JAKARTA - Di tengah dinamika global yang belum sepenuhnya stabil, langkah Bank Indonesia (BI) dalam menentukan arah suku bunga menjadi sorotan penting. Meskipun terdapat sinyal penguatan nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir, para ekonom memproyeksikan BI akan memilih jalur konservatif dengan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) terdekat.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyampaikan bahwa keputusan untuk mempertahankan suku bunga lebih didorong oleh kondisi eksternal yang berisiko, ketimbang tekanan domestik. Menurutnya, BI akan mengambil langkah hati-hati demi menjaga stabilitas ekonomi nasional yang kini sedang menghadapi ancaman dari ketegangan perdagangan global.
“Kami memperkirakan BI akan mempertimbangkan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI rate di level 5,5 persen dalam RDG BI bulan ini,” ujar Josua.
Ia menilai, meskipun apresiasi rupiah dalam beberapa waktu terakhir memberi peluang untuk pelonggaran kebijakan moneter, namun situasi eksternal justru mendesak bank sentral agar tidak terburu-buru dalam mengambil langkah penurunan suku bunga.
Salah satu faktor utama yang menjadi perhatian adalah kebijakan perdagangan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kembali memicu ketegangan melalui pemberlakuan tarif balasan sebesar 32 persen kepada sejumlah mitra dagang utama, termasuk Indonesia. Kebijakan ini dinilai dapat menimbulkan efek berantai terhadap pasar keuangan, termasuk potensi pelemahan kembali nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.
“Salah satu pertimbangan utama datang dari memanasnya kembali ketegangan perdagangan global, terutama setelah kebijakan terbaru Presiden AS Donald Trump,” jelas Josua.
Ia menambahkan bahwa kebijakan tarif tersebut telah mendorong munculnya sentimen risk-off di pasar global. Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung menghindari aset negara berkembang dan beralih ke instrumen yang dianggap lebih aman seperti obligasi pemerintah AS. Konsekuensinya, tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, pun meningkat.
Melihat kondisi itu, Bank Indonesia diperkirakan akan tetap memprioritaskan stabilitas, alih-alih mengambil risiko dengan memangkas suku bunga terlalu dini. Stabilitas nilai tukar dianggap sebagai elemen kunci dalam menjaga kepercayaan pasar serta menjaga daya beli masyarakat dari lonjakan inflasi.
Meski demikian, peluang untuk pelonggaran kebijakan masih terbuka ke depan, tergantung pada bagaimana situasi global berkembang. Josua membuka kemungkinan adanya pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada RDG bulan September, apabila ketegangan dagang mereda dan situasi pasar menjadi lebih kondusif.
“Peluang pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen masih cukup terbuka, kemungkinan besar pada RDG September 2025,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa penundaan kebijakan tarif terhadap produk ekspor Indonesia menjadi titik penting yang dapat mengubah arah kebijakan BI. Jika dalam waktu dekat tercapai kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat, tekanan terhadap nilai tukar dapat berkurang, memberikan ruang bagi BI untuk menyesuaikan suku bunga.
Selain ketegangan dagang, Josua juga mengingatkan akan potensi tekanan inflasi dari dalam negeri, terutama dari penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada semester II 2025. Kebijakan fiskal ini dinilai bisa memicu kenaikan inflasi inti secara bertahap dan menjadi salah satu elemen penting dalam penilaian BI sebelum mengambil keputusan pelonggaran kebijakan.
Sementara itu, analisis serupa juga disampaikan oleh Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, yang menilai bahwa BI berada dalam posisi yang menuntut kehati-hatian ekstra. Ia menekankan bahwa penguatan nilai tukar yang terjadi bukan sepenuhnya disebabkan oleh faktor domestik, melainkan lebih pada pelemahan dolar AS secara global.
“Kami menilai Bank Indonesia sebaiknya menahan BI-Rate di level 5,50 persen pada Rapat Dewan Gubernur bulan Juli ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ungkap Riefky.
Meski inflasi tahunan naik menjadi 1,87 persen pada bulan Juni, angka tersebut masih dalam batas yang terkendali. Namun Riefky menyoroti bahwa tekanan inflasi berpotensi meningkat, terutama karena kombinasi faktor musiman seperti dimulainya tahun ajaran baru, peningkatan konsumsi selama libur panjang, serta kenaikan harga bahan bakar non-subsidi.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa ketidakpastian global, terutama dari kebijakan dagang AS dan potensi eskalasi ketegangan geopolitik, merupakan faktor eksternal yang berpengaruh besar terhadap keputusan BI. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara stabilitas moneter dan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tantangan utama bank sentral dalam periode ini.
Kebijakan mempertahankan suku bunga di level saat ini dinilai sebagai pendekatan paling bijak untuk menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya dalam menjaga nilai tukar dan ekspektasi inflasi. Meski ruang pelonggaran terbuka, BI diprediksi akan memilih menunggu hingga tekanan global berkurang dan risiko domestik lebih terkendali.
Dengan segala pertimbangan tersebut, para analis dan pelaku pasar kini menanti keputusan BI dalam RDG mendatang. Keputusan ini bukan hanya akan mencerminkan arah kebijakan moneter ke depan, tetapi juga menjadi sinyal penting mengenai strategi BI dalam menghadapi ketidakpastian global yang masih membayangi ekonomi nasional.