JAKARTA -Transformasi sektor halal di Indonesia memasuki babak baru. Bukan hanya karena tingginya permintaan terhadap produk halal, tetapi juga karena keseriusan pemerintah dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam menjadikan sertifikasi halal sebagai bagian dari fondasi daya saing. Upaya membangun ketahanan ekonomi berbasis nilai-nilai syariah kini semakin nyata melalui percepatan sertifikasi halal yang menyasar jutaan produk UMKM nasional.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memegang posisi strategis dalam rantai pasok halal global. Di tengah momentum itu, tantangan serius justru muncul dari dalam negeri: rendahnya kepatuhan UMKM terhadap sertifikasi halal. Padahal, sektor kuliner menjadi tulang punggung UMKM Indonesia, dan konsumen Muslim terus mendorong pentingnya jaminan halal pada produk yang mereka konsumsi.
Saat ini, tercatat hanya sekitar 2,4 juta pelaku UMKM yang telah memiliki sertifikat halal. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan total 60 juta UMKM yang tersebar di seluruh Indonesia. Fakta ini menunjukkan adanya gap antara potensi dan realisasi. Tidak heran, pemerintah menaruh perhatian besar pada percepatan sertifikasi halal sebagai bagian dari agenda nasional untuk mengakselerasi pertumbuhan industri halal.
Dalam visi membentuk Indonesia sebagai pusat industri halal dunia, pemerintah tidak hanya menetapkan target ambisius, tetapi juga menyiapkan pendekatan yang terukur dan berkelanjutan. Salah satu target paling ambisius adalah penerbitan tujuh juta sertifikat halal hingga akhir 2025, dengan kecepatan hingga 10 ribu sertifikat per hari.
Untuk merealisasikan hal tersebut, digitalisasi dijadikan sebagai tulang punggung utama proses sertifikasi. Melalui sistem yang sepenuhnya terintegrasi secara daring, proses sertifikasi halal kini dapat dilakukan secara lebih cepat, transparan, dan akuntabel. Digitalisasi ini bukan hanya alat bantu teknis, tetapi solusi strategis untuk memecah kebuntuan birokrasi dan memperluas akses UMKM terhadap layanan sertifikasi.
Tidak hanya itu, teknologi terkini seperti kecerdasan buatan (AI) dan blockchain mulai dikembangkan untuk memperkuat ekosistem halal. Dengan AI, proses identifikasi bahan baku dapat dilakukan secara otomatis dan presisi. Sementara blockchain memungkinkan pelacakan asal-usul bahan secara rinci dan tidak bisa dimanipulasi, menambah tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk bersertifikat.
Namun demikian, penguatan sistem tidak cukup hanya bertumpu pada aspek teknologi. Integritas semua pihak, mulai dari pelaku usaha hingga lembaga pemeriksa halal, menjadi faktor penentu utama keberhasilan sistem. Tanpa komitmen kuat terhadap kejujuran dan akuntabilitas, proses sertifikasi dapat kehilangan makna dan kepercayaan publik terhadap label halal pun terancam.
“Kejujuran dan amanah dalam menjalankan proses ini adalah pondasi utama. Sertifikasi halal bukan hanya soal kertas dan stempel, tetapi menyangkut kepercayaan konsumen dan reputasi Indonesia dalam pasar global,” demikian penegasan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam transformasi sistem halal nasional.
Peran kolaborasi antar lembaga juga menjadi krusial. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Butuh dukungan dari dunia usaha, asosiasi UMKM, institusi keuangan syariah, hingga masyarakat sipil untuk membangun sistem halal yang inklusif. Pemerintah mendorong kemitraan lintas sektor dalam upaya edukasi, pendampingan, hingga pembiayaan sertifikasi bagi pelaku UMKM.
Banyak pelaku UMKM menganggap proses sertifikasi halal sebagai hal yang rumit, mahal, dan birokratis. Namun, dengan digitalisasi dan percepatan kebijakan, hambatan itu kini dapat ditekan seminimal mungkin. Pelaku usaha kini bisa mengajukan sertifikat secara daring, mengikuti proses pemeriksaan yang transparan, dan menerima hasil sertifikasi dalam waktu yang relatif singkat.
Upaya ini sejalan dengan tren global, di mana produk halal kini tidak hanya dicari oleh konsumen Muslim, tetapi juga menjadi simbol mutu dan etika produksi. Negara-negara seperti Brasil, Thailand, dan Korea Selatan bahkan telah menjadikan produk halal sebagai salah satu pilar ekspor unggulan, meskipun mereka bukan negara Muslim. Indonesia tentu tak boleh tertinggal dalam persaingan ini.
Dengan posisi yang sangat strategis, Indonesia memiliki peluang besar menjadi pusat industri halal global. Namun, peluang ini hanya bisa diraih jika sistemnya kuat, transparan, dan dipercaya. Di sinilah pentingnya membangun ekosistem halal yang tidak hanya cepat dalam layanan, tetapi juga kokoh dalam etika dan nilai.
Untuk itu, setiap pelaku UMKM diharapkan tidak sekadar melihat sertifikasi halal sebagai syarat administratif, tetapi sebagai bagian dari komitmen terhadap kualitas, kebersihan, dan keberkahan produk. Sertifikat halal adalah jaminan bahwa produk yang mereka hasilkan tidak hanya sesuai dengan syariat, tetapi juga mampu bersaing di pasar lokal dan internasional.
Dengan kombinasi antara digitalisasi layanan, integritas pelaku usaha, serta dukungan kebijakan dari pemerintah, transformasi ekosistem halal nasional kini berada pada jalur yang tepat. Visi Indonesia sebagai pusat industri halal dunia bukan lagi sekadar harapan, tetapi sebuah tujuan yang bisa dicapai melalui kerja sama semua pihak, terutama para pelaku UMKM yang menjadi ujung tombak ekonomi nasional.