Evaluasi Perizinan Tambang oleh ESDM Usai Harga Batu Bara Turun

Jumat, 04 Juli 2025 | 13:08:57 WIB
Evaluasi Perizinan Tambang oleh ESDM Usai Harga Batu Bara Turun

JAKARTA - Melonjaknya produksi batu bara nasional di tengah stagnasi pasar global mendorong pemerintah mengevaluasi ulang tata kelola izin pertambangan, khususnya pada aspek Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Komisi XII DPR RI sepakat untuk mengkaji ulang aturan masa berlaku RKAB yang selama ini berlangsung selama tiga tahun, dengan mempertimbangkan untuk mengembalikannya menjadi tahunan.

Langkah ini mencerminkan kekhawatiran terhadap dampak kelebihan produksi terhadap stabilitas harga komoditas dan potensi penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor tambang. Pemerintah menilai, mekanisme perizinan yang terlalu longgar dapat menciptakan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, sehingga berujung pada penurunan nilai jual komoditas unggulan seperti batu bara dan mineral.

"Tata kelola pertambangan harus diperbaiki, baik komoditas batu bara maupun mineral. Khususnya untuk komoditas batu bara, harganya saat ini sedang anjlok akibat kelebihan pasokan," ungkap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

Kontribusi Indonesia Terlalu Besar di Pasar Global

Dalam penjelasannya, Bahlil memaparkan bahwa meskipun konsumsi global batu bara masih tinggi, yakni sekitar 8–9 miliar ton per tahun, volume yang benar-benar diperdagangkan di pasar internasional jauh lebih kecil, hanya berkisar 1,2–1,3 miliar ton. Ironisnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan volume ekspor terbesar, yakni sekitar 600–700 juta ton per tahun.

“Dengan produksi ekspor batu bara berada di kisaran 600-700 juta ton, hampir 50 persen pasokan batu bara dunia berasal dari Indonesia,” tegas Bahlil.

Kondisi tersebut, menurutnya, menjadikan Indonesia terlalu dominan dalam suplai global sehingga ketika permintaan menurun, negara ini mengalami tekanan besar pada sisi harga. Ia menyebut RKAB tiga tahunan membuat pemerintah kesulitan untuk menyesuaikan volume produksi secara fleksibel terhadap kebutuhan dunia.

“Persetujuan RKAB jor-joran tiga tahun, kita kesulitan menyesuaikan volume produksi batu bara dengan kebutuhan dunia, sehingga harga terus tertekan,” tambahnya.

Dampak Langsung terhadap Pendapatan Negara dan Dunia Usaha

Turunnya harga komoditas batu bara tidak hanya berdampak pada pelaku industri pertambangan, namun juga berimbas pada penerimaan negara. Menurut Bahlil, situasi ini menyebabkan penurunan signifikan terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba.

“Anjloknya harga batu bara tidak hanya memberatkan para penambang, tetapi juga menurunkan PNBP,” katanya.

Di tengah upaya menjaga stabilitas fiskal negara, optimalisasi penerimaan dari sektor pertambangan menjadi sangat penting. Evaluasi terhadap sistem RKAB dianggap sebagai langkah korektif untuk menghindari kelebihan produksi dan meningkatkan efisiensi kebijakan pengawasan.

Mineral Ikut Terdampak: Evaluasi Tidak Hanya untuk Batu Bara

Meskipun perbincangan utama masih seputar batu bara, Kementerian ESDM menyatakan bahwa kebijakan ini juga akan menyentuh sektor mineral lainnya. Permasalahan kelebihan pasokan dan lemahnya serapan pasar domestik ternyata juga dirasakan oleh perusahaan tambang mineral.

Bahlil menyampaikan bahwa kesamaan pandangan antara pemerintah dan DPR menjadi dasar kuat untuk segera merevisi mekanisme RKAB yang saat ini berlaku.

“Seperti halnya komoditas batu bara, komoditas mineral juga mengalami hal yang sama. Karena itu kesamaan pandangan Komisi XII dengan Kementerian ESDM untuk meninjau kembali RKAB usaha pertambangan akan segera ditindaklanjuti,” ujarnya.

DPR Dukung Pengaturan Produksi Lebih Ketat

Komisi XII DPR RI sebagai mitra kerja Kementerian ESDM turut memberikan sorotan tajam terhadap sistem RKAB yang berlaku saat ini. Para anggota legislatif menilai bahwa pengawasan produksi perlu dilakukan secara lebih intensif, agar tidak terjadi over supply yang menyebabkan anjloknya harga jual di pasar internasional maupun domestik.

Usulan agar RKAB kembali diberlakukan per tahun dipandang sebagai langkah untuk mengendalikan volume produksi dan menyesuaikannya dengan kemampuan serapan industri nasional.

Tantangan Pelaksanaan dan Mekanisme Baru

Meski langkah ini mendapatkan dukungan, implementasi dari perubahan RKAB tahunan juga berpotensi menimbulkan tantangan administratif. Dengan lebih dari 4.000 izin usaha pertambangan aktif di Indonesia, sistem evaluasi tahunan akan menambah beban administratif bagi pelaku usaha dan aparatur pemerintah.

Namun, Kementerian ESDM meyakini bahwa melalui digitalisasi perizinan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, tantangan ini dapat diatasi. Tujuannya adalah menciptakan tata kelola sektor pertambangan yang lebih adaptif, responsif terhadap kondisi pasar, dan tetap menjaga kepastian hukum bagi investor.

Jalan Tengah: Pengawasan Tahunan, Izin Tiga Tahunan?

Sebagian kalangan industri juga mengusulkan opsi jalan tengah, yakni mempertahankan masa berlaku RKAB selama tiga tahun, namun dengan mekanisme pengawasan tahunan yang ketat. Pendekatan ini dinilai mampu mengakomodasi kebutuhan stabilitas usaha jangka menengah, sembari menjaga kendali pemerintah terhadap volume produksi dan kepatuhan perusahaan.

Namun hingga kini, keputusan akhir masih dalam tahap pembahasan dan harmonisasi kebijakan di lingkungan pemerintah. Apapun format akhir yang akan diadopsi, satu hal yang menjadi catatan penting adalah bahwa pengelolaan tambang harus mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan industri, keberlanjutan lingkungan, serta optimalisasi penerimaan negara.

Terkini

BBM Non Subsidi Lebih Terjangkau

Kamis, 21 Agustus 2025 | 10:39:57 WIB

LUTD PLN Terangi 121 Keluarga Padang dengan Listrik

Kamis, 21 Agustus 2025 | 10:47:01 WIB

Khasiat Kesehatan Air Kelapa Bakar dan Madu

Kamis, 21 Agustus 2025 | 07:37:39 WIB

Tips Keuangan Berdasarkan Shio, 21 Agustus 2025

Kamis, 21 Agustus 2025 | 08:38:08 WIB

Ramalan Karier Zodiak 21 Agustus 2025

Kamis, 21 Agustus 2025 | 08:40:34 WIB