JAKARTA - Ketika berbicara soal perusahaan teknologi yang mampu menembus dekade demi dekade tanpa kehilangan relevansi, nama Sony selalu muncul sebagai salah satu pemain utama. Didirikan di Jepang pada 1946, perusahaan ini telah melalui berbagai fase perubahan zaman dan revolusi teknologi. Namun yang paling mengesankan, Sony tak hanya bertahan—mereka bertransformasi secara konsisten dan tetap relevan di tengah dunia yang terus bergerak cepat.
Bagi sebagian orang, nama Sony mungkin membangkitkan nostalgia: perangkat Walkman yang menemani jalan pagi, kamera Cyber-shot yang menangkap momen liburan keluarga, hingga konsol PlayStation yang merevolusi dunia gim. Namun di balik merek-merek ikonik itu, ada filosofi inovasi yang terus menyala. Filosofi ini yang menjadikan Sony bukan sekadar perusahaan elektronik, tetapi juga pelopor budaya teknologi.
Momen Transformasional: Walkman dan Awal Kejayaan
Salah satu titik balik paling krusial dalam sejarah Sony adalah saat mereka memperkenalkan Walkman pada tahun 1981. Produk ini tidak hanya sukses secara komersial, tetapi juga mengubah pola konsumsi musik secara global. Walkman memperkenalkan dunia pada konsep mendengarkan musik pribadi kapan saja dan di mana saja—konsep yang pada masa itu merupakan lompatan besar.
Walkman adalah lebih dari sekadar pemutar kaset portabel. Ia adalah simbol kebebasan, individualisme, dan gaya hidup urban. Dalam banyak hal, kesuksesan Walkman menjadi cetak biru bagi perusahaan teknologi lain tentang bagaimana membangun hubungan emosional dengan pengguna.
“Walkman mengajarkan Sony bahwa inovasi bukan hanya soal teknologi canggih, tapi juga memahami bagaimana teknologi itu akan mengubah hidup orang,” kata seorang mantan eksekutif pemasaran Sony dalam wawancara dokumenter BBC pada 2011.
Menavigasi Perubahan: Dari Analog ke Digital
Namun, seperti banyak perusahaan besar lainnya, Sony tak luput dari tantangan. Era digital membawa serta gelombang baru pemain teknologi dari Silicon Valley dan Tiongkok. Perangkat analog mulai ditinggalkan. Walkman, kamera digital, bahkan televisi CRT—semuanya perlahan tergeser oleh teknologi yang lebih ramping, lebih terintegrasi, dan lebih pintar.
Sony, yang sempat terjebak dalam kebesaran masa lalunya, menghadapi masa-masa sulit di awal 2000-an. Strategi produk mereka dinilai kurang tajam, lini bisnis terlalu tersebar, dan inovasi mulai kalah cepat dibanding pesaing.
Namun, di sinilah titik balik lainnya muncul. Di bawah kepemimpinan Kazuo Hirai pada 2012, Sony memfokuskan ulang perusahaannya ke tiga pilar utama: hiburan, sensor gambar, dan game. Divisi-divisi yang tidak produktif dilepas, dan investasi diarahkan pada kekuatan inti. Strategi ini perlahan tapi pasti mengembalikan Sony ke jalur pertumbuhan.
PlayStation: Pilar Relevansi Baru
Salah satu pilar yang paling menentukan dalam era modern Sony adalah PlayStation. Sejak pertama kali diluncurkan pada 1994, PlayStation telah menjadi salah satu konsol paling sukses secara global. Inovasi berkelanjutan dari PS2, PS3, PS4 hingga PS5 tidak hanya memperkuat posisi Sony di industri gim, tetapi juga menjadikan mereka bagian tak terpisahkan dari gaya hidup generasi milenial dan Gen Z.
Per Maret 2025, Sony melaporkan bahwa penjualan PlayStation 5 telah melampaui 60 juta unit secara global. Dengan dukungan layanan berlangganan seperti PlayStation Plus dan ekosistem gim eksklusif, Sony menjadikan platform ini sebagai ujung tombak transformasi digital mereka.
Kamera dan Sensor: Kekuatan di Balik Layar
Selain PlayStation, kekuatan besar Sony lainnya ada pada divisi semikonduktor, khususnya sensor kamera. Di balik kejernihan foto yang Anda ambil lewat iPhone, Samsung, atau Xiaomi, besar kemungkinan terdapat sensor buatan Sony. Perusahaan ini adalah pemimpin pasar global dalam sensor gambar CMOS, dan memasok lebih dari 40% sensor kamera smartphone di dunia.
Dalam industri yang bergantung pada kualitas visual seperti otomotif otonom, pemantauan keamanan, dan telepon pintar, keberadaan Sony sangat vital. Mereka mungkin tidak selalu menjadi nama yang terpampang di perangkat, namun menjadi “otak visual” dari berbagai teknologi modern.
Film, Musik, dan Ekspansi Hiburan
Sony juga tidak melupakan akarnya di dunia hiburan. Dengan anak perusahaannya seperti Sony Pictures Entertainment dan Sony Music, mereka menguasai bagian signifikan dari konten global. Film blockbuster seperti Spider-Man: No Way Home dan label musik yang menaungi artis-artis besar seperti Beyoncé, Adele, dan Harry Styles, menunjukkan bagaimana Sony juga menjadi “penjaga selera” budaya populer dunia.
Keunikan Sony terletak pada kemampuannya menyatukan teknologi dan konten dalam satu ekosistem. Mereka tidak hanya menciptakan perangkat keras, tetapi juga mengendalikan apa yang dilihat dan didengar melalui perangkat itu.
Apa Rahasia Ketahanan Sony?
Relevansi Sony selama puluhan tahun tidak datang dari satu produk saja. Walkman, PlayStation, kamera, film, musik—semuanya adalah bagian dari mozaik besar bernama ketekunan dan adaptasi. Sony tidak takut untuk menutup lini bisnis yang sudah tak relevan, dan juga tidak ragu untuk mengeksplorasi wilayah baru.
Kunci dari semua ini adalah kemampuan membaca arah perubahan—bukan hanya teknologi, tetapi juga perilaku manusia. Di tengah perubahan lanskap digital dan kompetisi global yang ketat, Sony memilih untuk tidak hanya bertahan, tetapi memimpin.
Dari Peyek ke PlayStation
Di tengah keramaian pasar tradisional, sambil menikmati renyahnya peyek dan aroma sambal pecel, kita bisa merenungkan satu hal sederhana: relevansi bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang penuh adaptasi dan keberanian mengambil keputusan.
Sony, dalam semua transformasinya, telah menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya soal mesin—tetapi juga soal memahami manusia. Dan sejauh ini, mereka berhasil menjalaninya dengan luar biasa.