JAKARTA - Komitmen Indonesia untuk mencapai target emisi nol bersih (Net Zero Emission/NZE) pada masa mendatang terus diuji, terutama oleh tantangan besar yang datang dari sektor industri ekstraktif seperti pertambangan. Di tengah laju ekspansi tambang batu bara yang masih tinggi, sektor ini menjadi salah satu kontributor utama terhadap emisi karbon nasional, khususnya dari aktivitas operasional yang masih mengandalkan bahan bakar fosil.
Transformasi di sektor tambang tidak hanya sekadar penting, melainkan menjadi salah satu kunci untuk membuka jalan menuju keberhasilan agenda transisi energi nasional. Berbagai pihak mulai menyuarakan urgensi untuk mempercepat perubahan sistem operasional di sektor ini demi mengurangi beban emisi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, menilai bahwa upaya penerapan NZE akan sangat sulit tercapai selama aktivitas pertambangan, khususnya batu bara, masih berjalan secara ekspansif tanpa pembenahan dalam aspek transportasi dan peralatannya.
- Baca Juga Update Harga BBM per 31 Juli 2025
“Sangat berat menerapkan upaya NZE di pertambangan. Saat ini pertambangan batu bara berjalan dengan sangat ekspansif, bahkan tiap tahun naik produksi. Sedangkan operasi pertambangan juga masih menjadi sumber emisi besar. Kendaraan dan alat berat masih menggunakan BBM energi fosil yang beremisi tinggi,” kata Bisman.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kendaraan operasional dan alat berat dalam kegiatan tambang masih banyak bergantung pada bahan bakar minyak (BBM) konvensional, yang menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Meskipun pemerintah telah menyusun sejumlah inisiatif untuk mendukung transisi energi, progres menuju realisasi target emisi nol bersih masih menghadapi hambatan regulasi dan implementasi kebijakan.
Salah satu isu yang disebut Bisman sebagai faktor penghambat utama adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Padahal, regulasi tersebut diyakini menjadi kerangka hukum penting untuk mendorong percepatan penggunaan energi bersih di berbagai sektor, termasuk pertambangan.
“Sudah lebih dari 5 tahun dibahas oleh DPR dan pemerintah, tetapi tidak selesai,” ujarnya.
Keterlambatan pengesahan RUU EBET menjadi cermin lambatnya reformasi kebijakan energi nasional yang berdampak pada ketidakpastian regulasi bagi para pelaku industri. Padahal, langkah-langkah konkret dalam menciptakan ekosistem transisi energi yang inklusif dan berkelanjutan harus dimulai dari regulasi yang kuat dan berpihak pada inovasi hijau.
Sejalan dengan itu, Ketua Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Anggawira, juga menekankan pentingnya transformasi dalam aspek transportasi pertambangan. Menurutnya, perusahaan tambang perlu mengambil peran lebih aktif dalam mengadopsi teknologi yang lebih ramah lingkungan, seperti elektrifikasi alat berat dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di area operasional mereka.
“Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dan kemudahan perizinan untuk tambang yang mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), reforestasi, atau elektrifikasi alat berat,” tegas Anggawira.
Anggawira menambahkan bahwa reforestasi atau penanaman kembali lahan pascatambang juga merupakan bagian integral dari strategi dekarbonisasi sektor tambang. Upaya ini bukan hanya memenuhi kewajiban reklamasi, melainkan juga berfungsi sebagai penyeimbang emisi melalui peningkatan serapan karbon.
Dorongan untuk elektrifikasi alat berat dan kendaraan tambang menjadi wacana yang kian mengemuka seiring kemajuan teknologi energi bersih di sektor transportasi. Beberapa perusahaan tambang besar di negara lain bahkan sudah mulai mengadopsi kendaraan berbasis baterai listrik dan sistem energi hybrid untuk mendukung kegiatan tambangnya.
Namun, di Indonesia, transformasi semacam ini masih relatif terbatas, baik karena tingginya biaya investasi awal maupun minimnya insentif pemerintah. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan yang lebih besar dari sisi kebijakan fiskal dan kelembagaan agar pelaku usaha memiliki dorongan nyata untuk berinvestasi pada teknologi rendah karbon.
Langkah konkret seperti penyediaan PLTS di lokasi tambang, penggunaan truk tambang listrik, hingga sistem monitoring emisi berbasis digital adalah contoh solusi jangka menengah yang bisa segera diimplementasikan. Tak hanya mengurangi emisi, strategi ini juga mendukung efisiensi energi dan menekan biaya operasional dalam jangka panjang.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta juga menjadi aspek penting dalam mendorong percepatan transisi energi di sektor pertambangan. Dalam beberapa diskusi strategis, berbagai pihak sepakat bahwa percepatan inovasi teknologi hijau harus dibarengi dengan sinkronisasi regulasi dan insentif yang mendukung.
Menghadapi tantangan krisis iklim global, Indonesia tak lagi bisa menunda agenda transisi energi, termasuk di sektor pertambangan yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi namun juga sumber emisi yang besar. Langkah-langkah proaktif perlu segera dilakukan untuk memastikan sektor ini tidak menjadi penghambat, melainkan justru motor penggerak menuju masa depan energi bersih yang berkelanjutan.
Dengan komitmen politik yang kuat, dukungan kebijakan yang berpihak pada inovasi ramah lingkungan, dan kemitraan antara publik dan swasta, sektor pertambangan nasional dapat bertransformasi menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi perubahan iklim. Kini saatnya menjadikan transportasi tambang bukan sekadar alat produksi, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih hijau.