JAKARTA - Gegap gempita proyek pembangunan jalan tol terbaru yang melintas di Desa Mojorembun, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, kini diterpa konflik sengit. Proses tukar guling lahan dinilai penuh kejanggalan dan memicu keresahan warga. Sejumlah pihak terkait pun saling melempar tanggung jawab—dari pemerintah desa, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Nganjuk, hingga pelaksana proyek.
Warga Tuduh Ada “Main Mata” dalam Tukar Guling Tanah Desa
Permasalahan muncul ketika warga menyampaikan dugaan ketidakwajaran terhadap proses tukar guling tanah kas desa (TKD) yang digunakan untuk badan jalan tol. Lahan milik desa disebut-sebut tidak ditukarkan secara prinsip win-win, melainkan menimbulkan kerugian administratif dan ekonomi bagi masyarakat desa.
“Kami mempertanyakan asal-usul proses tukar guling ini. Ada dugaan Dokumen tidak lengkap, survei tidak akurat serta kompensasi yang tidak transparan,” ujar kepala RT setempat yang enggan menyebutkan nama.
Sejumlah warga juga menyebut ada selisih luas tanah antara dokumen lama dan hasil ukur final. Bahkan, warga menemukan bahwa sertifikat baru yang dikeluarkan tidak menyebutkan letak sebenarnya sesuai kondisi lapangan—menimbulkan kecurigaan akan manipulasi data.
DPMD Klaim Hanya Pendata, Bukan Pengambil Keputusan
Menanggapi tudingan tersebut, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Nganjuk, Puguh Harnoto, mengklarifikasi peran instansinya.
“DPMD hanya melakukan pendataan aset desa secara administratif. Kami tidak masuk dalam proses pengambilan keputusan terhadap tukar guling tersebut,” terang Puguh Harnoto.
Menurutnya, setiap dokumen terkait aset desa memang sempat berproses melalui DPMD—namun hanya sebatas verifikasi adminduk, bukan menyangkut validsi teknis atau keabsahan prosedural.
Pemdes Mojorembun di Tengah Tekanan, Keputusan Diklaim Demi Kepentingan Desa
Pemerintah Desa Mojorembun selaku pihak pelaksana proses tukar guling juga terus dibayang-bayangi kritik warga. Kepala desa, melalui juru bicaranya, menyatakan bahwa proyek tol merupakan proyek strategis nasional yang mengharuskan pengalihan fungsi sebagian lahan desa. Menurutnya, keputusan diambil dengan pembahasan tingkat desa dan banggar desa.
“Langkah ini kami ambil demi kemajuan desa dan memastikan desa tetap mendapatkan manfaat, baik dari proyek tol maupun jaringan infrastruktur pendukung,” ungkap juru bicara pemdes.
Namun, warga menilai sosialisasi dan konsultasi desa berlangsung terburu-buru serta tidak dalam kondisi demokratis, mengingat mereka tidak pernah ikut menyetujui kompensasi nilai tukar.
Keterlibatan Pelaksana Proyek dan Badan Usaha Jalan Tol Dipertanyakan
Meski tugas utama pelaksana proyek adalah membangun infrastruktur, masyarakat menduga ada kolusi antara pemangku jabatan desa dengan kontraktor. Dugaan muncul bahwa pelaksana tol memasok data nilai konfensasi yang menguntungkan mereka, sementara desa mengikuti tanpa verifikasi mandiri.
Sumber anonim menyebut, “Kontraktor memberi target nilai tukar yang tinggi pada baner proyek. Pemdes hanya memproses tanpa penawaran ulang. Diduga ini modus memastikan keuntungan pihak eksternal.”
Ancaman dan Debat Hukum di Balik Tukar Guling Tanah Desa
Jika masalah ini berlanjut, warga mengancam akan mengajukan gugatan baik administratif maupun perdata—terutama terhadap pemdes, DPMD, dan pihak pelaksana tol. Mereka akan mengevaluasi produk hukum desa, perencanaan rerouting tol, serta validitas sertifikat tanah sebagai objek sengketa.
“Jika tidak ada medsosiasi memadai dalam waktu dua minggu, kami akan laporkan ke pengadilan tata usaha negara dan minta audit inspektorat kabupaten,” kata wakil warga.
Solusi Intervensi Laik: Mendata dan Verifikasi Ulang Aset Desa
Alur penyelesaian yang diharapkan adalah audit manajemen aset desa oleh DPMD sebagai desain sistem pengaman aset publik desa. Tujuannya adalah memverifikasi ulang seluruh dokumen tukar guling—mulai dari hasil pengukuran teknis, ganti rugi, sertifikat, hingga kepastian tindakan hukum untuk warga yang dirugikan.
Tantangan DPMD Menyeimbangkan Peran Koordinatif dan Transparansi Publik
Bagi DPMD, benang merah tugasnya kini sulit ditegakkan. Di satu sisi, mereka adalah lembaga adminstratif yang mencatat aset desa; namun dituntut publik untuk bertindak sebagai penengah dalam proses tukar guling kontroversial. Ini memunculkan konflik peran yang mengancam netralitas instansi.
“Kami siap memfasilitasi mediasi. Namun kami tidak punya kewenangan menetapkan harga aset atau membatalkan keputusan desa,” jelas Puguh Harnoto.
Pemerintah Daerah Dipanggil: Butuh Intervensi Transparan
Guna meredam eskalasi konflik, masyarakat dan berbagai pihak meminta Pemerintah Kabupaten Nganjuk turun tangan aktif dengan membentuk tim investigasi independen yang mampu mengaudit proses tukar guling dan menangani dugaan manipulasi aset atau perubahan rute tol. Jika terbukti melanggar, sanksi administratif atau hukum dinilai perlu dijatuhkan.
Meredam Gelombang Konflik: Butuh Langkah Konkret
Kasus tukar guling lahan di Mojorembun mencerminkan betapa proyek infrastruktur tulang punggung nasional rentan memicu konflik di tingkat lokal. Penyelesaian yang kredibel menuntut transparansi, verifikasi dokumen independen, dan partisipasi warga yang lebih bermakna.
Jika tidak segera diatasi, polemik ini bisa memperlambat pembangunan tol—yang sejatinya menjadi bagian solusi untuk konektivitas wilayah dan pertumbuhan ekonomi Nganjuk dan sekitarnya.
Masih diperlukan langkah konkret dari Pemkab Nganjuk, termasuk audit aset desa, penilaian ulang harga tukar, serta musyawarah publik dengan notaris dan pihak berwenang. Kepercayaan warga tergantung pada respons cepat dan penuntasan dugaan pelanggaran dalam proses administrasi publik desa.