JAKARTA - Ketahanan industri keuangan nasional kembali mendapatkan sorotan positif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seiring dengan capaian kinerja sektor perbankan yang dinilai tetap stabil dan sehat. Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan bahwa sektor perbankan terus menjalankan fungsi intermediasinya secara optimal, tercermin dari pertumbuhan kredit yang cukup kuat serta manajemen risiko yang tetap terkendali.
Menurut Mahendra, sepanjang semester pertama tahun ini, penyaluran kredit perbankan meningkat signifikan hingga mencapai Rp8.059,79 triliun, atau tumbuh sebesar 7,77% secara tahunan (yoy). Ia menegaskan bahwa capaian ini mengindikasikan adanya kepercayaan pelaku ekonomi terhadap sistem perbankan nasional dan menunjukkan bahwa likuiditas tetap memadai untuk mendukung pembiayaan.
“Pertumbuhan kredit didorong oleh peningkatan pada sektor investasi, konsumsi, dan modal kerja,” ujar Mahendra dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Secara lebih rinci, kredit investasi tumbuh tertinggi sebesar 12,53% (yoy), diikuti oleh kredit konsumsi yang naik 8,49%, serta kredit modal kerja yang tumbuh 4,45%. Komposisi pertumbuhan ini menunjukkan bahwa sektor produktif dan konsumtif tetap menjadi prioritas perbankan, dengan sektor investasi sebagai pendorong utama ekspansi kredit.
Dari sisi jenis debitur, kredit yang disalurkan kepada korporasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sebesar 10,78% (yoy). Namun, penyaluran kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tercatat hanya naik 2,18% (yoy), yang menunjukkan perlunya perhatian khusus untuk mendorong pembiayaan kepada sektor UMKM agar lebih optimal ke depan.
Meski terjadi peningkatan volume kredit, OJK memastikan bahwa kualitas kredit tetap berada dalam batas aman. Hal ini tercermin dari rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) gross yang sebesar 2,22%, serta NPL net yang lebih rendah lagi di 0,84%. Selain itu, rasio loan at risk (LaR) yang menunjukkan potensi risiko juga terpantau stabil di angka 9,73%.
Dalam aspek penghimpunan dana, perbankan tetap mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp9.329 triliun atau tumbuh 6,96% (yoy). Pertumbuhan ini didukung oleh peningkatan komponen giro, tabungan, dan deposito yang masing-masing tumbuh 10,35%, 6,84%, dan 4,19%. Data tersebut mengindikasikan bahwa meski terjadi tekanan global, minat masyarakat untuk menyimpan dana di perbankan tetap tinggi.
Di sisi lain, struktur ketahanan perbankan dari segi permodalan dan likuiditas juga menunjukkan posisi yang sangat kuat. Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) tercatat sebesar 25,79%, jauh di atas ambang minimum yang ditetapkan. Sementara itu, alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) mencapai 27,05%, dan terhadap dana non-inti (AL/NCD) mencapai 118,78%. Kedua indikator ini berada di atas batas minimum yang ditetapkan, yakni masing-masing 10% dan 50%.
Pasar Modal Menguat, Investor Domestik Ambil Alih Peran
Tak hanya sektor perbankan, kinerja positif juga terjadi di pasar modal. Sepanjang triwulan kedua tahun ini, indeks harga saham gabungan (IHSG) mencatatkan kenaikan sebesar 6,41% secara kuartalan (qtq) dan ditutup pada level 6.927,68. Namun secara tahunan (year-to-date/ytd), IHSG masih mencatatkan penurunan sebesar 2,15%.
Kendati demikian, Mahendra mengungkapkan bahwa pemulihan mulai terjadi di awal kuartal ketiga. Per 25 Juli 2025, IHSG mengalami penguatan hingga mencapai 7.543,50 atau naik sebesar 6,55% (ytd). Ini menjadi sinyal bahwa kepercayaan pelaku pasar terhadap prospek ekonomi domestik mulai pulih.
Total kapitalisasi pasar juga menunjukkan angka yang besar, yakni sebesar Rp12.178 triliun. Namun demikian, investor asing masih mencatatkan aksi jual bersih (net sell) dengan total Rp23,65 triliun secara kuartalan, dan Rp59,33 triliun secara tahunan. Kondisi ini menunjukkan peran investor domestik menjadi semakin penting dalam menjaga stabilitas pasar saham dalam negeri.
Di sisi lain, aktivitas penghimpunan dana melalui pasar modal juga tetap menggeliat. Dalam triwulan kedua, nilai penawaran umum tercatat mencapai Rp142,62 triliun, termasuk Rp8,49 triliun dari 16 emiten baru. Masih ada 13 pipeline penawaran umum yang sedang menunggu realisasi, dengan nilai indikatif mencapai Rp9,80 triliun.
Bursa Karbon Tunjukkan Pertumbuhan Bertahap
Sementara itu, bursa karbon yang diluncurkan sejak tahun lalu menunjukkan perkembangan yang terus berlanjut. Hingga akhir Juni 2025, tercatat ada 112 pengguna jasa yang telah mendapatkan izin dari otoritas. Total volume perdagangan karbon telah mencapai 1.599.322 ton setara CO2 (tCO2e), dengan nilai transaksi kumulatif sebesar Rp77,95 miliar.
Meski nilai tersebut masih relatif kecil dibandingkan potensi pasar karbon nasional, langkah awal ini menjadi pondasi penting bagi pembangunan ekosistem ekonomi hijau berbasis pasar. Mahendra menyatakan bahwa OJK terus mendorong partisipasi pelaku industri dalam memperluas pasar karbon sekaligus mendukung agenda transisi energi nasional.
Dengan seluruh capaian tersebut, stabilitas sistem keuangan nasional dinilai berada dalam kondisi yang aman dan adaptif terhadap berbagai dinamika global maupun domestik. OJK menegaskan akan terus memantau perkembangan dan mengambil langkah antisipatif untuk menjaga momentum pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.