JAKARTA - Terapi Intravena (IV) atau pemasangan infus menjadi salah satu prosedur medis yang paling sering digunakan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan di Indonesia. Meskipun populer dan esensial, prosedur ini belum memiliki Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang baku, sehingga pelaksanaannya sangat bergantung pada standar operasional prosedur (SPO) masing-masing rumah sakit. Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri terkait keamanan dan kualitas pelayanan pasien.
Menurut dr. Rizki Rahayuningsih, MKM, Analis Kebijakan Ahli Muda di Direktorat Mutu Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes RI, PNPK untuk terapi IV belum tersedia karena pedoman nasional biasanya dibuat untuk prosedur dengan biaya tinggi, volume besar, dan risiko tinggi. "Jadi memang, tertentu saja. Tetapi IV terapi sendiri, tatalaksananya harus dibuat oleh fasilitas pelayanan kesehatan, bisa dapat dalam bentuk SPO," jelasnya dalam diskusi Vein Heroes Jamboree di BSD City, Tangerang.
Risiko Pasien Tanpa Standar Nasional
- Baca Juga Update Harga iPhone di Tanah Air
Ketidaktersediaan PNPK untuk prosedur infus berpotensi meningkatkan risiko keselamatan pasien. Peristiwa tragis yang menimpa Arumi, balita 14 bulan di Bima, NTB, menjadi contoh nyata. Arumi harus diamputasi tangan kanannya karena mengalami infeksi parah akibat beberapa kali gagal pemasangan infus, yang diduga disebabkan oleh malpraktik perawat setempat. Kasus ini menegaskan pentingnya standar mutu pelayanan infus yang jelas, agar pasien terlindungi dan tenaga kesehatan memiliki pedoman baku dalam praktiknya.
Hari Nurchayo, BD Country Business Director, menekankan bahwa terapi IV merupakan kebutuhan mendesak bagi hampir sembilan dari sepuluh pasien di Indonesia. Hal ini menandakan tingginya frekuensi penggunaan infus, sehingga prosedur yang tidak standar dapat menimbulkan masalah serius, termasuk konflik antara tenaga kesehatan dan pasien.
Evolusi Teknologi Kateter Infus
Selain pedoman, faktor teknologi alat infus juga menentukan keamanan prosedur. Mayoritas rumah sakit di Indonesia masih menggunakan kateter berbahan teflon yang diluncurkan pada 1964. Material ini cenderung kaku dan dapat memicu reaksi tubuh, seperti peradangan vena atau flebitis. Sementara itu, teknologi kateter terbaru, BD Vialon, terbuat dari kombinasi polyurethane dan biomaterial yang lebih ramah tubuh serta memiliki dua jalur tanpa harus menusukkan jarum tambahan.
Menurut Hari, penggunaan kateter berbahan Vialon dapat mengurangi risiko flebitis hingga 30 persen. Material yang lebih lentur dan menyerupai pembuluh darah meminimalkan perlawanan tubuh terhadap benda asing, sehingga prosedur infus lebih aman dan nyaman. Meski demikian, keterbatasan biaya membuat teknologi ini sulit diterapkan secara merata di seluruh fasilitas kesehatan Indonesia.
Penyesuaian Berdasarkan Kondisi Pasien
Pemilihan teknologi kateter infus sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pasien. Misalnya, pasien ICU dengan kondisi kritis membutuhkan kateter tahan lama agar infus tidak lepas pasang, sehingga risiko infeksi lebih rendah. Sementara pasien di IGD atau yang hanya memerlukan suntikan vitamin dapat menggunakan kateter berbahan teflon dengan pengawasan yang tepat.
"Apakah memang teflon tidak bisa digunakan? Bisa saja. Cuman mungkin selection-nya itu lebih ke arah risk-nya," kata Hari. Pemilihan teknologi yang tepat penting untuk menyeimbangkan keamanan pasien, biaya, dan kemampuan fasilitas kesehatan.
Pentingnya Edukasi dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Selain pedoman dan teknologi, kualitas pelayanan infus sangat bergantung pada kompetensi tenaga kesehatan. Dengan belum adanya PNPK nasional, SPO rumah sakit menjadi acuan utama. Oleh karena itu, edukasi berkelanjutan, pelatihan praktik langsung, serta pembaruan materi berbasis kasus nyata menjadi kunci agar tenaga kesehatan mampu menerapkan prosedur infus dengan aman dan efektif.
Pemasangan infus merupakan prosedur penting dalam pelayanan medis sehari-hari di Indonesia. Namun, tanpa adanya Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, prosedur ini menghadapi tantangan terkait keamanan pasien. Kasus gagal pemasangan infus yang berujung malpraktik menunjukkan urgensi penerapan standar mutu pelayanan.
Selain itu, perkembangan teknologi kateter infus yang lebih aman dan ramah tubuh menawarkan solusi untuk mengurangi risiko komplikasi. Pemilihan material yang tepat berdasarkan kondisi pasien dan edukasi tenaga kesehatan yang berkelanjutan menjadi elemen penting untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan prosedur infus di Indonesia tidak hanya lebih aman tetapi juga lebih efektif, sekaligus mendukung keselamatan pasien dan reputasi tenaga kesehatan.