Megaproyek

Impian Megaproyek Jembatan Selat Sunda yang Tertunda

Impian Megaproyek Jembatan Selat Sunda yang Tertunda
Impian Megaproyek Jembatan Selat Sunda yang Tertunda

JAKARTA - Di antara deretan rencana besar pembangunan infrastruktur Indonesia, Jembatan Selat Sunda (JSS) menjadi salah satu yang paling monumental namun hingga kini hanya tinggal wacana. Proyek yang digadang-gadang akan menyatukan Pulau Jawa dan Sumatera ini menyimpan sejarah panjang serta kontroversi yang tak sedikit, mulai dari tahap perencanaan hingga akhirnya dibatalkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Gagasan membangun jembatan raksasa yang melintasi Selat Sunda sejatinya bukanlah ide baru. Sejak era 1960-an, wacana ini sudah muncul lewat pemikiran akademisi Indonesia. Namun seiring waktu, proyek tersebut justru menjadi simbol tarik-ulur antara harapan besar terhadap kemajuan infrastruktur dan kehati-hatian dalam menakar dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan.

Gagasan awal proyek ini datang dari Prof. Sedyatmo dari Institut Teknologi Bandung (ITB), yang memperkenalkan konsep Tri Nusa Bimasakti, yakni gagasan menyambungkan tiga pulau utama: Sumatera, Jawa, dan Bali. Sejak saat itu, Jembatan Selat Sunda bukan hanya menjadi proyek ambisius, tetapi juga simbol integrasi nasional yang dinantikan oleh banyak pihak.

Usulan tersebut sempat mendapat momentum ketika pada tahun 1965, maket jembatan sepanjang 1.200 meter dipamerkan oleh Jurusan Teknik Sipil ITB. Meski sekadar model, maket itu mencerminkan optimisme bahwa Indonesia mampu membangun infrastruktur kelas dunia.

Beberapa dekade kemudian, minat pemerintah terhadap proyek ini meningkat. Presiden Soeharto bahkan sempat menugaskan Menteri Riset dan Teknologi untuk mengkaji kelayakan proyek tersebut pada 1986. Studi pendahuluan pun dilakukan dengan melibatkan Japan International Cooperation Agency (JICA) antara 1988 hingga 1992.

Puncaknya terjadi ketika proyek ini diluncurkan dalam soft launching pada 2007. Saat itu, JSS direncanakan sebagai jembatan dengan panjang sekitar 29 hingga 31 kilometer, lebar 60 meter, dan tinggi maksimum 70 meter di atas permukaan laut. Proyek ini digadang-gadang akan menjadi salah satu jembatan gantung terpanjang di dunia. Nilai proyek ditaksir mencapai antara Rp100 triliun hingga Rp225 triliun. Yang menarik, pemerintah berharap pembiayaan tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dari skema investasi swasta.

Namun, besarnya skala proyek dan kompleksitas tantangannya membuat langkah selanjutnya tidak mudah. Pemerintahan baru di bawah Presiden Joko Widodo mengambil pendekatan berbeda terhadap pembangunan infrastruktur. Dalam evaluasinya, pemerintah menyatakan bahwa pembangunan JSS tidak lagi masuk ke dalam prioritas nasional.

Keputusan pembatalan proyek diumumkan secara resmi. Pemerintah menyampaikan bahwa selain faktor biaya yang sangat tinggi, terdapat juga kekhawatiran terhadap dampak terhadap sektor kemaritiman nasional. Salah satu alasan utama pembatalan adalah kekhawatiran bahwa keberadaan jembatan tersebut bisa mematikan jalur perairan di Selat Sunda—jalur strategis yang selama ini dilalui kapal-kapal pengangkut barang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian saat itu, Sofjan Djalil, menyampaikan bahwa proyek ini tidak bisa terlaksana tanpa dukungan pemerintah pusat. Karena tidak dimasukkan dalam daftar prioritas, otomatis proyek ini ditangguhkan tanpa batas waktu.

Selain itu, pembatalan JSS juga dipengaruhi oleh pertimbangan pemerataan pembangunan nasional. Menteri PPN/Bappenas waktu itu, Andrinof Chaniago, menegaskan bahwa proyek semacam ini justru bisa memperlebar ketimpangan pembangunan antara Pulau Jawa dan daerah lainnya. Pemerintah ingin fokus pada proyek-proyek yang mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan sosial.

Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, turut menambahkan bahwa biaya pembangunan JSS yang sangat tinggi—sekitar Rp90 triliun—dinilai tidak sebanding dengan urgensi kebutuhan saat itu. Pemerintah memilih untuk memfokuskan anggaran dan energi pada infrastruktur lain seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara yang lebih realistis dalam waktu dekat.

Presiden Joko Widodo sendiri menolak kelanjutan proyek ini karena mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang kompleks. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, menyatakan kesiapan kementerian untuk mengikuti arahan tersebut dan mengalihkan fokus ke proyek infrastruktur lain yang lebih feasible dan inklusif.

Kendati demikian, tidak sedikit pihak yang menyayangkan pembatalan ini. Beberapa kalangan menilai bahwa Jembatan Selat Sunda justru bisa menjadi solusi untuk mempercepat mobilitas barang dan manusia antara Jawa dan Sumatera, dua pulau yang memainkan peran penting dalam ekonomi nasional.

Sayangnya, sejak pembatalan resmi diumumkan, wacana mengenai pembangunan JSS tidak pernah benar-benar dihidupkan kembali. Prioritas pembangunan nasional telah berpindah ke proyek-proyek lain yang dianggap lebih strategis dan berdampak langsung terhadap masyarakat luas.

Dengan segala dinamika yang menyertai, Jembatan Selat Sunda kini menjadi contoh nyata bagaimana proyek infrastruktur besar di Indonesia membutuhkan perencanaan matang, komitmen lintas pemerintahan, dan kehati-hatian dalam menakar dampak jangka panjangnya. Meski belum terealisasi, kisah JSS tetap menjadi bahan diskusi menarik di kalangan perencana, pengambil kebijakan, dan masyarakat yang mendambakan konektivitas antarpulau yang lebih kuat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index