Sepak Bola

Erick: Pelatih Harus Pahami Sepak Bola ASEAN

Erick: Pelatih Harus Pahami Sepak Bola ASEAN
Erick: Pelatih Harus Pahami Sepak Bola ASEAN

JAKARTA - Kegagalan meraih gelar di Piala AFF U-23 kembali membuka ruang refleksi yang mendalam bagi sepak bola Indonesia. Timnas Indonesia U-23 yang tampil sebagai tuan rumah dalam kejuaraan tersebut harus puas finis di posisi kedua setelah takluk dari Vietnam dengan skor tipis 0-1 di laga final. Kekalahan ini memperpanjang catatan kegagalan Indonesia dari Vietnam, setelah sebelumnya juga takluk dari lawan yang sama pada edisi tahun sebelumnya.

Keberhasilan Vietnam meraih gelar juara kali ini menandai raihan hattrick mereka dalam ajang tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa negara itu konsisten tampil dominan di level usia muda Asia Tenggara. Di sisi lain, meski tampil di kandang sendiri, Indonesia belum mampu memenuhi ekspektasi tinggi yang dibebankan kepada para pemain muda Garuda.

Dalam wawancara bersama pengamat sepak bola nasional, Binder Singh, di kanal YouTube Bola Bung Binder, Ketua Umum PSSI Erick Thohir memaparkan berbagai hal yang menjadi evaluasi pascakegagalan tersebut. Menurutnya, keinginan Indonesia menjadi tuan rumah tidak semata-mata demi mengisi kalender sepak bola, melainkan merupakan strategi untuk memanfaatkan keuntungan kandang guna merebut gelar juara.

“Banyak yang berminat menjadi tuan rumah Piala AFF U-23, karena memang menjelang SEA Games 2025. Jadi kita minta jadi tuan rumah, kita berikan tempat terbaik di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta. Kita tuan rumah tentunya ingin juara, tetapi ternyata kalah," kata Erick.

Dari penuturan Erick, terlihat jelas bahwa ekspektasi terhadap timnas U-23 sangat tinggi. Menjadi tuan rumah dengan venue terbaik telah disiapkan, dan semua elemen pendukung dikerahkan demi hasil maksimal. Namun, hasil akhir berkata lain. Bagi Erick, kegagalan ini bukan semata soal kemampuan individu pemain, melainkan juga mencerminkan perlunya penyesuaian dari sisi pelatih dalam memahami karakter sepak bola Asia Tenggara.

“Saya sudah bicara ke Gerald Vanenburg dan beberapa tim pelatih. Mereka harus lebih mengenal sepak bola Asia, khususnya lagi sepak bola Asia Tenggara,” ujar Erick tegas.

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa ada jarak pemahaman antara gaya bermain pelatih asing—yang umumnya memiliki latar belakang Eropa—dengan realita permainan di level regional Asia Tenggara yang sarat emosi, penuh trik, dan tidak jarang dibumbui drama nonteknis di lapangan.

Erick mencontohkan bagaimana tim pelatih sempat dibuat terkejut dengan berbagai kejadian yang terjadi di pertandingan. Ia menggarisbawahi bahwa aksi teatrikal pemain lawan maupun perilaku pelatih Vietnam menjadi tantangan tersendiri yang mempengaruhi mental serta fokus tim di lapangan.

“Mereka kaget,” ungkap Erick. “Selain itu termasuk kualitas wasit. Banyak anggapan Indonesia kalau menang diam, kalau kalah komplain tentang wasit. Saya tegaskan tidak. Kalah atau menang, kalau waktunya protes ya protes, ini bagian fairness yang kita bangun. Ini tim, bukan individu.”

Apa yang disampaikan Erick merupakan sinyal kuat bahwa PSSI kini menaruh perhatian lebih pada kesiapan mental dan adaptasi pelatih terhadap ekosistem sepak bola Asia Tenggara. Kemenangan bukan hanya ditentukan oleh taktik di atas kertas, tetapi juga kemampuan membaca situasi nonteknis yang sering kali memengaruhi jalannya pertandingan.

Lebih jauh lagi, Ketua Umum PSSI itu menyinggung kembali insiden dalam final SEA Games 2023 melawan Thailand, yang sempat diwarnai keributan. Peristiwa semacam itu menjadi refleksi bahwa duel antartim Asia Tenggara kerap mengandung atmosfer panas yang tidak selalu bisa diselesaikan dengan pendekatan taktis semata.

Dari evaluasi ini, muncul desakan agar pelatih yang berasal dari luar Asia dapat lebih cepat beradaptasi, memahami nilai-nilai emosional, semangat regionalisme, dan berbagai dinamika khas pertandingan di Asia Tenggara. Apalagi, dalam konteks turnamen seperti Piala AFF, tekanan dari penonton dan media sangat intens, serta berbagai elemen nonteknis seperti wasit, atmosfer stadion, hingga psikologis pemain kerap menjadi faktor penentu.

Meskipun hasil akhir mengecewakan, Garuda Muda tetap menuai banyak apresiasi dari publik. Semangat juang dan performa sejumlah pemain muda tetap menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan, dalam beberapa artikel media, Jens Raven dan Muhammad Ardiansyah turut mendapat sorotan atas kontribusinya dalam ajang tersebut, termasuk meraih penghargaan hiburan yang menunjukkan potensi mereka di masa mendatang.

Tidak hanya itu, munculnya reaksi masyarakat terhadap sejumlah aksi tidak sportif dari pemain dan ofisial Vietnam menandakan bahwa kesadaran publik atas sportivitas dan fair play semakin tinggi. Momen-momen tersebut viral di media sosial dan menjadi bahan diskusi hangat, yang di satu sisi memperlihatkan kepedulian tinggi masyarakat terhadap timnas, namun di sisi lain juga mengingatkan pentingnya kontrol emosi dan ketegasan dalam menghadapi provokasi.

Dari seluruh dinamika ini, jelas bahwa evaluasi pascakegagalan bukan sekadar soal teknis atau taktik. Kegagalan di Piala AFF U-23 justru membuka peluang besar untuk meningkatkan profesionalisme, memperkuat pemahaman pelatih terhadap kondisi lokal, serta membangun mentalitas pemain muda agar tidak mudah goyah menghadapi tekanan.

Sepak bola Asia Tenggara memang memiliki corak permainan yang berbeda. Selain keterampilan teknik dan strategi, dibutuhkan juga kedalaman emosi dan pemahaman budaya dalam setiap laga. Dan justru dari situlah, pembelajaran besar seperti ini bisa menjadi bekal penting bagi Indonesia dalam menatap turnamen regional berikutnya, termasuk SEA Games mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index