Transportasi

Farhan Soroti Masalah Transportasi dan Kemacetan Bandung

Farhan Soroti Masalah Transportasi dan Kemacetan Bandung
Farhan Soroti Masalah Transportasi dan Kemacetan Bandung

JAKARTA - Lonjakan kemacetan di Kota Bandung menjadi sorotan tajam setelah data global menempatkan kota ini sebagai daerah paling macet se-Indonesia. Namun alih-alih menanggapi dengan pembelaan, Wali Kota Muhammad Farhan justru menunjukkan sikap reflektif dan terbuka dengan mengakui kondisi tersebut dan menyatakan niat serius untuk memperbaiki sistem transportasi kota selama masa jabatannya.

Farhan secara blak-blakan mengungkapkan rasa malunya ketika mengetahui bahwa Bandung memuncaki daftar kota paling macet di Indonesia. Hal ini disampaikan setelah muncul laporan dari TomTom Traffic Index, sebuah lembaga yang rutin memantau kepadatan lalu lintas di kota-kota besar dunia.

“Saya sih malu ya, Kota Bandung dicap kota termacet se-Indonesia. Perbaikan utamanya adalah sistem transportasi,” ujarnya kepada wartawan.

Menurut data dari TomTom, rata-rata perjalanan di Bandung memerlukan waktu 33 menit hanya untuk menempuh jarak 10 kilometer. Angka ini jauh melampaui kota-kota besar lain seperti Medan (32 menit), Palembang (28 menit), Surabaya (27 menit), dan Jakarta yang berada di angka 23 menit. Tak hanya itu, secara global Bandung bahkan menempati peringkat ke-12 dunia sebagai kota termacet, mengungguli Jakarta yang berada di posisi 90.

Peringkat tersebut menjadi tamparan bagi berbagai pihak, khususnya pemerintah kota, dalam mengevaluasi kebijakan transportasi yang berjalan selama ini. Farhan sendiri tak ragu menyebut sejumlah akar permasalahan yang menyumbang kemacetan akut di kota berjuluk Parijs van Java tersebut.

“Bandung macet itu karena (warga) banyak beli kendaraan pribadi, mobil, motor. Kemudian jelek sekali transportasinya,” tegas politisi Partai NasDem tersebut.

Ia mengungkapkan bahwa dari total populasi Kota Bandung sebanyak 2,6 juta jiwa, tercatat ada sekitar 2,3 juta kendaraan pribadi dengan nomor polisi D. Rasio kendaraan terhadap jumlah penduduk ini nyaris satu banding satu, menunjukkan bahwa hampir setiap warga memiliki kendaraan sendiri, baik mobil maupun sepeda motor.

Kondisi ini dinilai sangat tidak sehat bagi mobilitas kota. Apalagi, Kota Bandung memiliki keterbatasan ruang jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Akumulasi kendaraan pribadi ini tidak hanya menambah kepadatan lalu lintas, tetapi juga memperparah polusi udara dan mempercepat kerusakan infrastruktur jalan.

Namun, Farhan tidak hanya berhenti pada pengakuan. Ia menyampaikan bahwa pihaknya sedang merancang berbagai strategi perbaikan sistem transportasi, khususnya dalam mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum.

“Kami akan membuat strategi apa pun, untuk kendaraan umum sistemnya tidak memakai trayek,” katanya.

Pernyataan ini menunjukkan sinyal bahwa Pemkot Bandung akan mencoba pendekatan baru dalam perencanaan transportasi, termasuk kemungkinan sistem transportasi berbasis permintaan (on-demand), atau integrasi lintas moda tanpa mengandalkan sistem trayek konvensional yang selama ini dinilai tidak efisien dan membingungkan pengguna.

Pembangunan transportasi publik yang efisien dan nyaman menjadi tantangan utama bagi pemerintah kota. Tanpa adanya solusi transportasi massal yang menarik, masyarakat akan terus bergantung pada kendaraan pribadi. Farhan mengisyaratkan bahwa pihaknya tidak ingin menambah beban warganya dengan larangan, melainkan menawarkan pilihan transportasi yang lebih baik.

Meski masih bersifat gagasan, arah kebijakan ini disambut baik oleh sejumlah pengamat transportasi. Menurut mereka, pergeseran sistem trayek ke sistem yang lebih fleksibel seperti Bus Rapid Transit (BRT) atau moda berbasis teknologi digital bisa menjadi solusi nyata.

Bandung sebelumnya pernah mengembangkan sejumlah program transportasi publik, seperti Trans Metro Bandung dan penggunaan angkutan kota (angkot). Namun, minat masyarakat terhadap layanan tersebut masih minim akibat keterbatasan jangkauan, waktu tempuh yang lambat, dan kualitas layanan yang tidak konsisten.

Selain itu, upaya pembangunan infrastruktur jalan kerap terganjal oleh keterbatasan lahan dan birokrasi yang panjang. Dengan posisi geografis kota yang berbukit-bukit dan padat pemukiman, pembukaan jalur baru sering kali menimbulkan konflik lahan dan membutuhkan anggaran besar.

Tak hanya dari sisi teknis, permasalahan kemacetan Bandung juga perlu dibenahi dari sisi perilaku pengguna jalan. Budaya berkendara yang sembarangan, kurangnya disiplin berlalu lintas, hingga minimnya kesadaran terhadap penggunaan transportasi publik menjadi faktor pelengkap dari kompleksnya isu ini.

Farhan menyadari bahwa perubahan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Namun, ia berjanji bahwa selama masa jabatannya, berbagai kebijakan akan difokuskan untuk menyelesaikan persoalan kemacetan dengan cara-cara yang lebih sistemik dan berorientasi jangka panjang.

Sejumlah wacana yang sudah mulai disiapkan di antaranya adalah penerapan sistem parkir elektronik, pembatasan kendaraan pribadi di area tertentu, pembangunan jalur sepeda yang aman, serta optimalisasi sistem angkutan umum berbasis digital. Pemerintah kota juga akan menggandeng berbagai pihak, termasuk sektor swasta dan universitas, untuk mengembangkan sistem transportasi yang sesuai dengan karakteristik kota.

Pada akhirnya, kemacetan yang dihadapi Kota Bandung menjadi pengingat bahwa mobilitas warga bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal kebijakan, budaya, dan kesediaan untuk berubah. Dengan keberanian mengakui persoalan dan komitmen memperbaikinya, Farhan memberi sinyal bahwa perubahan mungkin saja terjadi, asalkan didukung oleh partisipasi seluruh lapisan masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index