RUMAH MURAH

Tantangan Kebijakan Perumahan di Indonesia: Masyarakat Berpenghasilan Rendah Masih Terpinggirkan

Tantangan Kebijakan Perumahan di Indonesia: Masyarakat Berpenghasilan Rendah Masih Terpinggirkan
Tantangan Kebijakan Perumahan di Indonesia: Masyarakat Berpenghasilan Rendah Masih Terpinggirkan

JAKARTA - Indonesia telah mengusung jargon "rumah layak untuk semua" hampir dua dekade lamanya. Namun, meskipun sudah banyak kebijakan yang digulirkan, kenyataannya, sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih terpaksa hanya bisa memimpikan untuk memiliki rumah layak huni. Salah satu kebijakan yang diharapkan dapat mendorong terwujudnya perumahan bagi MBR adalah kebijakan strategis berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang bertujuan untuk mengintegrasikan sektor perumahan, tata ruang, dan perizinan.

Namun, meski kebijakan tersebut sudah ada, implementasinya di tingkat daerah justru menghadapi banyak hambatan. Beberapa pihak menilai bahwa pelaksanaan kebijakan ini belum maksimal, bahkan cenderung stagnan. Fakta ini menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa program "rumah layak untuk semua" bukan sekadar jargon tanpa makna.

Masyarakat Berpenghasilan Rendah Terpinggirkan

Salah satu masalah utama yang dihadapi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah keterbatasan akses terhadap perumahan yang terjangkau. Banyak di antara mereka yang hidup di daerah perkotaan maupun pedesaan harus rela tinggal di hunian yang tidak layak, bahkan terjebak dalam siklus sewa rumah yang tinggi atau kehidupan di daerah kumuh yang penuh dengan keterbatasan infrastruktur.

Menurut data yang dihimpun, sekitar 11 juta rumah tangga di Indonesia masih tinggal di rumah yang tidak layak huni. Hal ini semakin memperburuk kondisi kualitas hidup mereka, karena mereka tidak memiliki tempat tinggal yang memadai, serta terhambatnya akses terhadap fasilitas dasar seperti air bersih, sanitasi, dan transportasi umum. Padahal, pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakan, termasuk pembangunan rumah murah, berusaha untuk menjawab kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa meskipun banyak program perumahan yang dicanangkan, seperti Program Sejuta Rumah yang digagas sejak 2015, banyak MBR yang tidak dapat merasakannya secara langsung. Bahkan, beberapa program perumahan murah justru cenderung mengarah pada pembangunan hunian vertikal atau perumahan subsidi yang masih jauh dari jangkauan masyarakat berpenghasilan rendah di daerah-daerah terpencil.

Kebijakan SKB 3 Menteri: Solusi atau Justru Hambatan?

Salah satu kebijakan strategis yang diharapkan dapat memperbaiki sektor perumahan adalah SKB 3 Menteri, yang mengintegrasikan tiga aspek penting: sektor perumahan, tata ruang, dan perizinan. Kebijakan ini bertujuan untuk mempermudah proses perizinan pembangunan rumah, mengoptimalkan penggunaan lahan, dan meminimalisasi birokrasi yang seringkali menjadi hambatan bagi pengembangan perumahan murah bagi MBR.

Namun, meskipun kebijakan ini dirancang untuk mempermudah dan mempercepat pembangunan perumahan, pelaksanaannya di daerah-daerah justru sering terhambat. Salah satu kendala utama adalah kurangnya koordinasi antar lembaga dan pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan tersebut. Banyak daerah yang belum mampu mengoptimalkan potensi kebijakan ini, bahkan ada yang cenderung mengabaikan kebijakan tersebut karena berbagai alasan, baik itu masalah teknis, regulasi, atau keterbatasan anggaran.

Seorang pemerhati kebijakan perumahan, Budi Santoso, mengungkapkan bahwa meskipun SKB 3 Menteri telah disusun dengan baik dan jelas, masih banyak daerah yang belum memahaminya secara menyeluruh. “Ada banyak hambatan dalam implementasi SKB 3 Menteri di tingkat daerah. Terutama terkait dengan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam mengelola dan menjalankan kebijakan ini. Seharusnya, mereka dapat lebih cepat dalam merespons kebutuhan akan perumahan yang layak,” ujarnya.

Budi menambahkan bahwa dalam praktiknya, sering kali kebijakan ini terhambat oleh masalah teknis dan administratif. Misalnya, lambatnya proses perizinan dan peraturan tata ruang yang tidak mendukung pembangunan perumahan murah. Selain itu, belum semua daerah mampu menyediakan lahan yang tepat untuk pembangunan perumahan rakyat yang terjangkau.

Penyelesaian Tantangan: Sinergi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Untuk memastikan bahwa kebijakan "rumah layak untuk semua" dapat terwujud, penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk bekerja lebih sinergis. Pemerintah pusat melalui kementerian terkait, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), harus memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah agar kebijakan dan program perumahan dapat berjalan dengan efektif.

Di sisi lain, pemerintah daerah juga perlu lebih proaktif dalam mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menyusun rencana pembangunan perumahan yang sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Dalam hal ini, peran kepala daerah dan aparat pemerintah daerah sangat penting untuk mendorong kebijakan perumahan agar tidak sekadar tersusun di atas kertas.

Selain itu, untuk menciptakan perumahan yang terjangkau bagi MBR, diperlukan pengembangan model perumahan yang lebih inovatif dan berbasis pada pemanfaatan lahan yang lebih efisien. Salah satu solusinya adalah dengan mendorong pembangunan rumah murah yang ramah lingkungan, serta memperkenalkan model pembiayaan yang lebih fleksibel dan terjangkau bagi MBR, seperti sistem kredit perumahan dengan bunga rendah.

Kebutuhan Rumah yang Terus Meningkat

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dan urbanisasi yang terus meningkat, kebutuhan akan rumah tinggal yang layak huni semakin mendesak. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menyediakan akses terhadap perumahan menjadi sangat penting. Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun ada upaya-upaya pembangunan rumah murah melalui program seperti Sejuta Rumah, jumlah unit rumah yang tersedia masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Menurut data dari Kementerian PUPR, Indonesia membutuhkan sekitar 12 juta unit rumah hingga 2025. Namun, angka tersebut masih jauh dari target yang telah ditetapkan dalam program-program perumahan. Seiring dengan peningkatan kebutuhan ini, pemerintah perlu lebih inovatif dalam merumuskan kebijakan dan mempercepat realisasi proyek perumahan yang dapat diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Tantangan yang Belum Usai

Tantangan dalam mewujudkan "rumah layak untuk semua" di Indonesia masih sangat besar. Meskipun sudah ada kebijakan strategis seperti SKB 3 Menteri, implementasinya di tingkat daerah masih menghadapi banyak hambatan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah, serta inovasi dalam model pembiayaan dan perencanaan pembangunan perumahan. Dengan begitu, harapan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah layak huni bisa terwujud, bukan sekadar menjadi mimpi belaka.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index