JAKARTA - Ketika dunia otomotif perlahan beralih ke era elektrifikasi, pelaku industri karoseri nasional mulai bergerak seiring dengan transformasi tersebut. Namun, upaya untuk memajukan produksi bus listrik dalam negeri tak bisa lepas dari satu tantangan besar: ketergantungan pada baterai impor. Bagi perusahaan seperti PT Laksana, harapan kini ditumpukan pada berkembangnya ekosistem baterai kendaraan listrik di dalam negeri sebagai kunci untuk memperkuat daya saing produk lokal.
Stefan Arman, Direktur Teknik PT Laksana Bus Manufaktur, mengungkapkan bahwa pihaknya telah cukup lama memulai inisiatif kendaraan listrik, khususnya di sektor bus. Dalam beberapa tahun terakhir, pabrik yang berlokasi di Ungaran, Kabupaten Semarang, telah memproduksi bus listrik untuk berbagai kebutuhan, termasuk untuk armada Transjakarta. Bahkan, perusahaan sudah memasuki tahap produksi massal, sebuah langkah maju yang mencerminkan kesiapan industri karoseri lokal dalam mendukung transisi kendaraan ramah lingkungan.
Namun demikian, Stefan menyebut bahwa kandungan lokal (TKDN) pada bus listrik masih menjadi tantangan. "Kalau bus listrik itu [TKDN-nya] 40%. Kalau yang konvensional mungkin di atas itu," katanya. Ia menambahkan bahwa salah satu komponen utama yang mempengaruhi tingkat TKDN adalah baterai, yang hingga kini masih didatangkan dari luar negeri.
Menurut Stefan, meski sektor karoseri sudah cukup siap untuk mengembangkan bus listrik dalam jumlah besar, kehadiran industri baterai lokal tetap menjadi penentu untuk meningkatkan daya saing serta kemandirian manufaktur dalam negeri. Komponen baterai menempati porsi yang signifikan dalam struktur biaya dan proses produksi kendaraan listrik, sehingga bila Indonesia tidak memiliki sumber baterai sendiri, maka kemampuan untuk meningkatkan TKDN pun akan terhambat.
Optimisme Stefan muncul ketika melihat mulai bermunculannya inisiatif industri baterai di kawasan-kawasan seperti KEK Industropolis Batang dan KEK Kendal. Ia berharap, kawasan-kawasan ini bisa menjadi pusat pertumbuhan industri baterai dalam negeri yang mendorong terciptanya ekosistem EV lebih menyeluruh. "Kami harapkan nanti bermunculan perusahaan-perusahaan yang fokus untuk perakitan baterai dalam negeri," ujarnya.
Kehadiran industri baterai lokal tidak hanya akan berdampak pada efisiensi biaya produksi, tetapi juga membuka peluang lebih besar bagi industri otomotif nasional untuk bersaing di pasar global. Dengan kemampuan memproduksi kendaraan listrik secara lebih mandiri, Indonesia akan berada di posisi strategis dalam rantai pasok kendaraan ramah lingkungan di kawasan Asia Tenggara bahkan dunia.
Di sisi lain, industri karoseri lokal juga tengah menghadapi tantangan dari luar, khususnya dengan masuknya kendaraan completely built-up (CBU), termasuk bus listrik yang diimpor langsung dari negara lain. Hal ini membuat persaingan semakin ketat. Pemerintah memang sempat memberi kelonggaran kepada produsen luar negeri dalam memasarkan produk CBU mereka, sebagai upaya awal untuk memperkenalkan kendaraan listrik di Tanah Air.
Namun begitu, Stefan menyatakan bahwa pemerintah kini sudah memberikan regulasi baru yang lebih berpihak pada industri lokal, salah satunya dengan mewajibkan peningkatan TKDN untuk kendaraan listrik yang beroperasi di Indonesia. “Saya lihat ke depannya pemerintah juga sudah memberikan peraturan di mana untuk bus yang beroperasi, bus listrik yang beroperasi di Indonesia ke depannya tingkat TKDN nya harus ditingkatkan,” jelasnya.
Perusahaan karoseri seperti Laksana pun menyambut positif arah kebijakan ini. Mereka bahkan telah mempersiapkan diri untuk memperluas pasar kendaraan listrik, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga untuk ekspor. Walau demikian, Stefan tak menampik bahwa saat ini segmen utama yang menopang bisnis Laksana masih berasal dari pasar konvensional seperti bus pariwisata dan antarkota.
"Primadona kita masih bus pariwisata, bus antarkota ini kebutuhan di Indonesia memang luar biasa besarnya. Jadi kita memang masih akan fokus ke situ dan kita punya primadona yaitu Legacy Series, SR series, ini masih menjadi primadona," katanya.
Artinya, meskipun teknologi kendaraan listrik menjadi masa depan, industri karoseri tetap mengandalkan pasar bus berbahan bakar konvensional dalam jangka pendek hingga menengah. Transisi menuju bus listrik tetap dijalankan secara paralel, sambil menunggu infrastruktur dan ekosistem pendukung, termasuk industri baterai, benar-benar matang.
Dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap ekosistem EV, serta mulai terbentuknya pusat industri baterai nasional, harapan pun menguat di kalangan pelaku usaha seperti Stefan. Jika semua elemen bisa bergerak selaras dari produsen baterai, karoseri, hingga dukungan regulasi maka peluang Indonesia menjadi pemain utama di sektor kendaraan listrik bukan sekadar mimpi.