Petani

Petani Tembakau Mojokerto Gagal Panen akibat Cuaca

Petani Tembakau Mojokerto Gagal Panen akibat Cuaca
Petani Tembakau Mojokerto Gagal Panen akibat Cuaca

JAKARTA - Di tengah harapan panen tembakau yang semestinya menjadi momen kemakmuran, petani di kawasan utara Sungai Brantas, khususnya di Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto, justru dihadapkan pada realita pahit. Cuaca yang tak menentu, terutama curah hujan yang tinggi di musim kemarau, telah mengacaukan siklus tanam dan panen mereka.

Dawarblandong selama ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi tembakau di Jawa Timur, terutama saat musim kemarau. Komoditas tembakau menjadi tumpuan utama ekonomi warga, dengan petani menaruh harapan besar terhadap hasil panennya setiap tahun. Namun, anomali cuaca yang belakangan terjadi telah mengubah segalanya.

Sukamah, salah seorang petani tembakau di wilayah tersebut, menggambarkan betapa sulitnya mempertahankan tanaman tembakaunya dalam kondisi cuaca ekstrem yang tidak sesuai musim. Ia bahkan telah melakukan tiga kali upaya tanam ulang, namun semua gagal akibat hujan deras yang datang tanpa terduga.

“Satu kali biaya tanam bisa mencapai Rp 3 sampai 4 juta. Namun saat ini gagal karena anomali cuaca. Tembakau merupakan tanaman musim kemarau. Jika terkena air hujan cukup banyak menyebabkan pembusukan,” ujar Sukamah.

Tembakau memang dikenal sebagai tanaman yang membutuhkan kondisi tanah kering dan sinar matahari maksimal untuk menghasilkan daun berkualitas tinggi. Dalam kondisi ideal, petani bisa meraup untung besar karena harga jual tembakau kering cukup tinggi di pasaran, terlebih jika kadar airnya rendah dan warna daunnya cerah.

Namun realitas tahun ini berbeda. Tanaman tembakau yang seharusnya tumbuh subur kini layu, menguning, bahkan membusuk. Akibatnya, puluhan hektare lahan yang sebelumnya menjadi sumber penghasilan utama petani kini berubah menjadi ladang kerugian.

Efek Lingkaran Setan dari Cuaca Ekstrem

Cuaca tak bersahabat seperti yang dialami Mojokerto bukanlah peristiwa terisolasi. Dalam beberapa tahun terakhir, petani di berbagai wilayah Indonesia kerap menghadapi siklus cuaca yang semakin sulit diprediksi. Fenomena El Niño maupun La Niña membuat peralihan musim tidak menentu, dengan hujan datang di tengah kemarau, atau sebaliknya.

Kondisi ini berdampak besar terhadap sektor pertanian, terutama bagi tanaman musiman seperti tembakau, yang tidak tahan terhadap curah hujan tinggi. Bahkan, ancaman gagal panen menjadi semakin nyata karena perubahan cuaca bukan hanya terjadi dalam hitungan hari, tetapi terus berlangsung selama masa tanam.

Bagi petani kecil seperti Sukamah, kegagalan panen berarti ancaman terhadap kelangsungan hidup keluarga mereka. Dana yang telah dikeluarkan untuk membeli benih, pupuk, dan biaya pengolahan tanah tidak bisa kembali, sementara pemasukan dari hasil panen nihil.

“Sudah tiga kali saya coba tanam. Harapannya bisa mengejar panen sebelum musim hujan, tapi kenyataannya malah hujan datang lebih dulu dan tembakau tidak kuat,” keluhnya.

Ketidakpastian yang Membelenggu Petani

Tak hanya Sukamah, sejumlah petani di wilayah Dawarblandong lainnya juga menghadapi kesulitan serupa. Mereka berhadapan dengan situasi di mana tak ada jaminan keberhasilan tanam meskipun telah mengikuti pola musim seperti biasa.

Fenomena ini memperlihatkan betapa rentannya sektor pertanian terhadap dampak perubahan iklim. Tanpa perlindungan dan dukungan kebijakan yang kuat, petani akan terus menjadi pihak yang paling dirugikan.

Sejumlah petani mulai mempertimbangkan untuk tidak lagi menanam tembakau pada musim berikutnya. Namun di sisi lain, mereka juga kesulitan beralih ke komoditas lain karena keterbatasan lahan, modal, dan keahlian. Hal ini membuat mereka terjebak dalam siklus ketidakpastian yang merugikan secara ekonomi maupun psikologis.

“Kalau terus begini, tahun depan saya mungkin tidak berani tanam lagi. Tapi kalau tidak menanam, kami juga tidak punya penghasilan,” kata salah satu petani lain di desa tetangga.

Harapan Terakhir: Dukungan Pemerintah

Di tengah kondisi yang sulit, para petani berharap adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah maupun pusat. Mereka mendesak adanya intervensi cepat berupa bantuan bibit ulang, subsidi pupuk, hingga pelatihan adaptasi pertanian berbasis cuaca.

Lebih jauh, mereka berharap adanya penguatan sistem peringatan dini terkait cuaca ekstrem agar para petani bisa menyusun strategi tanam secara lebih tepat.

“Kami butuh kepastian dan arahan. Kalau bisa pemerintah bantu edukasi tentang tanaman alternatif atau teknologi yang bisa menahan air hujan supaya tembakau tidak busuk,” ujar Sukamah.

Langkah lainnya yang dinilai penting adalah memfasilitasi asuransi pertanian berbasis risiko cuaca. Dengan sistem ini, petani dapat memperoleh ganti rugi bila terjadi gagal panen akibat faktor iklim, sehingga mereka tetap memiliki modal untuk menanam kembali atau memenuhi kebutuhan dasar keluarga.

Masa Depan Pertanian Tembakau di Ujung Tanduk?

Perubahan pola iklim dan ketergantungan terhadap komoditas tunggal seperti tembakau semakin menunjukkan bahwa ketahanan pangan dan keberlanjutan usaha tani perlu pendekatan baru. Diversifikasi komoditas, modernisasi sistem irigasi, serta pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan cuaca ekstrem menjadi kebutuhan mendesak.

Tanpa perubahan itu, bukan tidak mungkin bahwa sektor tembakau di Mojokerto  dan wilayah lain  akan mengalami kemunduran permanen. Petani seperti Sukamah akan terus berjibaku dengan kerugian, dan generasi muda enggan melanjutkan usaha tani karena dinilai terlalu berisiko.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index