POLITIK

Putusan MK Ubah Peta Kontestasi Politik Daerah

Putusan MK Ubah Peta Kontestasi Politik Daerah
Putusan MK Ubah Peta Kontestasi Politik Daerah

JAKARTA - Perubahan jadwal dan pola keserentakan pemilihan umum (pemilu) yang dipicu oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, kini menimbulkan efek domino yang terasa tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga mulai mengaburkan dinamika politik di daerah. Salah satu partai yang mulai merespons secara terbuka adalah Partai Buruh, yang menilai bahwa keputusan ini berpotensi menciptakan kekosongan arah dan mengubah peta dukungan politik lokal secara signifikan.

Di tengah ketidakpastian itu, Partai Buruh menyuarakan kekhawatirannya atas kemungkinan melemahnya fondasi dukungan di akar rumput. Ketua Umum Partai Buruh, Said Iqbal, menyebut bahwa perubahan model keserentakan pemilu yang ditetapkan MK bisa membuat strategi politik partai menjadi lebih sulit dirumuskan, terutama di level provinsi dan kabupaten/kota.

Dampak Putusan MK terhadap Format Pemilu

Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang diumumkan pada 2024 menyatakan bahwa model pemilu serentak—yang sebelumnya menggabungkan pemilihan legislatif dan eksekutif dalam satu hari—harus diubah. MK menilai bahwa pelaksanaan pemilu secara serentak total dalam satu hari telah membebani penyelenggara dan menimbulkan potensi kekacauan administratif serta konflik kepentingan politik.

Dengan putusan itu, pola pemilihan presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta kepala daerah tak lagi dipaksakan berlangsung dalam waktu yang sama. Akibatnya, akan muncul jeda waktu antara pemilihan legislatif dan eksekutif, termasuk pilkada yang akan digelar secara tersendiri.

Partai Buruh Khawatir Efek Fragmentasi Dukungan Politik

Bagi Partai Buruh, keputusan ini tidak hanya soal teknis pemilu semata. Lebih dari itu, ini menyangkut arah konsolidasi politik di tingkat bawah. Ketua Umum Said Iqbal menyampaikan bahwa dengan model keserentakan yang berubah, maka akan terjadi “kaburnya aliansi politik di daerah”. Dalam bahasa lain, kekuatan dukungan politik yang biasanya diselaraskan secara nasional, kini terancam terpecah karena pemilu legislatif dan pilkada berjalan dalam skenario yang berbeda.

"Kalau pilpres dan pileg dipisah dengan pilkada, maka aktor-aktor politik lokal akan bebas membuat koalisi yang tidak terikat dengan konstelasi pusat. Ini berbahaya bagi partai-partai baru seperti kami yang masih membangun basis loyalitas," kata Said Iqbal dalam keterangannya.

Partai Buruh yang dalam pemilu sebelumnya mulai menunjukkan geliatnya melalui basis serikat pekerja, buruh industri, dan petani kecil, kini harus menghitung ulang strategi kampanye dan aliansi politik, terutama dalam menghadapi pilkada 2025 dan seterusnya.

Ketidakpastian Sikap Politik di Daerah Dinilai Menguntungkan Oligarki Lama

Selain soal strategi internal, Partai Buruh juga menyoroti bahwa fragmentasi dukungan ini bisa membuka ruang bagi penguatan oligarki lama di daerah. Dengan tiadanya kekuatan penyeimbang dari partai pusat yang seragam secara garis koalisi, maka aktor politik lokal—baik incumbent maupun tokoh elite lokal—berpotensi memainkan skenario sendiri.

"Kami khawatir penguasa lokal yang punya modal dan dinasti politik akan mengatur panggung daerah tanpa pertimbangan ideologis, tapi hanya transaksional," ungkap Iqbal.

Fenomena ini menurutnya bisa merusak cita-cita demokrasi kerakyatan, di mana idealnya, partai politik menjadi alat kontrol kekuasaan melalui sistem yang seragam dan terstruktur dari pusat hingga daerah.

Kesiapan Partai Buruh Menghadapi Situasi Baru

Meski menyuarakan kekhawatiran, Partai Buruh tetap menyatakan akan menyiapkan diri secara maksimal untuk menghadapi skema baru pemilu. Said Iqbal menegaskan bahwa mereka telah menyiapkan peta jalan organisasi yang akan memperkuat basis struktur di tingkat desa dan kelurahan, sekaligus menyusun kader potensial untuk pemilu legislatif maupun pilkada mendatang.

"Kami akan hadir dengan calon-calon kepala daerah dari kalangan buruh, tani, nelayan, dan kelas pekerja lainnya. Tapi kami perlu waktu konsolidasi yang lebih matang, dan itu tidak mudah di tengah ketidakpastian ini," imbuhnya.

Pengamat Politik: Perubahan Ini Ujian Bagi Partai Baru

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Dr. Dedi Kurniawan, mengatakan bahwa perubahan format keserentakan ini memang akan menjadi ujian nyata bagi partai-partai muda atau non-parlemen seperti Partai Buruh.

“Mereka tidak hanya menghadapi kendala logistik, tapi juga harus beradaptasi dengan pola mobilisasi yang tidak serempak. Artinya, mereka harus punya tenaga ganda untuk pileg dan pilkada yang bisa berjarak hingga satu tahun,” katanya.

Menurut Dedi, partai besar mungkin lebih siap karena sudah punya struktur permanen, tetapi partai kecil akan berhadapan dengan dilema: mempertahankan semangat basis atau mengurangi ambisi untuk tidak kehabisan tenaga.

Refleksi Demokrasi: Apakah Putusan MK Perlu Dievaluasi?

Di tengah situasi ini, muncul juga suara dari masyarakat sipil dan akademisi yang mempertanyakan efektivitas putusan MK. Meskipun putusan tersebut bermaksud untuk meringankan beban penyelenggara pemilu dan meningkatkan kualitas demokrasi, namun dampak sampingannya—terutama pada stabilitas peta politik lokal—tidak bisa diabaikan.

Kritik muncul karena MK tidak memberikan desain alternatif yang lebih konkret soal bagaimana pengelolaan transisi ini seharusnya berjalan. Alhasil, partai politik dan penyelenggara pemilu kini harus berimprovisasi sendiri.

Menanti Format Demokrasi Baru yang Lebih Jelas

Dengan putusan MK yang mengubah arsitektur keserentakan pemilu, peta politik Indonesia dipastikan mengalami pergeseran besar, khususnya di daerah. Partai Buruh menjadi salah satu aktor politik yang paling vokal menyuarakan dampaknya, terutama dalam konteks ketidakpastian arah dukungan lokal dan fragmentasi koalisi politik.

Langkah selanjutnya bukan hanya pada kesiapan partai, tapi juga pada peran penyelenggara dan pengawas pemilu untuk memastikan bahwa transisi ini tidak membuka celah bagi politik uang, oligarki, dan fragmentasi yang justru merusak demokrasi yang tengah dibangun sejak reformasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index