JAKARTA - Masa depan energi bersih tak lagi bisa ditunda. Di tengah tekanan perubahan iklim, transisi energi kini menjadi kebutuhan global, bukan sekadar pilihan. Namun di balik ambisi menuju pemanfaatan energi terbarukan, tantangan teknis dan ekonomis masih menghadang, terutama dalam pemanfaatan panel surya yang idealnya menjadi tulang punggung transisi energi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan panel surya masih terkendala oleh tingginya biaya produksi, efisiensi konversi energi yang belum optimal, serta umur pakai yang belum stabil. Meski potensi sinar matahari sangat besar di Indonesia, pemanfaatannya masih jauh dari maksimal. Untuk itu, inovasi material menjadi titik tumpu harapan baru dalam menjawab permasalahan tersebut.
Kesadaran akan pentingnya riset material dalam pengembangan energi surya mendorong lahirnya berbagai kolaborasi ilmiah antara peneliti nasional dan internasional. Dalam sebuah forum ilmiah yang diselenggarakan oleh Kelompok Riset Advanced Photovoltaic and Functional Electronic Devices (APFED), para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama sejumlah mitra global memaparkan perkembangan terkini seputar material canggih untuk sel surya.
Dalam webinar bertema “Advanced Materials for Solar Cell Devices”, pembahasan berfokus pada upaya peningkatan efisiensi dan daya tahan panel surya dengan pendekatan baru berbasis material inovatif. Forum ini sekaligus menjadi ruang temu ilmiah bagi para peneliti lintas institusi untuk menjalin kerja sama yang lebih erat dan mendalam dalam bidang riset energi terbarukan.
Yusuf Nur Wijayanto, Kepala Pusat Riset Elektronika BRIN, menyebut bahwa kegiatan ini bukan hanya menjadi ajang berbagi pengetahuan, tetapi juga sebagai jembatan kolaborasi strategis antarpeneliti. Menurutnya, kerja sama yang kuat akan mempercepat adopsi teknologi baru yang lebih murah dan berkelanjutan di Indonesia.
Salah satu pemaparan menarik disampaikan oleh Peneliti Ahli Muda dari Pusat Riset Kimia BRIN, Mario Leonardus. Ia mengungkap tantangan utama dalam pengembangan sel surya perovskite, yakni ketersediaan material penyalur lubang (hole-transporting materials/HTM) yang andal dan ekonomis. Menurut Mario, salah satu solusi yang menjanjikan adalah penggunaan porfirin bifungsional, seperti senyawa SM-OMe yang mengandung gugus metoksi.
“Material ini berpotensi besar untuk meningkatkan efisiensi sekaligus menurunkan biaya produksi, terutama pada sel surya perovskite anorganik,” jelas Mario. Pemanfaatan material ini bisa menjadi titik balik dalam mendorong produksi panel surya yang lebih kompetitif di pasar global.
Sementara itu, Drajad Satrio Utomo dari King Abdullah University of Science and Technology memaparkan pendekatan berbeda dalam meningkatkan performa panel surya, yakni melalui rekayasa ligan. Risetnya berfokus pada perbaikan stabilitas dan efisiensi sel surya dengan mengatasi kerugian antarmuka tersembunyi (buried interface losses), salah satu masalah laten yang kerap menurunkan kinerja panel dalam jangka panjang.
Menurut Drajad, melalui manipulasi kimiawi yang tepat, kerugian tersebut bisa diminimalisir secara signifikan. Strategi ini diyakini dapat memberikan dampak positif terhadap umur pakai dan keandalan sel surya, dua aspek penting dalam komersialisasi teknologi energi surya.
Tak kalah menarik adalah riset yang dipaparkan oleh Nunik Nurhayati dari BRIN, yang menyoroti tingginya biaya akibat penggunaan platinum (Pt) dalam teknologi dye-sensitized solar cells (DSSCs). Untuk menekan biaya, ia dan timnya mengembangkan material alternatif berupa polyoxometalate sebagai dopan pada elektroda Pt.
“Hasil awal menunjukkan waktu transport elektron yang lebih cepat, yang menandakan efisiensi transfer muatan yang lebih tinggi,” jelas Nunik. Temuan ini membuka peluang besar dalam menciptakan teknologi DSSCs yang lebih murah namun tetap stabil dan andal.
Rangkaian pemaparan tersebut menunjukkan bahwa berbagai pendekatan berbasis riset material kini sedang diarahkan pada pencapaian tujuan bersama: menciptakan teknologi panel surya yang efisien, tahan lama, dan terjangkau. Penekanan pada aspek biaya sangat penting, mengingat salah satu penghambat utama adopsi teknologi ini di negara berkembang adalah investasi awal yang tinggi.
BRIN dalam hal ini memainkan peran strategis, tidak hanya sebagai institusi riset, tetapi juga sebagai motor penggerak ekosistem inovasi nasional. Melalui kolaborasi yang intensif dengan lembaga luar negeri, BRIN mempercepat proses transfer teknologi dan adopsi best practice internasional dalam pengembangan energi bersih.
Inovasi-inovasi material yang dipresentasikan dalam forum tersebut juga membuka jalan bagi peluang hilirisasi riset ke sektor industri. Jika berhasil diterapkan dalam skala produksi massal, panel surya generasi baru ini dapat membantu Indonesia mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil serta mempercepat pencapaian target bauran energi nasional.
Dari perspektif jangka panjang, riset-riset ini bukan hanya akan menghasilkan panel surya yang lebih murah dan efisien, tetapi juga dapat membentuk fondasi bagi kemandirian teknologi dalam negeri. Inilah saatnya energi matahari benar-benar menjadi sumber daya nasional yang dapat diandalkan, bukan hanya potensi yang belum tergarap.
Dengan semangat kolaborasi, fokus pada keberlanjutan, serta dorongan untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat, para ilmuwan Indonesia menunjukkan bahwa masa depan energi terbarukan bukan sekadar cita-cita, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan melalui inovasi yang konkret.