Rumah Murah

Solusi Rumah Murah di Menteng

Solusi Rumah Murah di Menteng
Solusi Rumah Murah di Menteng

JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk Jakarta, memiliki rumah layak di pusat kota sering kali dianggap mustahil. Harga tanah melambung tinggi, ruang terbatas, dan program pemerintah sering tak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat kelas menengah. Namun siapa sangka, di sudut Menteng yang dikenal eksklusif itu, berdiri hunian yang tak hanya terjangkau tapi juga menawarkan kenyamanan dan rasa kepemilikan yang berbeda. Bukan karena keberuntungan, tapi karena keberanian mencoba sistem alternatif: koperasi perumahan.

Bagi Andi dan Famega, tinggal di kawasan elit seperti Menteng dulunya adalah lelucon yang pahit. Masa lalu mereka diwarnai dengan kamar indekos pengap, jendela rusak, dan tekanan biaya sewa apartemen yang kian mencekik. Perdebatan soal “pindah saja ke pinggir kota” menjadi rutinitas, hingga mereka nyaris menyerah pada impian memiliki rumah sendiri. Namun kini, keduanya bisa berdiri di balkon seluas dua sisi, menghirup udara segar pagi Jakarta dari rumah seluas 40 meter persegi yang mereka beli seharga Rp 380 juta.

Ini bukan dongeng urban. Mereka bukan pemenang undian, bukan pula ketiban rezeki nomplok dari warisan. Mereka membeli rumah itu dengan cara yang tidak umum melalui skema koperasi perumahan yang memisahkan kepemilikan bangunan dari kepemilikan tanah. Sistem ini memungkinkan biaya kepemilikan turun drastis karena harga tanah, yang biasanya menjadi beban terbesar, dikelola secara kolektif melalui sewa jangka panjang.

Masalah utama perumahan di Jakarta bukan semata pada ongkos pembangunan, melainkan harga tanah yang melambung akibat spekulasi. Menurut data dari Kementerian Keuangan, pertumbuhan harga properti jauh lebih cepat daripada peningkatan pendapatan masyarakat. Kondisi ini menciptakan jebakan struktural, terutama bagi kelompok “missing middle” — mereka yang terlalu ‘kaya’ untuk subsidi, namun terlalu ‘miskin’ untuk membeli rumah harga pasar.

Konsep koperasi perumahan atau co-housing menjadi salah satu jalan keluar. Di model ini, anggota koperasi membeli unit hunian secara kolektif, sementara tanahnya dikelola melalui Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang bisa berasal dari pemerintah atau pihak ketiga. Dengan tidak menjadikan tanah sebagai komoditas pribadi, harga per unit bisa ditekan tanpa mengorbankan kualitas.

Model ini bukan sekadar solusi finansial, tetapi juga sosial. Hunian tidak lagi dipandang sebagai trofi individual, melainkan sebagai ruang hidup bersama. Biaya perawatan ditanggung kolektif, pengambilan keputusan dilakukan transparan, dan rasa memiliki tumbuh bukan dari sertifikat, melainkan dari interaksi dan partisipasi.

Flat Menteng adalah bukti bahwa sistem gotong royong bisa diaktualisasikan dalam bentuk modern. Andi dan Famega tak membeli tanah di kawasan mahal itu—karena memang tidak sanggup. Tapi mereka membeli hak tinggal di bangunan yang mereka dan tetangganya danai bersama. Tanahnya disewa untuk jangka waktu 70 tahun. Sebuah jangka yang cukup panjang untuk memberikan rasa aman tanpa harus terjebak utang jangka panjang.

Kontribusi bulanan mereka bukanlah sewa dalam pengertian tradisional. Melainkan iuran kolektif untuk membayar sewa tanah, merawat fasilitas, dan mendanai perbaikan. Semua dilakukan terbuka. Lewat grup percakapan, rapat warga, dan partisipasi langsung. Tak ada pemilik tunggal yang menyewakan, hanya penghuni yang berbagi tanggung jawab.

Di balkon itulah akhirnya mereka merasa memiliki. Bukan karena sertifikat, tapi karena kontrol atas ruang hidupnya sendiri. Andi mendapatkan ruang terbuka yang ia idamkan. Famega memperoleh kepastian finansial tanpa harus terjebak cicilan belasan tahun. Mereka menemukan rumah, tapi juga menemukan sistem yang lebih adil.

Model koperasi ini menunjukkan bahwa kunci kepemilikan rumah bukanlah tabungan besar atau pinjaman bank semata, melainkan desain sistemik yang berani berpikir di luar cara konvensional. Kita terlalu lama memaknai rumah sebagai simbol pencapaian individu. Padahal akar masalahnya justru terletak pada bagaimana negara dan pasar mengatur tanah sebagai sumber daya.

Masyarakat telah lelah menunggu solusi dari pemerintah. Program-program rumah subsidi sering kali hadir setengah hati, seperti Tapera atau rumah 18 meter persegi yang tak memadai. Ketika negara tak hadir secara nyata, masyarakat pun menciptakan jalannya sendiri. Mereka tidak mencari mukjizat, hanya ingin ruang tinggal yang layak dan manusiawi.

Inisiatif seperti Flat Menteng bukanlah pemberontakan. Ia adalah bentuk survival: jalan terakhir yang muncul saat semua opsi formal gagal. Gotong royong dalam bentuk koperasi bukan romantisme masa lalu, tapi bukti bahwa kolaborasi bisa menjadi kekuatan ketika regulasi dan kebijakan gagal menjawab realitas.

Cerita Andi dan Famega bukanlah akhir, melainkan awal. Awal dari cara baru melihat kepemilikan, perumahan, dan kota. Jika negara tak bisa hadir, maka warga akan jadi negara bagi dirinya sendiri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index