,” ungkap Saidi.
Selain mendorong penguatan data dan kebijakan pendidikan formal, Saidi juga mendukung langkah pemerintah pusat melalui program Sekolah Rakyat (SR), yang digagas Presiden RI Prabowo Subianto. Program ini bertujuan untuk memastikan seluruh anak Indonesia, termasuk yang berasal dari daerah terpencil dan keluarga kurang mampu, tetap mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkualitas.
“Ini jadi PR serius Pemkab Banjar,” tegasnya. Dalam konteks kebijakan ini, pemerintah daerah diharapkan mampu mengidentifikasi anak-anak yang tidak terjangkau oleh pendidikan formal untuk diarahkan ke jalur pendidikan alternatif yang difasilitasi negara.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga menyoroti kebutuhan alokasi anggaran yang lebih serius dalam membenahi infrastruktur pendidikan. Saidi mengatakan bahwa perencanaan penganggaran untuk sarana dan prasarana (sarpras) harus dilakukan secara terukur dan tepat sasaran. Ia menekankan bahwa dalam lima tahun ke depan, Disdik Banjar perlu melakukan mitigasi dan perencanaan strategis agar persoalan infrastruktur tidak terus menjadi hambatan utama dalam peningkatan kualitas pendidikan.
“Dalam lima tahun ke depan, sarana prasarana pendidikan saya instruksikan agar Disdik Kabupaten Banjar melakukan mitigasi, sehingga alokasi anggaran yang disepakati dengan DPRD setempat tepat sasaran. Keberadaan infrastruktur sekolah yang rusak itu tentu menjadi informasi bagi Pemkab Banjar agar mendapat atensi serius,” tegasnya lagi.
Kritik dan desakan untuk perbaikan sistem pendidikan di Kabupaten Banjar juga datang dari berbagai elemen masyarakat, termasuk pengamat pendidikan, tokoh agama, hingga orang tua murid. Mereka menilai bahwa upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari perbaikan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, hingga penyediaan fasilitas sekolah yang memadai dan nyaman untuk belajar.
Dukungan legislatif pun menjadi salah satu faktor penting dalam merealisasikan program-program perbaikan tersebut. Tanpa dukungan dari DPRD, pemerintah daerah akan kesulitan merealisasikan perencanaan pembangunan pendidikan, khususnya yang membutuhkan anggaran besar dan lintas sektor.
Sementara itu, inisiatif untuk mendaftarkan lembaga pendidikan berbasis agama yang selama ini belum masuk ke dalam sistem nasional pendidikan juga menjadi langkah penting dalam menekan angka ATS. Banyak anak-anak di Kabupaten Banjar yang sebenarnya sedang mengikuti pendidikan agama di pesantren atau madrasah, namun belum tercatat dalam sistem Dapodik dan EMIS. Hal ini menyebabkan data ATS tampak membengkak, padahal sebagian besar dari mereka tetap mengikuti kegiatan belajar meskipun di luar jalur pendidikan nasional.
Langkah integrasi data pendidikan ini diharapkan menjadi solusi jangka pendek yang efektif dalam merapikan statistik ATS serta memberikan dasar kebijakan yang lebih akurat.
Dengan tantangan yang kompleks mulai dari data, infrastruktur, hingga sistem pendidikan alternatif, upaya perbaikan di sektor pendidikan Kabupaten Banjar memerlukan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah daerah, legislatif, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat perlu bersinergi agar visi mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua dapat benar-benar terealisasi.
Meningkatkan kualitas pendidikan tidak hanya tentang mengejar angka-angka statistik, tetapi juga membangun sistem yang mampu menjangkau seluruh anak bangsa tanpa kecuali. Kabupaten Banjar kini berada pada titik penting: antara mengulangi tantangan lama atau menciptakan perubahan nyata demi masa depan generasi mudanya.