JAKARTA - Lonjakan penjualan mobil listrik di Indonesia menjadi tanda bahwa pasar otomotif nasional tengah memasuki masa transisi penting. Meski antusiasme masyarakat meningkat, pemerintah memutuskan untuk menghentikan insentif impor kendaraan listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) dalam bentuk Completely Built Up (CBU) pada akhir Desember 2025. Keputusan ini bukan tanpa alasan, melainkan bagian dari strategi memperkuat industri otomotif domestik agar tidak sekadar bergantung pada produk impor.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai penghentian insentif impor menjadi momentum penting. Menurutnya, Indonesia harus mengubah posisinya dari pasar konsumen menjadi pusat produksi dengan rantai pasok yang kuat.
"Tujuannya jelas, Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar bagi produk global, tetapi harus menjelma sebagai pusat produksi dengan rantai pasok yang kuat," ujar Yanne.
Penjualan Kendaraan Listrik Meningkat Tiga Kali Lipat
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan BEV pada semester pertama 2025 menembus angka 36.597 unit. Angka tersebut meningkat hampir tiga kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya mencatat 11.940 unit.
Pasar masih didominasi oleh merek-merek besar seperti BYD dengan model Dolphin dan Atto 3. Namun, kehadiran Hyundai Ioniq 5 dan Wuling BinguoEV ikut memperketat kompetisi. Fenomena ini memperlihatkan bahwa konsumen Indonesia semakin terbuka terhadap pilihan kendaraan ramah lingkungan.
Persaingan juga mendorong penurunan harga. Dalam pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025, harga mobil listrik turun sekitar 10–15 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini membuat kendaraan listrik lebih terjangkau, sekaligus mempercepat adopsi di kalangan masyarakat.
Percepatan TKDN Jadi Prioritas
Meski penjualan tumbuh pesat, pemerintah menilai penghentian insentif impor tetap diperlukan. Langkah ini sejalan dengan rencana penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang akan diberlakukan penuh mulai 2026. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memastikan kendaraan listrik yang beredar di Indonesia memiliki kandungan lokal yang lebih tinggi, sehingga memberikan nilai tambah bagi industri nasional.
Investasi dipandang sebagai efek domino yang diharapkan dari kebijakan ini. Dengan penghentian insentif impor, pemerintah berharap produsen global akan terdorong membangun fasilitas produksi di Indonesia. Hal ini tidak hanya meningkatkan kapasitas manufaktur, tetapi juga membuka lapangan kerja baru, mempercepat alih teknologi, serta memperkuat daya saing nasional.
Yannes menegaskan, konsistensi dalam menjalankan roadmap sangat penting untuk menjaga momentum yang sudah ada.
"Jika roadmap ini konsisten dijalankan, Indonesia berpeluang menjadi basis produksi kendaraan listrik di kawasan ASEAN, bukan sekadar pasar konsumtif," ungkapnya.
Target Produksi Nasional
Untuk mendukung arah kebijakan tersebut, Kementerian Perindustrian telah menyiapkan target ambisius. Pemerintah menargetkan produksi kendaraan listrik dalam negeri mencapai 600.000 unit pada tahun 2030. Target ini sejalan dengan upaya membangun ekosistem baterai dan infrastruktur pengisian daya yang lebih merata.
Pengembangan ekosistem ini dipandang strategis karena Indonesia memiliki keunggulan dalam ketersediaan bahan baku baterai, khususnya nikel. Dengan memaksimalkan potensi ini, Indonesia bisa menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global kendaraan listrik.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Situasi saat ini menempatkan Indonesia di persimpangan penting. Di satu sisi, permintaan kendaraan listrik terus meningkat seiring penurunan harga dan bertambahnya pilihan produk. Di sisi lain, ada tantangan untuk memastikan pertumbuhan pasar ini juga berdampak positif pada perekonomian dalam negeri.
Penghentian insentif impor bisa menimbulkan konsekuensi jangka pendek, seperti kenaikan harga beberapa model CBU. Namun dalam jangka panjang, kebijakan ini diyakini akan membawa manfaat lebih besar karena memacu industri lokal untuk tumbuh.
Tren global menuju kendaraan ramah lingkungan juga memberikan peluang tambahan bagi Indonesia. Dengan dukungan regulasi, investasi, serta sumber daya alam yang melimpah, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pusat produksi kendaraan listrik terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Peran Pemangku Kepentingan
Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada keterlibatan semua pihak. Pemerintah berperan sebagai regulator, industri otomotif sebagai pelaksana, dan konsumen sebagai pendorong permintaan. Jika ketiga elemen ini berjalan beriringan, transformasi industri otomotif Indonesia bisa terwujud sesuai harapan.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku industri juga sangat dibutuhkan. Investasi dalam infrastruktur pengisian daya, pengembangan riset, serta pelatihan tenaga kerja menjadi aspek yang tidak kalah penting untuk mendukung keberlanjutan industri.
Menuju Pusat Produksi Regional
Dengan strategi yang terarah, Indonesia tidak lagi hanya menjadi pasar konsumtif, melainkan bertransformasi menjadi pusat produksi kendaraan listrik yang kompetitif. Visi ini sejalan dengan ambisi menjadikan sektor otomotif sebagai motor penggerak ekonomi nasional yang berbasis teknologi dan ramah lingkungan.
Momentum ini menjadi sinyal kuat bahwa era baru industri otomotif nasional telah dimulai. Dari sekadar membuka keran impor, kini Indonesia berfokus membangun kemandirian produksi. Jika konsistensi dijaga, bukan mustahil Indonesia menjadi salah satu poros utama kendaraan listrik di kawasan.