JAKARTA - Di tengah derasnya arus informasi dan budaya populer, masih banyak mitos yang bertahan kuat dalam benak masyarakat. Salah satunya adalah keyakinan bahwa minyak bumi berasal dari fosil dinosaurus. Gagasan ini begitu melekat, bahkan acap kali digunakan dalam iklan, film, hingga pelajaran sains masa kecil. Padahal, penjelasan ilmiah menyatakan hal yang sebaliknya.
Ahli geologi dari University of Oslo, Reidar Müller, merasa heran dengan popularitas mitos tersebut. Ia menyebut bahwa ide minyak berasal dari dinosaurus merupakan kekeliruan besar yang telah tertanam lama dalam persepsi publik.
“Untuk alasan yang aneh, ide bahwa minyak berasal dari dinosaurus sangat melekat di benak banyak orang,” kata Müller.
- Baca Juga Masa Depan Energi dan Warisan Fosil
Fakta ilmiah menunjukkan bahwa minyak bumi sejatinya terbentuk dari jasad mikroorganisme laut seperti alga dan plankton yang hidup ratusan juta tahun lalu. Organisme mikroskopis ini memiliki peran yang jauh lebih besar dibandingkan hewan purba raksasa seperti Tyrannosaurus rex atau Triceratops, dalam proses pembentukan energi fosil.
Dalam kutipan lain dari IFLScience, Müller menambahkan, “Kenyataannya, minyak berasal dari organisme mikroskopis yang hidup di lautan jutaan tahun lalu.”
Mikroorganisme yang mati akan tenggelam ke dasar laut dan perlahan tertimbun oleh lapisan sedimen. Di bawah tekanan tinggi dan kondisi yang sangat minim oksigen, sisa-sisa organisme ini kemudian mengalami transformasi geologis yang kompleks dalam kurun waktu jutaan tahun, hingga akhirnya membentuk minyak bumi.
Minyak yang terbentuk akan merembes naik dan tertahan oleh lapisan batuan yang kedap. Di sinilah akumulasi minyak terkumpul dan menjadi target pengeboran manusia. Dalam beberapa kasus langka, fenomena alam seperti gempa atau pergeseran lempeng bisa membuat minyak tersebut keluar secara alami ke permukaan bumi.
Penting untuk dipahami bahwa proses ini tidak dapat terjadi pada jasad dinosaurus, baik yang hidup di darat maupun di laut. Selain jumlah dinosaurus yang jauh lebih sedikit dibandingkan mikroorganisme laut, kondisi jasad mereka tidak memenuhi syarat pembentukan minyak secara geologis.
“Lingkungan yang dibutuhkan untuk pembentukan minyak harus sangat rendah oksigen. Sedangkan jasad dinosaurus yang mati di laut kemungkinan besar akan langsung dimakan oleh hewan laut lain sebelum sempat terkubur dan mengalami proses geologis,” jelas Müller.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa jasad hewan berukuran besar seperti dinosaurus cenderung membusuk di permukaan atau dimakan predator, sehingga sulit untuk bisa terawetkan dalam kondisi ideal yang diperlukan untuk proses kimia pembentukan minyak.
Kekeliruan pemahaman ini juga memberi kontribusi terhadap kesalahpahaman publik terhadap isu energi. Dalam konteks krisis iklim dan kebutuhan transisi menuju energi terbarukan, mengetahui asal-usul energi fosil menjadi penting agar masyarakat memiliki dasar pemikiran yang lebih akurat tentang dampak dan keterbatasannya.
Misalnya, jika publik terus memandang minyak bumi sebagai “warisan zaman dinosaurus”, maka kesan yang muncul adalah sesuatu yang eksotis dan tak tergantikan. Padahal, minyak bumi adalah hasil dari akumulasi besar-besaran jasad organisme renik yang terurai dalam waktu yang sangat lama — sumber daya terbatas yang tak bisa diperbarui dalam waktu kehidupan manusia.
Penjelasan dari ilmuwan seperti Müller sekaligus menjawab pertanyaan klasik: mengapa tulang-tulang dinosaurus tidak ditemukan di setiap belahan dunia, meskipun mereka pernah mendominasi ekosistem daratan selama jutaan tahun? Jawabannya terletak pada proses peluruhan alami dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung pelestarian jasad mereka secara luas.
Sementara itu, mikroorganisme seperti plankton dan alga memiliki keberadaan yang jauh lebih masif, tersebar luas di lautan purba, dan memiliki peluang lebih besar untuk terkubur dalam kondisi ideal bagi pembentukan hidrokarbon.
Dalam dunia pendidikan, klarifikasi seperti ini perlu ditegaskan agar pemahaman masyarakat tentang energi fosil bersandar pada bukti ilmiah, bukan dongeng atau asumsi populer. Kesalahan informasi yang diwariskan lintas generasi bisa berakibat pada cara pandang yang keliru terhadap pentingnya transisi energi dan pengelolaan sumber daya alam.
Selain itu, dalam konteks kampanye pemasaran atau penyampaian publik, penggambaran minyak bumi sebagai “minyak dinosaurus” sebaiknya ditinggalkan karena menciptakan narasi yang tidak akurat. Imaji semacam ini bisa memperkuat pemahaman salah tentang ketersediaan energi fosil yang seolah magis dan tak habis.
Klarifikasi sains seperti yang disampaikan Müller menjadi penting untuk membangun kesadaran kolektif. Bahwa minyak bumi bukan berasal dari jasad makhluk raksasa yang melegenda, melainkan dari entitas mikroskopis yang jumlahnya tak terhitung dan telah menjalani proses geologis yang panjang dan kompleks.
Memahami hal ini bukan sekadar membenahi mitos lama, tetapi juga menjadi langkah awal untuk membentuk cara pandang baru terhadap masa depan energi — bahwa ketergantungan kita pada minyak bumi bersifat sementara, dan bahwa sumber daya terbarukan seperti matahari, angin, dan panas bumi adalah jalan ke depan yang perlu diutamakan.