JAKARTA - Transformasi industri pertambangan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari penerapan hilirisasi sebagai strategi nasional. Program ini bukan sekadar kebijakan sesaat, tetapi telah menjadi amanat konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot, menegaskan bahwa hilirisasi merupakan pilar utama dalam membangun kekuatan ekonomi berbasis sumber daya nasional.
Menurut Yuliot, kebijakan hilirisasi yang secara aktif dijalankan sejak 2020 merupakan upaya konkret pemerintah untuk memastikan bahwa kekayaan alam tidak lagi diekspor mentah, melainkan diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Hal ini baru benar-benar dapat dieksekusi secara masif ketika larangan ekspor ore nikel diberlakukan dan dipimpin langsung oleh Kepala BKPM saat itu, Bahlil Lahadalia.
“Hilirisasi itu sesuai UU Minerba tahun 2009. Ada kewajiban sumber daya alam harus diolah di dalam negeri. Tapi pelaksanaannya baru bisa dieksekusi pada 2020 ketika Pak Bahlil menjabat sebagai Kepala BKPM. Beliau mengumumkan pelarangan ekspor ore nikel dan harus dilakukan pengolahan di dalam negeri,” jelas Yuliot dalam forum Rakornas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Kebijakan tersebut mendorong tumbuhnya industri smelter secara signifikan. Bahkan perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia yang telah beroperasi sejak tahun 1967, baru pada 2023–2024 memasuki tahapan produksi hilirisasi. Hal ini menandai transformasi besar dalam tata kelola mineral di Indonesia, dari sekadar eksplorasi dan eksploitasi menuju industri bernilai tambah tinggi.
“Jadi kalau program hilirisasi tidak dipaksa, tidak akan jalan,” tegas Yuliot, menyoroti perlunya langkah tegas dan terukur dalam implementasi kebijakan ini.
Lonjakan Nilai Ekspor dan Dampak Sosial-Ekonomi
Salah satu indikator keberhasilan hilirisasi terlihat dari lonjakan signifikan nilai ekspor produk turunan nikel. Pada 2019, ekspor nikel mentah hanya menghasilkan devisa sebesar USD 3,3 miliar. Namun pada 2024, angka tersebut melonjak hingga USD 33,9 miliar, meningkat hampir sepuluh kali lipat. Nilai tambah ini tidak hanya dirasakan dalam bentuk penerimaan negara, tetapi juga berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan pengembangan ekosistem industri dalam negeri.
“Jadi ini manfaat dan ada juga penciptaan lapangan kerja, penerimaan negara, dan dari sisi ekosistem dari hilirisasi mulai terbangun,” kata Yuliot.
Keberhasilan hilirisasi menjadi bukti bahwa Indonesia mampu keluar dari ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah dan mulai membangun posisi strategis dalam rantai pasok global, khususnya dalam industri kendaraan listrik dan energi terbarukan yang sangat bergantung pada logam-logam kritis seperti nikel, kobalt, dan lainnya.
Konsolidasi Alumni HMI Dorong Isu Energi dan Kedaulatan Ekonomi
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus Ketua Panitia Rakornas KAHMI, Fauzi Amro, menyampaikan bahwa forum ini menjadi ajang konsolidasi para alumni Himpunan Mahasiswa Islam untuk memberikan kontribusi konkret dalam pembangunan nasional, khususnya pada isu energi dan pangan.
“KAHMI berkomitmen mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian energi agar tercapai kesejahteraan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Fauzi juga menjelaskan bahwa sebagai organisasi yang dihuni para intelektual muda dan profesional, KAHMI tidak hanya menjadi ruang silaturahmi, tetapi juga pusat gagasan. Melalui forum-forum seperti Rakornas, KAHMI merumuskan berbagai rekomendasi strategis untuk para pemangku kebijakan, termasuk dalam hal sistem politik dan pemilu, pengembangan SDM unggul, hingga peta jalan ketahanan energi.
Rekomendasi ini dirumuskan dari rangkaian dialog nasional, Focus Group Discussion (FGD), dan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) yang mengelaborasi isu-isu strategis tersebut secara akademik dan praktis.
“FGD bersama para pakar sudah kami lakukan, dan akan dilanjutkan dengan pengesahan rekomendasi pada penutupan Rakornas,” kata Fauzi.
Arah Kebijakan dan Peran Strategis Hilirisasi
Hilirisasi bukan sekadar proyek industrialisasi, tetapi merupakan strategi negara untuk memperkuat kedaulatan ekonomi dan energi nasional. Dalam konteks global, Indonesia memiliki peran strategis, khususnya sebagai pemasok bahan baku energi hijau seperti baterai kendaraan listrik. Keberhasilan hilirisasi juga akan memperkuat daya saing Indonesia di tengah tren transisi energi dunia.
Dengan eksekusi kebijakan yang konsisten, didukung komitmen dari sektor swasta dan kelembagaan seperti yang ditunjukkan oleh KAHMI, hilirisasi berpeluang menjadi pilar pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. Hal ini sejalan dengan visi pembangunan nasional menuju kemandirian ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Langkah-langkah afirmatif seperti pelarangan ekspor ore dan percepatan pembangunan smelter, disertai dengan dorongan pemanfaatan teknologi tinggi dan penegakan hukum yang adil, diharapkan dapat mempercepat tercapainya target-target strategis di sektor pertambangan dan energi.
Kebijakan hilirisasi yang awalnya mungkin terkesan memaksa, pada akhirnya terbukti memberikan hasil konkret bagi negara baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun geopolitik. Dan bila kebijakan ini terus diperkuat dengan tata kelola yang baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pemain utama dalam ekonomi berbasis sumber daya alam terbarukan.