JAKARTA — Di tengah keragaman warna kulit masyarakat Indonesia, narasi kecantikan yang bertumpu pada kulit putih masih mendominasi media, produk kecantikan, dan budaya populer. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa warna kulit putih, bukan warna alami kulit Indonesia, justru dikonstruksikan sebagai standar kecantikan yang ideal?
Fenomena ini bukan sekadar soal selera pribadi, tetapi terkait erat dengan warisan sejarah kolonial dan hegemoni budaya Barat yang telah tertanam dalam sistem sosial dan industri kecantikan Indonesia. Narasi ini bahkan memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap tubuhnya sendiri, memicu tekanan sosial hingga gangguan kepercayaan diri pada sebagian besar perempuan Indonesia.
Warisan Kolonial Membentuk Standar Kecantikan
Sejarawan dan pakar budaya menyebut bahwa pengaruh kolonialisme Belanda masih membekas dalam sistem nilai masyarakat Indonesia, termasuk dalam menentukan siapa yang dianggap cantik atau bernilai. Pada masa penjajahan, kulit putih kerap diasosiasikan dengan status sosial tinggi dan kekuasaan. Sementara perempuan berkulit gelap lebih sering ditempatkan sebagai pekerja rendahan.
“Standardisasi kecantikan yang menjunjung kulit putih di Indonesia adalah warisan sistemik dari masa kolonial,” ujar salah satu pemerhati isu perempuan dan budaya visual. “Perempuan Indo-Eropa dengan kulit cerah pada masa penjajahan lebih mudah mendapat akses ke pendidikan dan pekerjaan.”
Meski Indonesia telah merdeka selama puluhan tahun, memori historis tersebut tidak benar-benar menghilang. Ia bermetamorfosis menjadi standar estetika dalam budaya pop dan industri kecantikan. Kulit putih kini tak hanya sekadar warna, tapi simbol prestise, akses, dan penerimaan sosial.
Industri Kecantikan Menjual Kecemasan Kolektif
Pasar produk pemutih kulit di Indonesia bernilai miliaran rupiah setiap tahunnya. Iklan-iklan produk pemutih — dari sabun, serum, lotion, hingga suntikan terus mempromosikan imaji bahwa kulit cerah adalah lambang kecantikan, keberhasilan, dan status sosial.
Menariknya, narasi tersebut dibungkus dengan istilah-istilah halus namun sarat makna bias, seperti mencerahkan kulit, kulit glowing, atau menyamarkan noda hitam. Padahal, menurut ahli psikologi sosial, narasi semacam itu perlahan-lahan membentuk opini publik bahwa kulit gelap adalah masalah yang harus diselesaikan.
“Bahasa yang digunakan dalam iklan kecantikan itu tidak netral. Ia menyiratkan bahwa warna kulit alami, terutama yang gelap, adalah kekurangan yang harus diperbaiki,” kata seorang pakar komunikasi dan media.
Tak hanya itu, kekhawatiran juga muncul dari sisi kesehatan. Banyak produk pemutih yang beredar di pasaran mengandung bahan berbahaya seperti merkuri dan hidrokuinon, namun tetap laku karena daya tarik 'kulit putih instan'.
Representasi Media yang Bias
Televisi, sinetron, film, hingga media sosial turut berkontribusi dalam mempertahankan standar kecantikan kulit putih. Dalam banyak tayangan, karakter utama perempuan yang digambarkan cerdas, sukses, dan menarik secara visual hampir selalu diperankan oleh sosok berkulit terang dan berwajah “Indo”.
Sebaliknya, perempuan berkulit gelap kerap diberikan peran sebagai karakter pendukung, tokoh yang kuat namun tidak menarik secara romantis, atau dijadikan objek lelucon. Representasi ini memperkuat stigma bahwa kecantikan identik dengan kulit putih, sehingga menekan keberagaman dan keaslian visual yang dimiliki bangsa ini.
Media sosial yang sejatinya membuka ruang inklusif pun tak luput dari pola bias. Walau beberapa kampanye keberagaman sempat bermunculan, namun sering kali kehadiran perempuan berkulit gelap hanya bersifat simbolik, bukan bagian dari narasi utama.
Internalisasi Rasa Rendah Diri
Dampak dari dominasi standar kulit putih ini lebih jauh menyentuh ranah psikologis dan emosional. Banyak perempuan Indonesia tumbuh dengan keyakinan bahwa warna kulitnya yang gelap bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Akibatnya, mereka merasa tidak cukup menarik, tidak cukup berharga, bahkan enggan menunjukkan diri tanpa lapisan produk pemutih.
Fenomena ini disebut dalam psikologi sebagai internalized inferiority, yaitu ketika seseorang menerima inferioritasnya sebagai kebenaran karena terus-menerus ditanamkan dari luar. Hal ini menjadi akar dari rendahnya rasa percaya diri dan tekanan mental dalam kehidupan sehari-hari perempuan Indonesia.
“Salah satu bentuk penindasan paling halus adalah ketika seseorang tidak lagi perlu ditekan oleh orang lain, karena ia sudah menekan dirinya sendiri,” ujar psikolog klinis yang aktif mengadvokasi isu body positivity.
Saatnya Membuat Standar Baru yang Inklusif
Pengamat sosial budaya mendorong masyarakat untuk membangun definisi baru tentang kecantikan yang tidak bertumpu pada warna kulit tertentu. Indonesia adalah negara dengan keberagaman etnis dan warna kulit yang luar biasa — dari Papua, Maluku, NTT, hingga Jawa dan Sumatera. Seluruh kekayaan ini patut dirayakan, bukan dikoreksi.
Menyuarakan self-love dan body positivity seharusnya bukan hanya menjadi slogan dalam kampanye kosmetik, melainkan gerakan nyata yang mendidik dan memberdayakan perempuan agar mencintai tubuhnya apa adanya. Ini termasuk mendorong industri kecantikan dan media untuk lebih inklusif dalam representasi dan narasi yang mereka tampilkan.
“Kita punya kekuatan sebagai konsumen untuk memilih produk yang menghargai keberagaman. Kita bisa mendorong media untuk menyuguhkan wajah-wajah autentik Indonesia dalam iklan dan tayangan mereka,” ungkap aktivis perempuan dan pendiri komunitas edukasi kecantikan sehat.
Konsumen Punya Kuasa
Langkah kecil seperti memilih brand kosmetik yang tidak menjual narasi pemutih, mengikuti influencer berkulit gelap yang membanggakan jati dirinya, serta menyuarakan keberagaman di media sosial adalah bagian dari perjuangan mendobrak narasi kuno tentang kecantikan.
Pakar pemasaran menyebut bahwa konsumen milenial dan Gen Z kini jauh lebih sadar dan selektif dalam memilih produk. Brand-brand lokal yang menyuarakan keragaman dan inklusivitas seperti SOMETHINC, ESQA, dan Jacquelle mulai mendapatkan tempat di hati konsumen karena keberanian mereka meredefinisi kecantikan.