Panas Bumi

Pemerintah Genjot Investasi Panas Bumi

Pemerintah Genjot Investasi Panas Bumi
Pemerintah Genjot Investasi Panas Bumi

JAKARTA - Upaya pemerintah untuk mempercepat transisi energi tak hanya berhenti pada perluasan bauran energi baru dan terbarukan, tetapi juga menyentuh aspek keekonomian proyek. Salah satu fokus utama saat ini adalah peningkatan daya tarik investasi di sektor panas bumi, energi yang dikenal ramah lingkungan dan berkelanjutan. Melalui langkah strategis, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) proyek panas bumi bisa meningkat menjadi 11 persen, dari posisi saat ini yang rata-rata masih berkisar di angka 8 hingga 9 persen.

Langkah ini dinilai penting untuk meningkatkan minat investor dalam mengembangkan potensi panas bumi di Indonesia yang sangat besar namun belum tergarap maksimal. Pemerintah melihat bahwa untuk mengakselerasi proyek-proyek panas bumi, pelaku usaha perlu diyakinkan dengan regulasi yang lebih menguntungkan dan memberi kepastian pengembalian modal.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa peningkatan IRR menjadi fokus dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Aturan ini sebelumnya menjadi salah satu dasar hukum pengembangan panas bumi di Indonesia, namun dinilai sudah perlu disesuaikan dengan dinamika industri dan kebutuhan investor.

"Dan IRR yang didapat oleh pengembang ini rata-rata memang 8-9%. Ini kita melihat ada sisi regulasi yang perlu kita perbaiki, sehingga dari beberapa waktu yang lalu kita sudah ingin menaikkan IRR ini paling tidak di atas 10%. Jadi, target kita 11%," jelas Eniya.

Menurut Eniya, ada sejumlah hal yang menjadi perhatian utama dalam mendorong peningkatan IRR, di antaranya adalah beban fiskal yang saat ini masih memberatkan pelaku usaha. Salah satu beban tersebut berasal dari pajak tubuh bumi yang dikenakan dalam proyek panas bumi. Ia mengusulkan agar skema perpajakan sektor panas bumi lebih disesuaikan dengan sektor migas, yang memberikan pembebasan terhadap pajak sejenis.

"Nah, terutama tadi yang menyangkut penambahan IRR itu bagaimana cara melakukannya, itu salah satunya kita inginkan seperti di migas, ya, ada penghilangan pajak tubuh bumi, nah, ini masih ada sekarang," tambahnya.

Tak hanya soal pajak tubuh bumi, Eniya juga menyinggung isu lain yang berkaitan dengan perpajakan, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas komponen dalam negeri. Menurutnya, beban PPN ini perlu dikaji kembali dan dikonsolidasikan bersama Kementerian Keuangan agar tidak menjadi hambatan dalam penggunaan komponen lokal pada proyek panas bumi.

"Jadi, barang-barang komponen-komponen dalam negeri ini juga harus diberi ruang untuk bisa masuk. Nah, ini PPN ini mesti kita diskusikan," imbuhnya.

Pemerintah juga menilai bahwa isu-isu struktural lain di sektor panas bumi perlu segera dibenahi. Dalam revisi PP yang tengah disiapkan, setidaknya ada 17 isu yang akan dibahas secara komprehensif. Isu-isu tersebut mencakup pemberian insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, peningkatan penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hingga penyederhanaan sistem lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang selama ini dianggap terlalu rumit dan memakan waktu.

"Nah, di hal yang lain, revisi PP ini mencakup 17 isu, jadi cukup besar. Nanti ada insentif fiskalnya, non-fiskalnya seperti apa, lalu pemanfaatan tadi komponen dalam negeri, lalu ada kondisi sistem lelang yang dipersingkat," tandasnya.

Revisi kebijakan ini menjadi langkah penting karena proyek panas bumi memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan proyek energi lainnya. Selain biaya eksplorasi yang tinggi, risiko investasi juga cukup besar karena ketidakpastian hasil pengeboran. Oleh karena itu, peningkatan IRR diharapkan bisa menjadi kompensasi yang adil bagi para pengembang agar mereka tetap tertarik menanamkan modalnya di sektor ini.

Langkah yang diambil pemerintah tidak hanya berorientasi pada kepentingan pelaku usaha semata, tetapi juga demi keberhasilan target jangka panjang nasional dalam transisi energi bersih. Indonesia menargetkan peningkatan porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional, dan panas bumi merupakan salah satu sumber yang sangat potensial untuk mencapai target tersebut.

Dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain utama dalam pengembangan energi hijau ini. Namun realisasinya masih jauh dari optimal, dan salah satu faktor penghambatnya adalah keekonomian proyek yang dinilai belum cukup menarik bagi investor.

Melalui revisi regulasi dan penyesuaian kebijakan fiskal, pemerintah berharap pengembangan proyek panas bumi bisa berjalan lebih cepat dan efisien. Apalagi kebutuhan energi nasional terus meningkat, dan ketergantungan terhadap energi fosil sudah saatnya dikurangi demi keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.

Inisiatif ini juga mencerminkan pendekatan yang lebih responsif dan adaptif dalam pengelolaan sektor energi. Pemerintah tidak hanya mendorong investasi, tetapi juga membuka ruang dialog dengan para pemangku kepentingan untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan energi terbarukan.

Jika target IRR 11 persen ini bisa direalisasikan, maka bukan hanya investor yang diuntungkan, tetapi juga masyarakat luas yang akan mendapat manfaat dari tersedianya energi bersih dengan harga kompetitif dan jangkauan yang lebih merata.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index