Saat Gelar Raja Voli Asia Tenggara Tak Lagi Cukup

Kamis, 26 Juni 2025 | 08:57:21 WIB

JAKARTA - Gelar "raja voli Asia Tenggara" yang selama ini disematkan kepada Timnas Voli Indonesia kini mulai dipertanyakan. Keberhasilan merajai kawasan Asia Tenggara tidak lagi cukup ketika prestasi Indonesia masih tertinggal jauh di level Asia. Performa tim nasional yang menurun dalam kejuaraan AVC Nations Cup 2025 menjadi refleksi menyakitkan bahwa Indonesia perlu keluar dari zona nyaman dan mulai memacu diri menuju kompetisi yang lebih tinggi.

Dalam AVC Nations Cup 2025 yang berlangsung pada Juni lalu di Hanoi, Vietnam, Timnas Voli Putra Indonesia hanya mampu finis di peringkat keenam. Hasil ini menjadi sinyal keras bahwa keunggulan di Asia Tenggara tak serta merta menjamin performa apik di level Asia. Bahkan, posisi Indonesia dalam peringkat dunia saat ini tercatat berada di bawah Thailand dan Vietnam.

"Kenapa kita harus peduli? Karena ini soal harga diri bangsa. Voli itu olahraga populer. Kebanggaan kita. Kalau tim kita cuma jadi raja di Asia Tenggara, tapi tidak dipandang di tingkat Asia, rasanya sakit. Seperti tidak dihargai," tulis laporan.

Pernyataan tersebut merefleksikan keresahan banyak pihak. Di tengah perkembangan negara-negara tetangga yang terus memperkuat fondasi dan sistem pembinaan olahraga, Indonesia justru masih terjebak dalam euforia gelar regional.

Mentalitas 'Merasa Cukup' Jadi Penghambat Kemajuan

Salah satu persoalan yang disoroti oleh para pengamat olahraga adalah munculnya mentalitas "merasa cukup." Ketika satu prestasi sudah diraih, seperti emas SEA Games atau gelar juara ASEAN Grand Prix, rasa puas kerap muncul terlalu dini. Padahal, menurut banyak analis, kondisi ini justru menjadi jebakan besar.

"Ada satu penyakit yang berbahaya. Namanya mentalitas 'merasa cukup'. Kita merasa sudah hebat dengan gelar juara Asia Tenggara. Padahal itu jebakan. Dunia terus berputar, dan negara lain makin kuat," lanjut laporan tersebut.

Thailand dan Vietnam adalah contoh negara yang dalam satu dekade terakhir terus berinvestasi besar dalam sistem olahraga nasional. Dari pembinaan atlet usia dini, perbaikan pelatih, hingga kerja sama internasional, semuanya dilakukan dengan rencana jangka panjang yang terukur. Hasilnya kini terlihat: keduanya berhasil menyalip Indonesia di peringkat dunia.

Kebutuhan Mendesak: Reformasi dan Pembinaan Atlet Berkelanjutan

Kegagalan Indonesia finis di posisi terbaik di AVC Nations Cup 2025 harus menjadi momen evaluasi besar. Tantangan ke depan bukan hanya untuk mempertahankan gelar di Asia Tenggara, tetapi juga merebut kembali posisi terhormat di level Asia dan dunia.

Para pelatih nasional dan pengurus PBVSI (Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia) harus melakukan pembenahan menyeluruh, mulai dari pola latihan, sistem seleksi pemain, pengelolaan fisik dan mental atlet, hingga penciptaan ekosistem kompetisi yang kompetitif.

Pembinaan atlet usia muda yang terstruktur harus kembali digalakkan. Program talent scouting dari daerah ke pusat perlu ditingkatkan dengan sistem digitalisasi dan transparansi yang kuat. Selain itu, kerja sama internasional, termasuk pengiriman atlet ke luar negeri dan pelatihan bersama pelatih asing berpengalaman, harus menjadi agenda utama.

Saatnya Bergerak ke Level yang Lebih Tinggi

Sudah waktunya Indonesia tidak lagi berpuas diri dengan predikat regional. Dunia voli internasional berkembang sangat cepat. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Iran terus memimpin dalam hal teknik, strategi, dan infrastruktur pendukung.

Indonesia perlu menyadari bahwa untuk bisa bersaing di level Asia, bahkan dunia, dibutuhkan kerja keras, inovasi, dan investasi berkelanjutan. Tidak cukup hanya mengandalkan nama besar dan semangat juang para atlet.

"Perasaan bangga sesaat ini membuat kita buta. Buta bahwa di luar sana, kita sebenarnya masih tertinggal jauh," tulis Kompasiana dengan nada prihatin.

Peran Media dan Masyarakat: Dukung Evaluasi Konstruktif

Media dan masyarakat memiliki peran penting dalam mendorong pembenahan. Alih-alih sekadar merayakan kemenangan regional, publik seharusnya juga mendesak transparansi dan akuntabilitas dari federasi olahraga. Kritik konstruktif dan tekanan publik bisa menjadi pendorong perubahan kebijakan yang lebih sistematis dan visioner.

Saatnya media dan pencinta voli mengubah narasi: dari pujian sesaat menjadi dukungan jangka panjang untuk pembinaan yang terarah.

Harapan untuk Masa Depan Voli Indonesia

Meski performa Indonesia menurun di AVC Nations Cup 2025, harapan tetap ada. Banyak pemain muda potensial mulai bermunculan. Talenta-talenta dari daerah seperti Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara kini mulai dilirik untuk dibina secara profesional. Namun, potensi tersebut tidak akan berkembang tanpa sistem pendukung yang kuat.

PBVSI diharapkan segera mengambil langkah konkret: menyusun roadmap pengembangan voli nasional, membentuk tim evaluasi pasca kompetisi, dan memperluas jangkauan kompetisi domestik yang berkualitas.

Dengan sumber daya manusia yang besar dan kecintaan masyarakat terhadap olahraga ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk bangkit. Tapi itu hanya bisa dicapai jika semua pihak – pemerintah, federasi, pelatih, atlet, dan masyarakat – bersatu untuk satu tujuan: mengangkat kembali nama Indonesia di kancah voli Asia dan dunia.

Gelar Regional Bukan Tujuan Akhir

Gelar "raja voli Asia Tenggara" seharusnya bukan menjadi tujuan akhir. Itu hanya batu loncatan. Saatnya Indonesia bergerak lebih cepat, lebih berani, dan lebih visioner. Peringkat keenam di AVC Nations Cup 2025 harus dijadikan alarm, bukan sekadar statistik. Ini waktunya untuk introspeksi dan bangkit.

Indonesia bisa lebih dari sekadar penguasa Asia Tenggara. Indonesia bisa menjadi kekuatan utama di Asia. Asal, kita tidak merasa cukup.

Terkini