JAKARTA - Bank Indonesia (BI) kembali mengambil langkah strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan pelonggaran likuiditas kepada perbankan melalui penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 100 basis poin atau setara 1 persen. Kebijakan ini diperkirakan akan memberikan ruang kelonggaran likuiditas sekitar Rp78,45 triliun bagi bank dalam mengelola likuiditasnya, khususnya untuk mendukung penyaluran kredit ke berbagai sektor.
Dalam Taklimat Media yang digelar pada Senin 26 MEI 2025, Solikin M. Juhro, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) BI, menyampaikan bahwa penurunan rasio PLM ini memberikan tambahan fleksibilitas yang signifikan bagi bank untuk mengoptimalkan portofolio pembiayaan mereka. “Jadi dengan kelonggaran itu ada tambahan kelonggaran 100 basis poin, itu sekitar dia punya ruang napas Rp78 triliun tambahan fleksibilitas yang bisa digunakan untuk lain-lain,” ungkap Solikin.
Strategi BI dalam Memperkuat Likuiditas Perbankan
Penurunan rasio PLM adalah salah satu instrumen kebijakan makroprudensial yang digunakan BI untuk menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus mendukung pemulihan ekonomi. Rasio PLM berfungsi sebagai penyangga likuiditas yang wajib dipenuhi oleh bank untuk mengantisipasi potensi risiko likuiditas.
Dengan adanya pelonggaran sebesar 100 basis poin, bank-bank di Indonesia kini memiliki ruang lebih besar dalam mengelola likuiditasnya tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Langkah ini juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bank dalam menyalurkan kredit kepada pelaku usaha, terutama di sektor-sektor produktif dan UMKM yang masih menjadi fokus pemerintah untuk pemulihan ekonomi.
Dampak Pelonggaran PLM terhadap Penyaluran Kredit
Penyaluran kredit yang optimal sangat dibutuhkan untuk mendorong aktivitas ekonomi yang sempat terhambat akibat pandemi dan tantangan global lainnya. Dengan tambahan ruang likuiditas sebesar Rp78,45 triliun, bank dapat lebih leluasa memberikan pembiayaan baru maupun memperluas kredit kepada nasabah existing.
Solikin menjelaskan, pelonggaran PLM ini merupakan bagian dari kebijakan holistik Bank Indonesia yang tidak hanya mempertimbangkan aspek stabilitas makroprudensial, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan panjang. “Pelonggaran ini memberikan ruang napas tambahan agar perbankan bisa lebih agresif menyalurkan kredit, tentu tetap dengan pengelolaan risiko yang baik,” tambahnya.
Penilaian Pelaku Industri Perbankan
Respons positif datang dari pelaku industri perbankan yang melihat kebijakan BI ini sebagai dorongan signifikan dalam menghadapi tantangan likuiditas dan kompetisi yang semakin ketat. Direktur Keuangan salah satu bank besar di Indonesia mengungkapkan bahwa tambahan kelonggaran PLM sangat membantu dalam merancang strategi pembiayaan yang lebih agresif namun tetap prudent.
Menurutnya, “Ruang likuiditas tambahan ini memungkinkan kami untuk menyesuaikan portofolio kredit, memberikan pinjaman dengan tenor lebih panjang, dan membiayai sektor-sektor yang selama ini terpinggirkan karena keterbatasan likuiditas.”
Sinergi Kebijakan dengan Stimulus Pemerintah
Selain dari sisi perbankan, pelonggaran PLM ini juga bersinergi dengan berbagai stimulus fiskal dan moneter yang dicanangkan pemerintah untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah terus mendorong berbagai program yang mendukung investasi, konsumsi, dan ekspor, sementara BI bertugas menjaga stabilitas sistem keuangan dan menyediakan ruang kebijakan yang memadai.
Solikin menegaskan bahwa BI akan terus memantau dinamika ekonomi dan sistem keuangan agar kebijakan makroprudensial tetap adaptif. “Kami akan melihat perkembangan situasi, termasuk risiko-risiko yang muncul, sehingga langkah-langkah berikutnya dapat diambil dengan tepat,” ujarnya.
Tantangan dan Risiko yang Perlu Diwaspadai
Meski memberikan ruang likuiditas lebih besar, BI tetap menekankan pentingnya pengelolaan risiko oleh bank agar tidak menimbulkan risiko sistemik. Penyaluran kredit yang tidak selektif dapat berpotensi meningkatkan non-performing loan (NPL) yang justru dapat melemahkan stabilitas keuangan.
Solikin menekankan, “Kelonggaran ini bukan berarti semua bank bisa langsung meningkatkan kredit secara agresif tanpa pengelolaan risiko yang matang. Kami mengimbau agar bank tetap prudent dan mengutamakan kualitas kredit.”
Selain itu, volatilitas pasar global, perubahan suku bunga dunia, dan dinamika nilai tukar juga menjadi faktor eksternal yang harus diwaspadai oleh perbankan dalam mengelola likuiditas dan risiko kredit.
Prospek Ekonomi dan Sistem Keuangan ke Depan
Dengan dukungan kebijakan makroprudensial yang terus disesuaikan, Bank Indonesia optimistis sistem keuangan nasional tetap kokoh dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Proyeksi pertumbuhan kredit yang membaik akan memperkuat aktivitas ekonomi domestik, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Solikin mengakhiri pernyataannya dengan optimisme, “Kami percaya dengan dukungan kebijakan likuiditas yang memadai, perbankan dapat menjadi pilar utama dalam memulihkan ekonomi nasional dan mencapai target pertumbuhan yang berkelanjutan.”