Industri Logistik RI Butuh Regulasi Tegas dan Terpadu

Senin, 04 Agustus 2025 | 13:15:21 WIB
Industri Logistik RI Butuh Regulasi Tegas dan Terpadu

JAKARTA - Meskipun sektor perdagangan dan e-commerce di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan pesat, sektor logistik nasional justru masih menghadapi persoalan mendasar yang belum terselesaikan. Minimnya regulasi yang tegas dan sistem yang tidak terintegrasi menjadi penghambat utama dalam mewujudkan industri logistik yang efisien dan berdaya saing.

Muhamad Pahlevi, seorang pengamat bisnis sekaligus praktisi logistik, menilai kondisi tersebut bukan hal baru dan telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Menurutnya, kompleksitas masalah logistik di Indonesia terletak pada absennya sistem yang terpadu dan ketiadaan satu payung regulasi yang mampu mengatur berbagai aspek penting seperti pelayanan, tarif, serta standardisasi kualitas.

“Saat ini semua pemain bergerak sendiri-sendiri. Akibatnya terjadi repotition, perang harga, bahkan ada yang rela menurunkan margin hingga tersisa Rp150 ribu saja, yang pada akhirnya habis juga tergerus biaya operasional,” ujar Pahlevi.

Ia menjelaskan bahwa sektor logistik nasional setidaknya terbagi dalam dua kategori utama, yakni layanan kurir seperti JNE, Pos Indonesia, dan SAP, serta layanan door-to-door yang lebih banyak digunakan untuk pengiriman antar gudang atau proyek. Namun kedua lini ini kini terjebak dalam kompetisi harga yang kian tidak sehat, baik di tingkat hub maupun antar penyedia layanan.

“Kalau tidak ada regulasi, yang murah pasti menang. Kualitas jadi nomor sekian, yang penting barang sampai,” tegas Pahlevi.

Menurutnya, permasalahan logistik di Indonesia tidak hanya berhenti pada soal perang harga, namun juga menyangkut ketimpangan struktur investasi dan kebijakan. Pemerintah selama ini dinilai lebih fokus pada dukungan kepada investor besar di lini pertama, sementara pelaku usaha kecil dan menengah di lini ketiga dan keempat kerap kali terjepit kebijakan yang tidak berpihak.

“Dampaknya, lini kelima yaitu sektor perbankan, ikut terdampak karena kredit macet dan menurunnya minat pinjaman usaha,” ucap Levi.

Pahlevi menyarankan agar pemerintah menyusun acuan tarif logistik secara objektif, berdasarkan perhitungan jarak, konsumsi bahan bakar, serta jenis moda transportasi yang digunakan. Ia mencontohkan rute Jakarta–Bandung sejauh 140 kilometer yang menurutnya seharusnya sudah memiliki patokan harga per kilometer yang jelas dan terukur.

“Misalnya, dari Jakarta ke Bandung 140 km, harus ada patokan harga per kilometer, termasuk hitungan subsidi solar. Kalau harga diatur, pajak akan seimbang dengan subsidi,” jelasnya.

Situasi logistik yang tidak terkoordinasi dan regulasi yang belum jelas juga turut menurunkan kepercayaan investor. Menurut Pahlevi, hal itu mendorong banyak perusahaan besar, seperti Shopee, untuk membangun unit logistiknya sendiri demi memastikan pengiriman barang yang tepat waktu.

Padahal, kata dia, apabila ada sistem yang mendorong kolaborasi antarpelaku industri, termasuk para kompetitor, potensi efisiensi akan jauh lebih besar. Sistem tarif tunggal dan transparansi dalam pendaftaran armada adalah beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk memperbaiki ekosistem logistik saat ini.

Levi pun mendorong pemerintah untuk segera membentuk Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang benar-benar terintegrasi dan mencakup seluruh sektor, dari hulu ke hilir. Menurutnya, sistem terpadu ini dapat menjadi fondasi dalam menekan biaya distribusi, meningkatkan efisiensi layanan, serta menciptakan ekosistem logistik yang lebih kompetitif dan profesional.

“Kalau sistemnya terintegrasi, biaya bisa ditekan, efisiensi meningkat, dan investor akan lebih percaya,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya BUMN untuk fokus pada core business atau “por”-nya masing-masing agar tidak menyimpang dari tujuan awal pembentukannya, yakni memberikan kesejahteraan bagi rakyat.

“Pos Indonesia fokus memperkuat lini logistik, Krakatau Steel fokus di baja. BUMN dibentuk untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mencari profit. Prinsipnya, pornya harus kuat,” tandasnya.

Pahlevi menegaskan bahwa jika regulasi tarif dan kualitas layanan, khususnya di tahap awal pengiriman (first mile), tidak segera dibenahi, maka situasi persaingan tidak sehat yang mengarah pada banting harga akan terus berlanjut. Hal ini tentu membahayakan keberlangsungan usaha logistik lokal.

“Logistik itu ujung tombak perekonomian. Kalau pondasinya rapuh, distribusi nasional pun akan pincang,” pungkas Pahlevi.

Terkini

BYD Kuasai Pasar Global, Indonesia Masuk Daftar

Senin, 04 Agustus 2025 | 15:52:32 WIB

XL Perkuat Ekosistem Digital Lewat Bundling OPPO Reno14

Senin, 04 Agustus 2025 | 15:57:41 WIB

Harga iPhone Turun Jelang iPhone 17

Senin, 04 Agustus 2025 | 16:03:26 WIB