Pinjaman Online

Lonjakan Pinjol di Lampung Cerminkan Kebutuhan Modal, OJK Soroti Risiko Fintech Ilegal

Lonjakan Pinjol di Lampung Cerminkan Kebutuhan Modal, OJK Soroti Risiko Fintech Ilegal
Lonjakan Pinjol di Lampung Cerminkan Kebutuhan Modal, OJK Soroti Risiko Fintech Ilegal

JAKARTA - Pertumbuhan pinjaman online (pinjol) di Provinsi Lampung terus menunjukkan tren signifikan pada semester pertama 2025. Fenomena ini menegaskan bahwa kebutuhan akses cepat terhadap dana masih tinggi di kalangan masyarakat. Namun di balik peluang ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperingatkan masyarakat akan risiko jebakan pinjol ilegal yang bisa menjerat korban dalam utang berbunga tak wajar.

Berdasarkan data OJK Lampung, per Mei 2025 nilai penyaluran pinjaman online di Lampung mencapai Rp1,18 triliun, naik hampir 50 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang hanya Rp791 miliar. Jumlah akumulasi pinjaman aktif juga tumbuh signifikan, dari Rp500 miliar menjadi sekitar Rp745 miliar, atau naik sekitar 49 persen year-on-year.

Kepala OJK Provinsi Lampung, Bambang Hermanto, menyatakan peningkatan ini menunjukkan dua sisi yang perlu dicermati. Di satu sisi, pinjaman online terbukti mampu memberikan akses pembiayaan bagi masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan konvensional. Namun di sisi lain, pesatnya kenaikan pinjol juga berpotensi disusupi fintech ilegal yang menawarkan pinjaman cepat dengan bunga mencekik dan penagihan yang tidak beretika.

"Jangan hanya tergiur kemudahan pencairan, masyarakat wajib memastikan aplikasi yang digunakan terdaftar dan diawasi OJK. Fintech ilegal kerap memanfaatkan kebutuhan mendesak masyarakat untuk memberikan pinjaman dengan bunga sangat tinggi, biaya tersembunyi, hingga intimidasi saat penagihan," ujar Bambang Hermanto.

OJK menegaskan bahwa hanya pinjol yang terdaftar secara resmi di OJK yang menjamin kepatuhan terhadap aturan perlindungan konsumen. Oleh sebab itu, warga diimbau rajin mengecek legalitas aplikasi melalui situs resmi OJK atau menghubungi kontak OJK 157 sebelum mengajukan pinjaman.

Fenomena pinjol ilegal yang masih marak, kata Bambang, kerap menimbulkan masalah sosial. Banyak korban yang terjerat utang tak wajar dan menghadapi tekanan psikologis akibat cara penagihan yang kasar, termasuk ancaman penyebaran data pribadi yang melanggar privasi.

"Apabila sudah terlanjur berhubungan dengan pinjol ilegal dan mendapat teror penagihan, warga bisa mengadukan melalui layanan OJK, dan kami akan berkoordinasi dengan Satgas Waspada Investasi untuk tindak lanjut," tambah Bambang.

Peningkatan penggunaan pinjaman online juga terlihat pada jumlah akun aktif di Lampung yang melonjak hingga 47 persen, dari 650 ribu akun pada Mei 2024 menjadi sekitar 950 ribu akun pada Mei 2025. Kenaikan ini mengindikasikan tingginya minat masyarakat pada fasilitas pinjaman berbasis teknologi, seiring penetrasi smartphone dan internet yang makin meluas.

Namun, OJK menekankan bahwa literasi keuangan menjadi kunci penting agar layanan digital finansial seperti pinjol benar-benar dimanfaatkan secara bijak, bukan menjadi jerat hutang. OJK bersama Bank Indonesia (BI) dan pemerintah daerah terus menggelar edukasi keuangan ke berbagai daerah, termasuk desa-desa di Lampung, untuk mengajak masyarakat memahami hak dan kewajiban sebagai konsumen jasa keuangan.

"Pengguna pinjol harus memiliki kemampuan mengukur rasio cicilan dengan pendapatan. Jangan sampai beban pinjaman melebihi 30 persen dari penghasilan bulanan karena akan menimbulkan kesulitan finansial," ujar Bambang menekankan.

Selain itu, OJK mengingatkan masyarakat untuk selalu membaca dengan teliti syarat dan ketentuan pinjaman, termasuk suku bunga, biaya administrasi, serta konsekuensi keterlambatan pembayaran. Menurut Bambang, banyak kasus timbul karena peminjam tidak memahami besaran kewajiban yang harus dibayar hingga akhirnya menumpuk denda yang berlipat-lipat.

Menanggapi lonjakan pinjaman online di Lampung, pengamat keuangan digital dari Universitas Lampung, Dewi Santika, menilai perkembangan ini merupakan cerminan kebutuhan masyarakat yang belum seluruhnya terlayani oleh sistem keuangan formal. "Selama digunakan secara produktif, pinjol legal sebenarnya bisa menjadi solusi modal usaha kecil. Namun jika untuk konsumtif, akan berisiko menjerumuskan ke masalah hutang," katanya.

Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mendorong inklusi keuangan yang sehat, termasuk memperkuat keberadaan lembaga keuangan mikro berbasis koperasi atau BPR yang memiliki bunga lebih terjangkau dan pengawasan lebih ketat.

Di sisi lain, pemerintah pusat terus mengembangkan payung hukum untuk menekan praktik pinjol ilegal. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Digital sedang difinalisasi untuk memberi kepastian hukum yang lebih tegas bagi pelaku industri fintech dan masyarakat sebagai konsumen.

Sementara itu, OJK melalui Satgas Waspada Investasi mencatat telah menutup lebih dari 7.000 pinjol ilegal di Indonesia selama periode 2018 hingga Mei 2025. Namun Bambang mengakui, fenomena ini bak jamur di musim hujan karena kemudahan mendirikan aplikasi pinjol di luar negeri yang tidak tunduk pada aturan hukum Indonesia.

“Ini menjadi tantangan bersama, termasuk peran aktif masyarakat untuk menolak tawaran pinjol ilegal, agar rantai praktik ilegal ini bisa terputus,” tutup Bambang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index