WISATA

Keselamatan Pendakian Jadi Sorotan, Rinjani Butuh Pembenahan Demi Ekowisata Berkelanjutan

Keselamatan Pendakian Jadi Sorotan, Rinjani Butuh Pembenahan Demi Ekowisata Berkelanjutan
Keselamatan Pendakian Jadi Sorotan, Rinjani Butuh Pembenahan Demi Ekowisata Berkelanjutan

JAKARTA - Gunung Rinjani, sebagai salah satu ikon pariwisata alam Indonesia, tak hanya menawarkan pesona keindahan alam yang memukau, namun juga menyimpan tantangan serius dalam hal keselamatan pendakian. Kekhawatiran ini diangkat oleh Ketua Forum Wisata Lingkar Rinjani, Royal Simbahulun, yang menekankan pentingnya peningkatan standar keselamatan pada jalur-jalur pendakian gunung yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut.

Menurut Royal, sejauh ini, standar kesehatan dan keselamatan di jalur pendakian Rinjani masih sangat minim. Kurangnya fasilitas kesehatan dan belum tersedianya tenaga penyelamat atau rescuer yang memadai membuat para pendaki berada dalam risiko tinggi, terutama pada musim ramai pendakian seperti libur sekolah dan musim kemarau.

“Jalur treking belum memenuhi standar kesehatan. Masih sangat minim fasilitas kesehatan dan minimnya tenaga penyelamatan,” tegas Royal. Pernyataannya ini menggarisbawahi bahwa pengembangan wisata tidak bisa hanya berfokus pada aspek ekonomi dan promosi semata, namun harus mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan pengunjung sebagai prioritas utama.

Meningkatnya Minat Pendaki, Keselamatan Jadi Tertinggal

Dalam beberapa tahun terakhir, Gunung Rinjani menjadi primadona para pecinta alam dari dalam dan luar negeri. Data dari Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) menunjukkan bahwa ribuan pendaki setiap tahunnya mencoba menaklukkan puncak gunung berketinggian 3.726 meter ini. Namun, seiring meningkatnya animo wisata, sistem pendukung keselamatan belum berjalan seimbang.

Minimnya fasilitas kesehatan seperti pos pertolongan pertama, perlengkapan medis dasar, dan sistem komunikasi darurat di sepanjang jalur pendakian menjadi sorotan serius. Lebih memprihatinkan lagi, banyak jalur treking yang belum memiliki tenaga SAR profesional yang siaga menghadapi kondisi darurat seperti kecelakaan, hipotermia, atau kehilangan arah.

Dalam beberapa kasus, evakuasi pendaki yang mengalami cedera atau tersesat memakan waktu lama karena keterbatasan infrastruktur dan SDM penyelamat. Ini menjadi indikator bahwa Gunung Rinjani memerlukan pendekatan baru dalam manajemen wisata alam yang lebih ramah terhadap aspek keselamatan jiwa.

Ekowisata Tak Sekadar Menjual Alam

Konsep ekowisata berkelanjutan kini menjadi landasan utama dalam pengelolaan destinasi wisata alam. Di dalamnya, perlindungan lingkungan dan keselamatan pengunjung menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Sayangnya, dalam konteks Rinjani, tampaknya pengelolaan ekowisata masih berat sebelah. Promosi dan pemungutan retribusi sudah berjalan, namun penguatan layanan dasar pendakian masih tertinggal.

Forum Wisata Lingkar Rinjani, sebagai wadah koordinasi berbagai pelaku pariwisata di kawasan Rinjani, menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah, pengelola BTNGR, pelaku wisata, dan masyarakat setempat untuk menyusun standar operasional prosedur (SOP) keselamatan yang terukur dan wajib diberlakukan.

Royal Simbahulun menegaskan bahwa tanpa intervensi nyata dari semua pemangku kepentingan, kualitas keselamatan pendakian tidak akan pernah meningkat. Hal ini berisiko mencoreng citra Rinjani sebagai destinasi unggulan, dan lebih buruk lagi, bisa berdampak pada korban jiwa.

Perlu Audit Keselamatan dan Peningkatan SDM

Sebagai solusi awal, diperlukan audit menyeluruh terhadap kesiapan jalur-jalur pendakian yang saat ini terbuka, baik dari sisi infrastruktur, logistik medis, hingga peta risiko. Jalur-jalur populer seperti Sembalun, Senaru, dan Timbanuh perlu mendapatkan perhatian khusus karena memiliki arus pendaki yang tinggi.

Di sisi lain, penguatan kapasitas masyarakat lokal sebagai pemandu wisata (guide) dan porter terlatih dalam pertolongan pertama dan manajemen bencana harus menjadi program wajib. Dalam banyak kasus, justru masyarakat lokal menjadi penyelamat pertama yang diandalkan ketika pendaki menghadapi kesulitan. Sayangnya, belum semua di antara mereka mendapatkan pelatihan formal.

Royal juga mengajak agar pemerintah setempat menyalurkan anggaran pengelolaan retribusi wisata secara transparan dan proporsional, dengan sebagian besar dialokasikan untuk peningkatan layanan pendakian. Fasilitas seperti shelter darurat, pos medis, jalur evakuasi, hingga sistem pelaporan berbasis GPS dapat dibangun secara bertahap jika anggaran dikelola dengan baik.

Momentum Rinjani sebagai Kawasan Wisata Unggulan

Dengan status Gunung Rinjani sebagai taman nasional dan kawasan strategis pariwisata nasional, sudah selayaknya pengelola wisata tidak sekadar menjadikan Rinjani sebagai ladang ekonomi, tetapi juga tempat yang aman, nyaman, dan berkelanjutan untuk dinikmati oleh generasi mendatang.

Royal mengingatkan, “Jangan sampai wisata Rinjani hanya mementingkan jumlah kunjungan tapi mengabaikan keselamatan. Ini menyangkut nyawa manusia.”

Pernyataan tersebut menjadi refleksi penting bahwa keselamatan adalah fondasi utama dari setiap kegiatan wisata, terlebih di lingkungan yang memiliki tantangan ekstrem seperti pendakian gunung. Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip pariwisata global pasca pandemi, yang lebih menekankan aspek keamanan, kebersihan, dan keberlanjutan.

Rinjani Butuh Langkah Nyata, Bukan Sekadar Retorika

Gunung Rinjani tidak hanya milik NTB, tetapi juga milik Indonesia bahkan dunia. Keindahannya sudah diakui, namun perlindungan terhadap para pengunjung dan masyarakat lokal harus menjadi tanggung jawab bersama.

Pernyataan Ketua Forum Wisata Lingkar Rinjani seharusnya menjadi pemantik bagi pemangku kepentingan untuk berbenah dan bertindak konkret, bukan sekadar menggugurkan kewajiban administratif. Jika keselamatan benar-benar ditempatkan sebagai prioritas, maka Gunung Rinjani bukan hanya akan dikenal sebagai gunung indah, tetapi juga sebagai destinasi ekowisata aman dan berkelas dunia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index