ENERGI

Dominasi Energi Fosil Masih Tinggi, Indonesia Dikejar Target Net Zero Emission 2060

Dominasi Energi Fosil Masih Tinggi, Indonesia Dikejar Target Net Zero Emission 2060
Dominasi Energi Fosil Masih Tinggi, Indonesia Dikejar Target Net Zero Emission 2060

JAKARTA - Di tengah upaya global mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempercepat transisi energi. Meski komitmen menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat telah ditegaskan, realisasi di lapangan masih menunjukkan dominasi energi fosil dalam bauran energi nasional.

Hingga semester pertama tahun 2024, kapasitas pembangkit listrik nasional mencapai total 93 gigawatt (GW). Namun, 85% dari kapasitas tersebut—yakni sekitar 79,7 GW—masih berasal dari sumber energi fosil seperti batu bara, gas alam, dan diesel. Sementara itu, hanya 15% atau setara 13,71 GW yang berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Data ini memperlihatkan betapa besarnya tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang.

Target Ambisius 708 GW dari Energi Terbarukan

Untuk mendukung transisi energi dan menurunkan emisi karbon, pemerintah Indonesia telah menetapkan target yang ambisius: membangun kapasitas terpasang pembangkit Energi Baru Terbarukan hingga 708 GW. Target ini mencakup beragam jenis sumber energi ramah lingkungan, dengan porsi terbesar berasal dari tenaga surya.

Secara rinci, target pembangkit EBT Indonesia terdiri dari:

Tenaga Surya: 421 GW

Tenaga Angin: 94 GW

Tenaga Air: 72 GW

Bioenergi: 60 GW

Tenaga Nuklir: 31 GW

Tenaga Panas Bumi: 22 GW

Energi Laut: 8 GW

Besarnya potensi tersebut mencerminkan keyakinan pemerintah bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah untuk mengembangkan energi hijau. Namun, realisasi dari target ini tentu memerlukan strategi komprehensif, investasi besar, dan reformasi struktural di sektor energi.

Komitmen Jangka Panjang dalam Peta Jalan Transisi Energi

Komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon bukan sekadar slogan. Pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi sebagai bagian dari kontribusi nyata terhadap kesepakatan iklim global, termasuk Paris Agreement. Salah satu titik krusial dalam peta jalan tersebut adalah target pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Untuk mendukung tujuan ini, Indonesia akan mengurangi ketergantungan terhadap batu bara secara bertahap dan menggantinya dengan sumber energi yang lebih bersih. Strategi ini mencakup pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, hingga implementasi teknologi penangkap dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS).

Meski demikian, proses ini tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Transisi energi merupakan perubahan sistemik yang menyentuh seluruh aspek—dari infrastruktur hingga kebijakan, dari industri hingga masyarakat pengguna akhir.

Ketimpangan Infrastruktur Jadi Tantangan

Salah satu tantangan terbesar dalam transisi energi di Indonesia adalah ketimpangan infrastruktur dan akses energi yang belum merata. Beberapa wilayah, khususnya di luar Jawa, masih mengalami keterbatasan akses listrik, sementara kebutuhan akan energi terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan populasi.

Pengembangan energi terbarukan di daerah-daerah terpencil juga tidak mudah. Diperlukan investasi besar untuk membangun infrastruktur yang mendukung, mulai dari jaringan transmisi hingga penyimpanan energi. Di sisi lain, minat investor terhadap proyek-proyek EBT masih terkendala oleh iklim regulasi dan kepastian hukum yang belum sepenuhnya mendukung.

Perlu Peran Aktif Swasta dan Lembaga Keuangan

Pemerintah memang menjadi penggerak utama dalam kebijakan transisi energi, namun peran sektor swasta tidak kalah penting. Untuk merealisasikan target 708 GW kapasitas EBT, dibutuhkan partisipasi aktif dari investor dan lembaga pembiayaan, baik domestik maupun internasional.

Keterlibatan lembaga keuangan dalam pembiayaan proyek energi hijau dapat menjadi pendorong akselerasi pengembangan EBT. Namun, untuk menarik minat tersebut, Indonesia perlu menyediakan instrumen keuangan yang menarik, seperti green bonds, jaminan investasi, serta kemudahan dalam perizinan proyek.

Energi Surya dan Angin Menjadi Andalan

Dari seluruh target kapasitas EBT, tenaga surya menjadi kontributor terbesar, yakni 421 GW atau hampir 60% dari total target. Ini mencerminkan potensi besar Indonesia dalam memanfaatkan energi matahari, terutama di daerah-daerah dengan intensitas radiasi tinggi seperti Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua.

Selain itu, tenaga angin juga menjadi salah satu sektor unggulan dalam pengembangan EBT, dengan target kapasitas 94 GW. Beberapa wilayah seperti Sulawesi Selatan, NTB, dan sebagian Jawa Barat diketahui memiliki potensi angin yang cukup stabil dan cocok untuk dikembangkan menjadi ladang turbin angin.

Meski demikian, pengembangan proyek skala besar membutuhkan studi kelayakan yang matang serta kesiapan teknologi dan sumber daya manusia.

Percepatan Jadi Kunci Capai NZE 2060

Dengan dominasi energi fosil yang masih tinggi, percepatan transisi energi menjadi sangat krusial untuk mencapai target NZE 2060. Hal ini tidak hanya memerlukan pembangunan infrastruktur pembangkit EBT yang masif, tetapi juga transformasi dalam tata kelola energi, reformasi kebijakan subsidi, serta edukasi publik agar lebih sadar akan pentingnya penggunaan energi ramah lingkungan.

Kebijakan insentif seperti feed-in tariff, tax holiday, dan penghapusan hambatan impor komponen EBT bisa menjadi langkah konkret untuk mendukung percepatan. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa proses transisi ini tidak menimbulkan kesenjangan sosial, terutama bagi pekerja di sektor energi fosil yang terdampak.

Indonesia telah menunjukkan tekad kuat untuk menjadi bagian dari solusi global terhadap krisis iklim melalui komitmen Net Zero Emission 2060. Target pembangunan kapasitas 708 GW energi baru terbarukan adalah cerminan ambisi yang tinggi, namun realisasi di lapangan menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Dengan masih dominannya pembangkit fosil yang menyumbang 85% dari total kapasitas nasional, percepatan transisi menjadi keniscayaan. Dukungan semua pihak—pemerintah, swasta, masyarakat, dan komunitas internasional—diperlukan untuk memastikan bahwa masa depan energi Indonesia benar-benar bersih, berkelanjutan, dan inklusif.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index