BRI

Pengadaan Mesin EDC BRI Bernilai Rp2,1 Triliun Jadi Sorotan

Pengadaan Mesin EDC BRI Bernilai Rp2,1 Triliun Jadi Sorotan
Pengadaan Mesin EDC BRI Bernilai Rp2,1 Triliun Jadi Sorotan

JAKARTA - Di tengah upaya memperkuat integritas dan tata kelola di sektor perbankan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti potensi penyimpangan dalam proyek-proyek pengadaan besar di institusi keuangan. Kali ini, lembaga antirasuah tersebut membuka penyelidikan terhadap proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang bernilai sangat besar.

Dalam pernyataan resminya, KPK mengungkapkan bahwa nilai proyek pengadaan EDC di BRI mencapai sekitar Rp2,1 triliun, dengan rentang waktu pelaksanaan antara tahun 2020 hingga 2024. Informasi ini disampaikan oleh juru bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan kepada media yang dikutip pada Selasa, 1 Juli 2025.

“Terkait dengan penyidikan perkara pengadaan EDC di BRI, terkait tempus perkaranya dari tahun 2020 sampai dengan 2024. Dengan nilai proyek sekitar Rp2,1 triliun,” ungkap Budi Prasetyo.

EDC: Alat Vital yang Jadi Lahan Rawan Korupsi?

Electronic Data Capture (EDC) adalah perangkat penting dalam sistem pembayaran elektronik, digunakan untuk memproses transaksi kartu debit, kredit, dan berbagai bentuk pembayaran digital lainnya. Dalam era digitalisasi perbankan yang semakin berkembang, keberadaan EDC di berbagai merchant menjadi tulang punggung dalam mendukung sistem transaksi non-tunai yang cepat dan efisien.

Namun, di balik fungsi vital alat ini, pengadaannya kerap menimbulkan celah yang bisa dimanfaatkan untuk praktik korupsi, terutama bila proses tender atau pemilihan vendor tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Nilai proyek yang sangat besar, yakni Rp2,1 triliun, menjadi alasan utama KPK menaruh perhatian serius terhadap kasus ini. Proyek sebesar itu mencakup pengadaan ribuan hingga puluhan ribu unit mesin EDC, termasuk perangkat keras, perangkat lunak, layanan pendukung, serta sistem pemeliharaan dan integrasi teknologi yang terkait.

Penyidikan Masih dalam Tahap Awal

Hingga kini, KPK belum merinci secara lengkap dugaan perbuatan pidana korupsi yang sedang didalami. Namun, disebutkan bahwa perkara ini telah masuk dalam tahap penyidikan. Ini berarti lembaga antirasuah sudah mengantongi minimal dua alat bukti yang cukup untuk menduga adanya tindak pidana korupsi.

“Perkara ini sudah berada di tahap penyidikan,” demikian Budi menambahkan.

KPK diyakini sedang memeriksa berbagai dokumen pengadaan, kontrak kerja sama, proses lelang atau penunjukan langsung, serta rekam jejak perusahaan-perusahaan yang terlibat sebagai mitra pengadaan dalam proyek tersebut.

Penyidikan ini kemungkinan juga akan menelusuri rantai birokrasi internal BRI, untuk mengidentifikasi apakah ada keterlibatan pejabat struktural dalam proses yang mengarah pada kerugian negara atau gratifikasi.

Reputasi BRI Jadi Taruhan

Sebagai salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia, BRI memiliki peran sentral dalam mendukung program pemerintah untuk inklusi keuangan, khususnya bagi segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). BRI juga merupakan salah satu bank paling menguntungkan dan menjadi kontributor dividen terbesar bagi negara.

Dengan keterlibatan proyek yang kini tengah diselidiki KPK, reputasi institusi ini menjadi taruhannya. Terlebih, pengadaan mesin EDC adalah bagian dari strategi ekspansi layanan digital BRI yang seharusnya mendukung peningkatan efisiensi dan pelayanan pelanggan.

Oleh karena itu, publik berharap BRI akan bersikap kooperatif, transparan, dan tidak melakukan intervensi dalam proses hukum yang sedang berjalan. Dukungan terhadap pemberantasan korupsi justru akan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap kredibilitas manajemen dan tata kelola perusahaan.

Transparansi Pengadaan di Sektor Perbankan Kembali Disorot

Kasus ini menjadi alarm baru bagi sektor perbankan nasional bahwa pengadaan barang dan jasa, terutama yang bernilai besar dan bersifat teknologi, harus dilakukan secara sangat hati-hati. Sebab, kompleksitas dalam spesifikasi teknis, potensi mark-up harga, serta risiko kolusi antara vendor dan pejabat internal bisa membuka ruang penyimpangan.

Dalam konteks ini, KPK secara konsisten mengingatkan bahwa seluruh institusi negara, termasuk BUMN dan bank milik pemerintah, wajib menjalankan prinsip good corporate governance. Hal ini mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan dalam seluruh proses bisnis.

Proyek pengadaan EDC yang diselidiki saat ini merupakan satu dari banyak contoh bagaimana korupsi tidak selalu terjadi di sektor konstruksi atau pengadaan fisik semata, tetapi juga merambah ke ranah digitalisasi dan transformasi teknologi, yang notabene kerap dianggap sebagai simbol kemajuan.

Publik dan Regulator Menanti Kejelasan

Mengingat nilai proyek yang sangat besar, serta pentingnya peran BRI dalam ekosistem keuangan nasional, kasus ini diperkirakan akan mendapat perhatian luas dari publik, kalangan investor, serta regulator sektor keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian BUMN kemungkinan juga akan diminta memberikan respons apabila perkembangan penyidikan mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan internal di BRI.

Sementara itu, masyarakat menunggu langkah lanjutan dari KPK, termasuk kemungkinan diumumkannya tersangka dalam waktu dekat, serta seberapa jauh kerugian negara yang dapat ditelusuri dari proyek ini.

Antara Efisiensi dan Integritas

Digitalisasi layanan keuangan adalah keharusan di era modern. Namun, efisiensi teknologi harus dibarengi dengan integritas proses bisnis. Pengadaan perangkat strategis seperti mesin EDC tidak bisa hanya dilihat sebagai aspek teknis, tetapi harus juga dipastikan bebas dari konflik kepentingan dan potensi gratifikasi.

Penyidikan oleh KPK atas proyek pengadaan EDC di BRI menjadi refleksi bahwa tata kelola dalam ekosistem digital pun tidak lepas dari risiko penyalahgunaan, dan karena itu membutuhkan pengawasan yang ketat serta akuntabilitas publik yang tinggi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index