Bank Indonesia

Bank Indonesia Dorong Kredit dan Inklusi Ekonomi

Bank Indonesia Dorong Kredit dan Inklusi Ekonomi
Bank Indonesia Dorong Kredit dan Inklusi Ekonomi

JAKARTA - Di tengah tekanan perlambatan ekonomi global dan nasional, Bank Indonesia (BI) menunjukkan kesiapan untuk merespons dinamika tersebut melalui sejumlah langkah kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif. Langkah ini mencerminkan peran BI sebagai otoritas yang tak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi nasional.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa pihaknya tengah mempertimbangkan berbagai opsi pelonggaran kebijakan untuk menopang pertumbuhan, termasuk kemungkinan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate. “BI menyiapkan pemberian insentif likuiditas makroprudensial. Kemudian, peningkatan likuiditas maupun juga mendorong perbankan untuk lebih cepat menurunkan suku bunga,” ujar Perry dalam konferensi pers usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang digelar di kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Langkah ini menjadi bagian dari strategi BI untuk memastikan bahwa likuiditas perbankan tetap longgar dan mendorong sektor keuangan agar lebih agresif menyalurkan kredit ke dunia usaha dan konsumsi rumah tangga. Pendekatan ini juga menjadi sinyal kuat bahwa otoritas moneter siap melonggarkan kebijakan bila diperlukan, guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Dalam kesempatan tersebut, Perry menegaskan bahwa seluruh bauran kebijakan yang dirancang BI diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara mendukung pemulihan ekonomi dan memastikan stabilitas nilai tukar rupiah. Ia mengatakan, “Itulah bauran BI untuk membalikan ekspektasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan dengan tetap menjaga stabilitas.”

Tak hanya dari sisi kebijakan suku bunga, BI juga memperkuat instrumen makroprudensial dengan memberikan insentif likuiditas kepada perbankan. Insentif ini diharapkan dapat memperluas ruang gerak perbankan dalam menyalurkan pembiayaan, terutama ke sektor produktif dan sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dari sudut pandang sistem pembayaran, BI turut memainkan peran penting dalam membentuk ekosistem ekonomi digital yang lebih inklusif. Perry menyebutkan bahwa kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan mengakselerasi digitalisasi serta mendukung pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). “Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, khususnya mendorong penjualan ritel, UMKM maupun perluasan ekonomi keuangan digital,” jelasnya.

Upaya BI tersebut sejalan dengan tujuan menciptakan sistem keuangan yang adaptif terhadap perubahan zaman dan tantangan teknologi. Peningkatan transaksi digital di masyarakat, yang semakin pesat pasca pandemi, mendorong bank sentral untuk terus memperkuat infrastruktur digital, termasuk melalui perluasan QRIS dan penguatan interkoneksi sistem pembayaran antar platform.

Terkait dengan sinergi lintas lembaga, Perry menegaskan pentingnya kerja sama antara semua otoritas yang tergabung dalam KSSK, yaitu Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS. Sinergi tersebut dinilai krusial untuk menjaga kepercayaan pelaku ekonomi dan menciptakan ekspektasi positif terhadap prospek pertumbuhan. “Kami berempat memperkuat sinergi membalikan ekspektasi, bersama-sama dari pemerintah, BI, OJK, dan LPS agar ekspektasi ekonomi ke depan lebih baik dengan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi,” ujar Perry.

Namun, tantangan eksternal masih menjadi faktor yang perlu dicermati. BI memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi global pada 2025 akan melambat ke level 2,9%. Perlambatan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari ketidakpastian geopolitik, tekanan inflasi di negara maju, hingga pelemahan aktivitas perdagangan internasional. Situasi ini tentu berdampak pada ekonomi domestik Indonesia, baik melalui saluran ekspor, investasi, maupun sentimen pasar keuangan.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga melakukan penyesuaian terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional. Proyeksi yang semula berada di angka 5,2% direvisi turun menjadi 5%. Realisasi pertumbuhan pada kuartal I/2025 hanya mencapai 4,87% secara tahunan (YoY), meski bertepatan dengan momentum Ramadan dan Idulfitri yang biasanya mendorong konsumsi. Lembaga internasional seperti Bank Dunia dan ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) turut menurunkan prediksi mereka menjadi masing-masing 4,7% dan 4,8% untuk tahun ini.

Mengingat tekanan eksternal dan perlambatan domestik tersebut, fleksibilitas kebijakan BI menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan. Kebijakan moneter yang adaptif, didukung dengan bauran kebijakan makroprudensial dan penguatan sistem pembayaran, menjadi fondasi utama dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional.

Langkah-langkah tersebut tidak hanya menargetkan stabilitas jangka pendek, tetapi juga mendorong transformasi struktural jangka panjang. Dorongan terhadap sektor UMKM dan digitalisasi ekonomi menjadi bagian dari strategi besar BI untuk menciptakan pertumbuhan yang berkualitas dan merata di seluruh lapisan masyarakat.

Secara keseluruhan, strategi Bank Indonesia mencerminkan pendekatan yang seimbang antara menjaga stabilitas dan mendorong ekspansi ekonomi. Kombinasi antara kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang inklusif menjadi modal penting bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi global maupun domestik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index