JAKARTA - Langkah pemerintah yang mewacanakan perubahan masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan dari tiga tahun menjadi satu tahun kembali menuai sorotan. Kali ini, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyuarakan kekhawatiran bahwa revisi tersebut justru dapat menciptakan ketidakpastian iklim investasi dan membebani proses administratif, baik bagi pengusaha tambang maupun pemerintah.
Bagi pelaku usaha, perubahan kebijakan ini dipandang sebagai langkah mundur dalam konsistensi tata kelola pertambangan nasional. Menurut APNI, kebijakan masa berlaku RKAB selama tiga tahun telah memberikan landasan stabil bagi perencanaan jangka menengah dalam industri ekstraktif yang sangat bergantung pada kepastian hukum dan kontinuitas operasional.
RKAB Satu Tahun Dinilai Memberatkan
- Baca Juga BBM Non Subsidi Lebih Terjangkau
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan bahwa pemerintah memang memiliki komitmen untuk menjaga keberlanjutan industri pertambangan. Namun, menurutnya, perubahan durasi masa berlaku RKAB justru berpotensi menambah beban birokrasi dan memperlambat laju investasi.
“Kami memahami komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan industri pertambangan. Namun, perubahan ketentuan RKAB perlu dikaji ulang,” ujar Meidy melalui keterangan tertulis.
Meidy menjelaskan, saat ini terdapat lebih dari 4.100 izin usaha pertambangan aktif yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini mencakup 3.996 Izin Usaha Pertambangan (IUP), 15 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), 31 Kontrak Karya (KK), dan 58 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Jika masa berlaku RKAB dikurangi menjadi hanya satu tahun, maka secara administratif, ribuan perusahaan harus mengajukan ulang setiap tahunnya.
Kondisi ini, kata Meidy, berpotensi membuat pemerintah kesulitan dalam menilai dan mengevaluasi ribuan dokumen secara tepat waktu tanpa mengganggu keberlangsungan produksi. “RKAB tiga tahun terbukti memberikan kepastian usaha. Yang perlu diperkuat justru mekanisme pengawasan berbasis output tahunan, bukan memperpendek masa izin,” ujarnya.
Saran Alternatif: Evaluasi Tahunan Tanpa Mengubah Masa Berlaku
APNI mendorong pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam merevisi skema RKAB. Alih-alih memperpendek masa berlaku, asosiasi mengusulkan agar pengawasan tetap dilakukan secara ketat melalui evaluasi tahunan atas realisasi produksi masing-masing perusahaan.
Menurut Meidy, sistem yang selama ini berjalan terbukti efisien dan memberikan fleksibilitas bagi pelaku industri untuk menyesuaikan rencana kerja mereka dengan dinamika pasar global. Sementara itu, kewenangan pemerintah tetap terjaga untuk melakukan pengawasan rutin terhadap capaian operasional.
Selain masa berlaku RKAB, APNI juga mengkritisi kebijakan lain yang dinilai kontraproduktif, salah satunya adalah penyesuaian volume produksi di semester akhir tahun berjalan. Menurut Meidy, pendekatan seperti ini tidak efektif dan justru mendorong perusahaan menyusun proyeksi yang tidak realistis.
Ia menyarankan agar evaluasi berbasis realisasi tahunan lebih diutamakan ketimbang target jangka pendek yang bisa berubah akibat fluktuasi pasar. “Sistem penyesuaian seperti itu tidak terukur dan bisa menyebabkan perusahaan kehilangan momentum produksi, terutama saat kondisi pasar membaik,” jelasnya.
Kritik Terhadap Kepmen ESDM 84/2023
Meidy turut menyoroti keberadaan Keputusan Menteri ESDM Nomor 84 Tahun 2023 yang membatasi produksi tidak boleh melebihi kapasitas maksimal sebagaimana yang tertuang dalam studi kelayakan. Ia menilai kebijakan tersebut akan mendorong perusahaan-perusahaan melakukan revisi RKAB secara agresif demi menyesuaikan kapasitas produksinya.
Dalam kondisi tertentu, seperti saat harga global mengalami fluktuasi tajam atau ketika biaya operasional naik akibat tekanan geopolitik dan ekonomi global, kebijakan tersebut dapat menimbulkan kelebihan produksi di tengah lemahnya permintaan dari smelter domestik.
“Dalam banyak kasus, industri nikel sangat bergantung pada kondisi pasar dunia. Ketika permintaan turun, perusahaan tetap harus berproduksi demi menjaga cashflow. Kalau dibatasi, bisa fatal,” kata Meidy.
Pentingnya Keterlibatan Asosiasi dalam Perumusan Kebijakan
Meidy juga menegaskan pentingnya keterlibatan pelaku industri, termasuk asosiasi seperti APNI, dalam setiap perumusan kebijakan pemerintah. Ia menilai bahwa hanya melalui dialog terbuka dan berbasis data lapangan, kebijakan yang dihasilkan bisa menjadi solusi, bukan justru sumber masalah baru.
“APNI meyakini bahwa kebijakan yang konsisten, berbasis data, dan melibatkan pelaku industri akan menjaga kepastian usaha, mendorong efisiensi, serta memastikan kontribusi optimal sektor tambang nikel bagi devisa dan hilirisasi nasional,” tegasnya.
Respons Pemerintah dan DPR
Wacana perubahan masa berlaku RKAB mencuat dalam rapat kerja antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dan Komisi VII DPR RI. Dalam rapat tersebut, Wakil Ketua Komisi Bambang Hariyadi mengemukakan bahwa sistem RKAB tiga tahun telah menyebabkan kelebihan produksi pada sejumlah komoditas, termasuk bauksit.
“Produksi bauksit mencapai 45 juta ton, sementara daya serap industri hanya 20 juta ton. Kami mendorong agar sistem RKAB kembali ke tahunan agar produksi lebih terkendali,” ujar Bambang.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyambut positif usulan tersebut dan menyatakan bahwa ke depan, RKAB akan ditetapkan per tahun. Menurutnya, sistem RKAB tiga tahunan menyulitkan pemerintah dalam mengatur volume produksi secara proporsional dan efisien.
“Mulai hari ini, dengan bismillahirrahmanirrahim, kami terima usulan Komisi VII. RKAB akan kita tetapkan per tahun,” ucap Bahlil.
Namun demikian, keputusan ini dipastikan akan melalui tahapan harmonisasi peraturan dan pertimbangan dari pelaku usaha sebelum diberlakukan secara resmi.