JAKARTA - Dalam perjalanan Indonesia menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, panas bumi atau geothermal menjadi salah satu sumber daya strategis yang terus mendapat sorotan. Potensi energi panas bumi Indonesia diakui sebagai yang terbesar kedua di dunia. Energi ini dinilai mampu menjadi tulang punggung transisi menuju energi terbarukan, menggantikan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi.
Namun, seiring dengan upaya pengembangan energi panas bumi di berbagai wilayah, muncul dinamika sosial yang tidak bisa diabaikan. Di sejumlah daerah, proyek-proyek geothermal justru menghadapi penolakan dari sebagian masyarakat, baik karena kekhawatiran akan dampak lingkungan maupun isu-isu sosial budaya lainnya.
Dalam konteks inilah muncul seruan untuk melihat transisi energi secara lebih humanis, inklusif, dan berpihak kepada masyarakat terdampak. Transisi energi bukan sekadar soal membangun pembangkit ramah lingkungan, tetapi juga soal bagaimana pembangunan itu mampu menjamin hak-hak warga, melibatkan mereka dalam proses, dan memberi manfaat yang adil bagi semua pihak.
Panas Bumi: Aset Energi yang Tak Terbarukan Jika Terabaikan
Indonesia memiliki cadangan panas bumi sebesar lebih dari 23,7 GW, namun hingga kini kapasitas terpasang baru menyentuh sekitar 2,3 GW atau sekitar 9–10 persen dari total potensi. Artinya, masih ada ruang yang sangat luas untuk mengembangkan energi bersih ini.
Berbeda dengan energi surya dan angin yang sangat tergantung pada cuaca dan lokasi, energi panas bumi cenderung stabil dan bisa menghasilkan listrik sepanjang waktu (base load). Inilah yang menjadikannya sangat penting dalam menjaga kestabilan pasokan energi di tengah pertumbuhan konsumsi listrik nasional.
Sayangnya, meski potensi melimpah, pengembangannya di lapangan kerap menghadapi tantangan non-teknis. Salah satunya adalah resistensi dari masyarakat lokal yang merasa tidak dilibatkan, bahkan kadang-kadang merasa terancam oleh kehadiran proyek tersebut.
Penolakan yang Muncul: Antara Kurangnya Sosialisasi dan Ketimpangan Manfaat
Penolakan terhadap proyek energi panas bumi di beberapa daerah sebenarnya bukan semata karena masyarakat anti terhadap energi terbarukan. Sering kali, akar masalahnya adalah kurangnya komunikasi dua arah antara pengembang dan warga, serta minimnya pemahaman soal dampak dan manfaat proyek yang akan dibangun.
Sebagian masyarakat mengkhawatirkan dampak lingkungan, seperti pencemaran air, gangguan kesehatan, hingga potensi kerusakan lahan pertanian. Di sisi lain, sebagian merasa tidak memperoleh manfaat langsung dari proyek yang berjalan di tanah leluhur mereka. Ketimpangan informasi ini sering kali diperburuk oleh proses yang cenderung top-down dan tidak partisipatif.
Karena itu, pendekatan yang lebih empatik dan humanis dibutuhkan. Masyarakat bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek yang berhak didengar, dilibatkan, dan dihargai pendapatnya. Proses pengambilan keputusan harus transparan, adil, dan terbuka terhadap dialog.
Potensi Besar Energi Panas Bumi untuk Transisi Energi Nasional
Pemerintah Indonesia telah memasukkan pengembangan panas bumi sebagai bagian dari strategi nasional menuju Net Zero Emissions (NZE) 2060. Dalam peta jalan transisi energi, kontribusi panas bumi diproyeksikan meningkat tajam, mengingat keunggulannya yang berkelanjutan dan rendah emisi.
Dengan kapasitas yang dapat ditingkatkan secara signifikan, energi panas bumi diyakini mampu menopang bauran energi terbarukan nasional hingga 23% pada 2025, dan bahkan lebih tinggi dalam beberapa dekade mendatang. Sektor ini juga membuka peluang investasi besar, penciptaan lapangan kerja lokal, serta pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil.
Namun semua peluang ini hanya akan menjadi kenyataan jika proses pengembangan dilakukan secara berkelanjutan dan adil, tanpa mengorbankan nilai-nilai sosial dan budaya setempat.
Perlunya Pendekatan Partisipatif dan Sosial-Budaya
Penerimaan sosial terhadap proyek geothermal sangat ditentukan oleh cara pendekatan yang dilakukan pemerintah dan pengembang. Program yang dirancang dengan melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, memberikan ruang dialog, dan menghormati nilai-nilai lokal akan lebih mudah diterima.
Penting pula untuk menyediakan mekanisme keluhan dan resolusi konflik, agar kekhawatiran masyarakat dapat ditanggapi secara serius dan cepat. Pengembang juga didorong untuk menyediakan kompensasi yang adil, program tanggung jawab sosial (CSR) yang konkret, serta peluang ekonomi yang inklusif bagi masyarakat sekitar proyek.
Penting untuk diingat bahwa pengembangan energi terbarukan tidak boleh mengulang kesalahan masa lalu pembangunan ekstraktif, yang kerap menyingkirkan warga demi pembangunan fisik. Transisi energi sejati adalah transisi yang memberdayakan masyarakat, bukan sekadar mengganti sumber energinya.
Perlindungan Hak Masyarakat sebagai Prasyarat Sukses Transisi
Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan proyek strategis sekalipun tidak boleh mengabaikan hak warga negara, terutama hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, hak atas informasi, dan hak atas penghidupan.
Ketika proyek energi panas bumi dikembangkan di wilayah adat atau komunitas lokal, perlu dilakukan proses Free, Prior and Informed Consent (FPIC), di mana masyarakat setempat memiliki hak penuh untuk menyatakan setuju atau tidak setelah memperoleh informasi secara utuh dan tanpa paksaan.
Proses ini bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi kunci agar proyek bisa berjalan dengan dukungan sosial yang kuat, meminimalkan konflik, dan menjamin keberlanjutan jangka panjang.
Transisi Energi Tak Hanya Soal Teknologi, Tapi Juga Keadilan
Panas bumi adalah salah satu pilar utama dalam upaya Indonesia mencapai kedaulatan energi dan mengurangi emisi karbon. Namun, pengembangannya tidak bisa hanya mengandalkan keunggulan teknis dan potensi ekonominya. Ia harus ditopang oleh proses yang berkeadilan, inklusif, dan partisipatif.
"Energi panas bumi merupakan salah satu pilar terwujudnya transisi menuju energi terbarukan Indonesia. Potensinya begitu besar. Namun, masih ada saja penolakan di beberapa tempat yang seharusnya bisa direspons lebih humanis dengan tetap melindungi hak masyarakat."
Pernyataan tersebut menjadi pengingat bahwa transisi energi yang sejati bukan hanya pergantian sumber daya, tetapi juga transformasi dalam cara kita membangun, melibatkan, dan menghargai manusia sebagai bagian dari solusi.
Jika dijalankan dengan prinsip-prinsip ini, panas bumi tidak hanya akan menghasilkan listrik bersih, tetapi juga hubungan sosial yang sehat, pembangunan yang berkelanjutan, serta masa depan energi Indonesia yang lebih adil dan merata.