JAKARTA - China dan India, dua importir batu bara termal terbesar dunia, mengurangi volume pembelian dari Indonesia menyusul penurunan harga global. Kedua negara tersebut kini memilih batu bara berkalori tinggi dari negara lain—seperti Mongolia, Afrika Selatan, Kazakhstan, Kolombia, dan Australia—karena secara ekonomi dianggap lebih efisien dalam menghasilkan energi per ton.
Tren ini semakin memperberat posisi Indonesia, yang sebagian besar memproduksi batu bara berkalori sedang hingga rendah, sehingga kurang kompetitif di tengah dinamika pasar global.
Impor dari Indonesia Turun Tajam
Data perdagangan terbaru menunjukkan bahwa impor batu bara Indonesia oleh China dan India menurun masing-masing sebesar 12,3% dan 14,3% selama periode Januari–Mei 2025, lebih besar dari penurunan impor keseluruhan kedua negara itu. Penurunan ini tercermin dalam kinerja ekspor Indonesia, yang merosot 12% menjadi 187 juta ton dalam periode yang sama
Pilihan Ekonomi: Kalori Tinggi vs Efisiensi Harga
Menurut Vasudev Pamnani, direktur dari pedagang batu bara India I‑Energy Natural Resources:
“Higher CV coal is more expensive, but produces more energy for every dollar spent at current prices. One million tons of higher CV coal can replace 1.2‑1.3 million tons or even 1.5 million tons from Indonesia.”
Artinya, walaupun harga batu bara berkualitas tinggi lebih mahal per ton, nilai energi per dolar yang ditawarkan menunjukkan efisiensi yang jauh lebih baik dibandingkan batu bara Indonesia.
Persaingan ASEAN dan Global
Rantai pasokan batu bara Asia sedang mengalami pergeseran. Batu bara Mongolia meraih pangsa besar di pasar China, sementara Afrika Selatan menguat di India . Selain itu, negara seperti Tanzania, Kazakhstan, Kolombia, dan Mozambik juga mulai mengisi celah permintaan, mendiversifikasi pasokan global.
Di sisi lain, batu bara Rusia dan Australia semakin kompetitif di China. Di tengah tren harga global yang melemah, batu bara kalori tinggi menawarkan kualitas yang lebih baik untuk harga yang sedikit lebih tinggi dibandingkan batu bara Indonesia yang berkalori rendah .
Dampak Penurunan Ekspor Indonesia
Penurunan ekspor batu bara Indonesia menjadi fenomena yang cukup langka. Ekspor 150 juta ton selama Januari–April 2025 merupakan level terendah dalam tiga tahun terakhir, turun 12% YoY. Ini dipicu oleh melemahnya impor dari China dan India—penurunan masing-masing 20% dan 15% pada periode yang sama
Laporan dari think-tank Energy Shift juga menyoroti tekanan berat yang dihadapi industri batubara Indonesia. Kendati produksi mencapai rekor 836 juta ton pada 2024, ekspor turun drastis karena dua pasar utama beralih ke sumber alternatif dan meningkatkan produksi domestik
Peralihan Strategi: Fokus ke Pasar Domestik
Untuk membalas melemahnya ekspor, para produsen Indonesia mulai mengalihkan fokus ke pangsa dalam negeri, yang diperkirakan mencakup hampir 48,6% dari total produksi—tingkat tertinggi dalam satu dekade. Pemicu utama adalah permintaan dari smelter nikel, yang menawarkan harga lebih menarik dibandingkan listrik PLN karena plafon harga dari pemerintah
Ramli Ahmad, Direktur PT Ombilin Energi, menyatakan:
“The smelter industry is the brightest spot for now, we get better prices than we get from the power industry or sales to China.”
Tantangan Global & Transisi Energi
Meski konsumsi batu bara secara global tetap tinggi, termasuk di Asia Tenggara dan China, tren transisi energi mulai terlihat. Laporan IEA dan lembaga global lainnya menunjukkan penurunan harga batu bara termal ke level terendah empat tahun terakhir, dipengaruhi oleh pasokan domestik kuat dan peningkatan energi terbarukan .
Energy Shift mengingatkan bahwa Indonesia harus mempercepat diversifikasi menuju energi bersih, atau risiko mengalami transisi yang menyakitkan di masa depan
Peluang dan Risiko ke Depan
Kalangan analis menyebut potensi pemulihan industri batubara Indonesia bisa terjadi jika harga batu bara berkualitas tinggi kembali meningkat, misalnya akibat konflik geopolitik di Timur Tengah . Namun saat ini, kompetisi ketat dengan batu bara berkualitas tinggi dari negara lain membuat batu bara kalori rendah Indonesia tetap berada di bawah tekanan.
Solusi Strategis Indonesia
Untuk menghadapi tantangan ini, beberapa langkah strategis dapat ditempuh:
Reformasi harga dan insentif– Meninjau kembali kebijakan DMO agar produsen dapat bersaing di pasar ekspor tanpa mengorbankan pasokan domestik.
Diversifikasi energi– Meningkatkan investasi pada energi terbarukan, seperti angin, surya, dan geothermal—sejalan dengan target net-zero global.
Optimalisasi pasar domestik– Memperluas segmen smelter dan industri berat, sekaligus membangun infrastruktur pengangkutan yang efisien.
Peningkatan nilai tambah– Mengolah batu bara menjadi produk dengan nilai lebih tinggi seperti briquette, gasifikasi, atau bahan baku kimia.
Tekanan impor dari China dan India menunjukkan bahwa batu bara Indonesia harus segera menyesuaikan strategi. Penurunan ekspor karena preferensi terhadap batu bara energidense memberikan tekanan terhadap perekonomian dan penerimaan negara. Namun, pertumbuhan pangsa domestik, terutama di sektor industri berat, memberi peluang untuk mempertahankan stabilitas.
Dengan reformasi kebijakan, peningkatan efisiensi, dan pergeseran ke energi bersih, sektor batubara Indonesia memiliki kesempatan untuk bertransformasi—bukan hanya tetap relevan, tetapi juga memimpin dalam era energi baru di Asia.
Jika Anda membutuhkan analisis lanjutan tentang dampak ekonomi atau strategi investasi berjangka panjang terkait batubara Indonesia, saya siap membantu.