TRAVEL

Masyarakat Jadi Sasaran Empuk Travel Agent Palsu: Waspadai Promo Wisata Murah di Medsos

Masyarakat Jadi Sasaran Empuk Travel Agent Palsu: Waspadai Promo Wisata Murah di Medsos
Masyarakat Jadi Sasaran Empuk Travel Agent Palsu: Waspadai Promo Wisata Murah di Medsos

JAKARTA - Maraknya kasus penipuan berkedok agen perjalanan palsu atau travel agent scam mengungkap satu kelemahan utama yang masih menjadi persoalan di era digital saat ini: rendahnya literasi digital masyarakat. Di tengah meningkatnya minat bepergian dan berlibur, terutama menjelang musim liburan, masyarakat justru kian rentan menjadi korban penipuan akibat tergoda oleh tawaran harga murah yang tak masuk akal.

Modus travel palsu ini semakin hari kian berkembang. Penipuan tidak lagi dilakukan secara konvensional, tetapi menyusup ke berbagai kanal media sosial dengan iklan-iklan promo yang terlihat profesional dan meyakinkan. Para pelaku menyasar beragam kalangan—mulai dari remaja yang ingin liburan hemat, keluarga muda yang merencanakan wisata ke luar kota, hingga kelompok orang dewasa yang ingin mencoba paket umrah atau tur religi dengan harga “spesial.”

Sayangnya, semakin banyak pula masyarakat yang menjadi korban. Mereka tergiur oleh brosur digital yang menampilkan destinasi populer seperti Labuan Bajo, Bali, Jepang, atau Turki, lengkap dengan foto-foto indah, testimoni palsu, dan iming-iming fasilitas premium dengan harga jauh di bawah pasaran. Setelah pembayaran dilakukan, pihak agen sulit dihubungi, dan dalam banyak kasus, akun media sosial pelaku menghilang begitu saja.

Fenomena ini menyoroti pentingnya kemampuan masyarakat untuk memverifikasi informasi sebelum mengambil keputusan transaksi online, terlebih yang melibatkan uang dalam jumlah besar.

Pakar keamanan digital, dalam berbagai kesempatan, mengingatkan bahwa penipu digital kini makin piawai dalam memanipulasi psikologi konsumen. Mereka memanfaatkan teknik social engineering—yakni manipulasi psikologis agar korban segera melakukan pembayaran tanpa berpikir panjang. Penawaran waktu terbatas, diskon kilat, atau kuota terbatas menjadi trik klasik yang terus digunakan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bahkan beberapa kali mengeluarkan imbauan agar masyarakat selalu melakukan pengecekan legalitas biro perjalanan wisata, baik melalui situs resmi Kementerian Pariwisata maupun platform aduan konsumen.

Namun sayangnya, kesadaran tersebut belum merata. Di banyak daerah, apalagi di kalangan pengguna internet pemula, tawaran murah di media sosial masih dianggap sebagai kesempatan langka, bukan potensi jebakan.

Yang membuat persoalan ini semakin rumit adalah kemampuan para pelaku untuk menyaru sebagai agen resmi. Beberapa menggunakan nama yang mirip dengan agen wisata populer, atau bahkan menampilkan logo yang dimodifikasi secara halus. Hal ini menyulitkan orang awam membedakan antara akun asli dan akun penipu.

Dari sisi regulasi, memang ada upaya untuk memperketat pengawasan terhadap bisnis daring, termasuk travel online. Namun, ruang digital yang begitu luas membuat pengawasan tidak bisa menjangkau semua kasus. Oleh karena itu, peran edukasi digital kepada masyarakat menjadi hal yang sangat mendesak.

Berbagai lembaga konsumen dan komunitas pariwisata mulai mendorong inisiatif edukatif, seperti menyebarkan panduan mengenali travel agent palsu, memverifikasi ulasan secara kritis, hingga melaporkan akun-akun penipu melalui jalur hukum.

Salah satu bentuk pencegahan yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Perlu ada budaya digital yang lebih skeptis dan penuh kehati-hatian. Misalnya, sebelum memesan paket liburan, masyarakat sebaiknya memverifikasi:

Apakah agen tersebut memiliki izin resmi?

Apakah terdapat alamat kantor dan kontak tetap?

Apakah metode pembayaran mengarah ke rekening perusahaan, bukan atas nama pribadi?

Apakah testimoni pelanggan bisa diverifikasi secara independen?

Selain itu, jangan tergoda harga yang terlalu murah dibanding harga pasar. Dalam dunia perjalanan wisata, harga murah yang tak wajar seringkali bukan promo, melainkan umpan penipuan.

Dalam kasus-kasus yang sudah terjadi, banyak korban mengalami kerugian mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Tidak sedikit pula yang kehilangan momentum liburan, hingga mengalami tekanan psikologis karena merasa tertipu dan malu untuk melapor.

Ironisnya, banyak dari para korban adalah pengguna media sosial aktif, namun belum memiliki kebiasaan digital yang aman. Ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi saja tidak cukup—literasi digital harus menjadi bekal utama masyarakat dalam beraktivitas secara daring.

Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah, pelaku industri pariwisata, dan semua pemangku kepentingan untuk bersinergi menciptakan ruang digital yang aman dan sehat. Edukasi publik tidak bisa hanya dilakukan sesekali, tetapi harus berkelanjutan melalui kurikulum sekolah, penyuluhan desa, hingga kampanye digital oleh platform sosial media itu sendiri.

Sementara itu, masyarakat juga diimbau untuk melapor jika menemukan travel agent mencurigakan, baik ke Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun platform e-commerce dan media sosial yang digunakan pelaku.

Karena pada akhirnya, perlindungan konsumen di dunia digital tak hanya bergantung pada hukum dan teknologi, tetapi juga pada kewaspadaan, pengetahuan, dan keteguhan setiap individu dalam menyaring informasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index