JAKARTA - Pergerakan harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) kembali menunjukkan tren penurunan dengan level harga terkini menembus di bawah angka $63 per barel. Pasar saat ini masih diwarnai oleh ketidakpastian dan keterbatasan alasan kuat bagi para pembeli untuk mendorong harga naik. Proyeksi terbaru dari Energy Information Administration (EIA) memperlihatkan gambaran peningkatan produksi minyak mentah Amerika Serikat yang signifikan hingga akhir tahun 2026. Kondisi ini memberikan tekanan tambahan terhadap harga WTI yang sejauh ini masih bergerak di zona konsolidasi dengan kecenderungan melemah.
EIA mengupdate outlook energi jangka pendeknya dengan prediksi produksi minyak mentah AS yang akan mencapai puncak sejarah pada akhir tahun 2025. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah sumur yang beroperasi dan aktivitas pengeboran yang semakin masif. Perkembangan ini diperkirakan akan memperkuat pasokan global sehingga menekan harga minyak, termasuk Brent yang diprediksi turun menjadi sekitar $50 per barel pada kuartal pertama tahun 2026.
Sementara itu, dinamika geopolitik juga masih menjadi faktor yang terus diperhatikan pasar energi. Presiden Amerika Serikat saat ini sedang mengupayakan peran sebagai fasilitator dalam upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Meski negosiasi yang melibatkan pihak ketiga umumnya berjalan lambat dan penuh tantangan, fakta bahwa konflik di Ukraina telah memasuki hari ke-1.265 tanpa solusi cepat tetap memengaruhi sentimen pasar. Rusia pun menghadapi kesulitan dalam mengamankan kesepakatan untuk menghentikan invasi yang sudah berlangsung cukup lama tersebut.
Dari sisi teknikal, WTI masih bergerak dalam rentang perdagangan yang ketat antara sekitar $62 hingga $64 per barel. Meski harga telah turun di bawah rata-rata pergerakan eksponensial (EMA) 200 hari yang ada di level $67,50, tekanan jual belum cukup kuat untuk menembus level psikologis penting di bawah $60 per barel. Hal ini menandakan bahwa momentum bearish masih terbatas dan para pelaku pasar cenderung menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum mengambil keputusan besar.
Laporan EIA menyebutkan bahwa peningkatan produksi minyak AS diperkirakan mencapai 13,6 juta barel per hari pada akhir Desember 2025. Lonjakan output ini didukung oleh ekspansi sumur-sumur baru dan pengeboran yang berkelanjutan. Dengan ketersediaan pasokan yang semakin melimpah, kelebihan stok global menjadi faktor utama yang memengaruhi pergerakan harga minyak ke depan. Selain itu, pelonggaran pembatasan kuota produksi dari negara-negara OPEC+ turut menambah pasokan di pasar, sehingga memberikan tekanan lanjutan pada harga minyak mentah.
Kondisi ini memunculkan gambaran pasar minyak yang menghadapi dilema antara pasokan yang membaik dan permintaan yang relatif stagnan atau bahkan melambat. Dengan adanya potensi peningkatan persediaan global sebesar 2 juta barel per hari hingga kuartal awal 2026, tekanan terhadap harga minyak pun semakin nyata. Para investor dan pelaku pasar minyak diperkirakan akan terus mencermati data produksi dan faktor geopolitik yang dapat mengubah dinamika pasar secara tiba-tiba.
Secara keseluruhan, tren kenaikan produksi minyak AS dan pelonggaran kuota OPEC+ menjadi dua faktor utama yang mendorong penurunan harga minyak mentah WTI. Dalam konteks ini, meski tekanan pada harga terus berlanjut, pasar masih menunjukkan adanya level support teknikal yang menahan penurunan drastis. Dengan demikian, pergerakan harga minyak di masa mendatang akan sangat bergantung pada bagaimana perkembangan geopolitik, kondisi permintaan global, dan respons produsen minyak utama terhadap situasi pasar.