JAKARTA - Tingginya biaya logistik di Indonesia kembali menjadi perhatian utama dalam upaya memperkuat daya saing nasional. Dalam konteks ini, Kementerian Perhubungan menegaskan pentingnya transformasi sistem transportasi nasional yang terintegrasi sebagai kunci untuk menurunkan beban logistik yang masih berada di level tertinggi di kawasan ASEAN.
Persoalan logistik bukan semata urusan biaya distribusi, melainkan menyangkut bagaimana moda transportasi dihubungkan secara efektif dan efisien. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, yang menjelaskan bahwa berbagai tantangan masih menjadi penghambat utama sistem transportasi Indonesia.
“Transportasi bukan sekadar infrastruktur jalan atau rel, tetapi tentang sistem yang saling terhubung dan memudahkan pergerakan antarmoda secara seamless,” jelas Risal dalam sebuah forum industri perkeretaapian nasional.
Permasalahan utama yang dihadapi saat ini antara lain kemacetan lalu lintas yang kronis di kota-kota besar, dominasi transportasi berbasis jalan raya, serta konektivitas antarmoda yang belum optimal. Ketiga faktor tersebut menyebabkan proses distribusi barang dan mobilitas manusia menjadi tidak efisien, yang pada akhirnya berdampak pada tingginya biaya logistik nasional.
Sebagai bagian dari solusi, pemerintah tengah mengembangkan konsep Mobility as a Service (MaaS), yakni platform digital yang menyatukan seluruh moda transportasi, mulai dari darat, laut, hingga udara, dalam satu sistem layanan terintegrasi. MaaS dirancang agar masyarakat bisa berpindah moda transportasi tanpa kendala teknis maupun administratif.
“Dengan MaaS, masyarakat bisa berpindah moda transportasi dalam satu sistem tanpa hambatan, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi,” imbuh Risal.
Ketergantungan terhadap kendaraan pribadi saat ini memang sangat tinggi. Indonesia tercatat memiliki sekitar 140 juta unit sepeda motor dan 20 juta mobil yang tersebar di seluruh wilayah. Selain menambah beban infrastruktur jalan, kondisi ini juga turut menyumbang emisi karbon yang signifikan, terutama di kawasan perkotaan.
“Di Jabodetabek saja, emisi karbon dari transportasi mencapai 270 kg per hari, atau 79% dari total emisi kawasan,” ujar Risal.
Fakta tersebut menggambarkan betapa mendesaknya reformasi dalam sistem transportasi nasional. Bukan hanya demi efisiensi biaya, tetapi juga demi keberlanjutan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat.
Dari sisi ekonomi, tingginya ketergantungan terhadap angkutan jalan menjadi beban yang mahal bagi logistik nasional. Data dari Kementerian Perhubungan mencatat bahwa biaya logistik Indonesia mencapai 14,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB) angka yang jauh di atas negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam.
Tak hanya dari segi biaya, kualitas logistik Indonesia juga masih belum optimal. Hal ini tercermin dari Logistics Performance Index (LPI) Indonesia yang hanya mencapai skor 3,0. Angka ini tertinggal cukup jauh dari Singapura (4,3), Malaysia (3,6), dan Vietnam (3,3). Rendahnya skor LPI ini menunjukkan bahwa sistem logistik Indonesia belum memiliki performa yang kompetitif, terutama dari sisi infrastruktur dan keandalan pengiriman.
Menyikapi hal ini, Kemenhub tidak tinggal diam. Sebagai langkah konkret, pemerintah telah menyusun roadmap integrasi antarmoda dan multimoda periode 2025–2029. Peta jalan tersebut menjadi panduan dalam membangun sistem logistik nasional yang efisien, terhubung, dan ramah lingkungan.
Roadmap tersebut mencakup pengembangan simpul-simpul transportasi seperti pelabuhan, stasiun, bandara, dan terminal secara terpadu di berbagai wilayah Indonesia. Tujuannya, memperkuat konektivitas antarwilayah dari Sumatera hingga Papua, yang selama ini sering terhambat oleh minimnya koneksi moda transportasi.
“Kami ingin membangun sistem logistik dan mobilitas nasional yang efisien, rendah emisi, dan berorientasi layanan,” tegas Risal.
Transformasi ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Biaya logistik yang tinggi tidak hanya memberatkan pelaku usaha, tetapi juga berdampak langsung pada harga barang konsumsi dan daya beli masyarakat. Dengan integrasi transportasi yang lebih baik, diharapkan distribusi barang bisa menjadi lebih murah dan cepat.
Upaya integrasi ini bukanlah tugas ringan. Dibutuhkan sinergi lintas kementerian, dukungan dari pemerintah daerah, serta keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur, teknologi, dan pembiayaan. Namun, dengan arah kebijakan yang jelas dan implementasi yang konsisten, Indonesia berpeluang besar memangkas gap logistik dibanding negara-negara ASEAN lainnya.
Langkah-langkah ini juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk menjadikan transportasi sebagai fondasi utama pembangunan ekonomi nasional. Dalam jangka panjang, sistem transportasi yang terintegrasi dan efisien akan mendukung pertumbuhan sektor industri, perdagangan, dan pariwisata, sekaligus memperkuat konektivitas antarpulau yang menjadi ciri khas geografis Indonesia.