JAKARTA - Pasar energi global kembali diguncang oleh dinamika geopolitik. Ketidakpastian yang dipicu berlanjutnya konflik Rusia–Ukraina kembali mempengaruhi pergerakan harga minyak mentah dunia. Perang yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun ini tak hanya menciptakan ketegangan di kawasan, tetapi juga berdampak nyata pada stabilitas harga komoditas energi di pasar internasional.
Seiring meningkatnya eskalasi militer, harga minyak mentah kembali mengalami kenaikan. Berdasarkan data terbaru, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober 2025 naik sebesar 67 sen, atau sekitar 1,1 persen, sehingga mencapai level US$64,68 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara itu, harga minyak mentah Brent untuk kontrak pengiriman November 2025 juga mengalami kenaikan serupa, yakni sebesar 67 sen atau sekitar 1 persen, menjadi US$68,15 per barel di London ICE Futures Exchange.
Meski pergerakan harga menunjukkan tren naik, aktivitas perdagangan pada hari tersebut terbilang lebih sepi dari biasanya. Hal ini disebabkan oleh libur Hari Buruh di Amerika Serikat yang membuat tidak ada penyelesaian untuk kontrak berjangka WTI. Volume perdagangan minyak, baik WTI maupun Brent, ikut terbatas karena libur nasional itu.
- Baca Juga Daftar Tarif Listrik PLN September 2025
Eskalasi Perang Jadi Faktor Penentu
Kenaikan harga minyak kali ini tidak lepas dari memanasnya kembali situasi di medan perang. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, menegaskan sikap tegasnya pada akhir pekan lalu setelah Rusia melancarkan serangan drone ke sejumlah fasilitas pembangkit listrik di wilayah utara dan selatan Ukraina. Ia berjanji akan melakukan serangan balasan yang lebih dalam ke wilayah Rusia sebagai bentuk respons atas serangan tersebut.
Ketegangan terbaru ini menambah panjang daftar serangan udara yang dilancarkan kedua belah pihak dalam beberapa pekan terakhir. Sejak perang memasuki tahun ketiganya, baik Ukraina maupun Rusia terus meningkatkan intensitas serangan, meski berbagai upaya diplomasi dan seruan perdamaian terus diupayakan oleh negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa harapan untuk mencapai solusi damai masih jauh dari kenyataan. Setiap kali ada inisiatif perdamaian, serangan balasan dan eskalasi justru kembali muncul, membuat situasi semakin sulit diprediksi.
Dampak Langsung ke Pasar Energi
Kondisi ini berdampak langsung pada pasokan minyak mentah dari wilayah konflik. Laporan terbaru menyebutkan, pengiriman minyak mingguan dari pelabuhan-pelabuhan utama turun ke level terendah dalam empat pekan terakhir, yakni sekitar 2,72 juta barel per hari. Penurunan pasokan inilah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran pasar terhadap kelangkaan suplai, sehingga mendorong harga minyak kembali bergerak naik.
Fakta bahwa minyak adalah komoditas vital bagi perekonomian global membuat setiap gangguan pasokan selalu mendapat respons cepat dari pasar. Bagi negara-negara konsumen besar seperti Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, kenaikan harga minyak berpotensi menambah tekanan inflasi di tengah situasi ekonomi global yang masih rapuh pascapandemi.
Sementara bagi produsen, kenaikan harga bisa menjadi peluang untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Namun demikian, ketidakstabilan pasokan dalam jangka panjang tetap menjadi masalah serius yang sulit diabaikan.
Ketidakpastian Membayangi Pasar
Analis energi menilai, situasi yang terjadi saat ini masih sarat ketidakpastian. Selama perang di Ukraina belum menemukan titik terang, risiko gangguan pasokan akan terus menghantui pasar minyak. Naik-turunnya harga dalam beberapa bulan terakhir mencerminkan betapa sensitifnya pasar terhadap perkembangan di medan perang tersebut.
Kondisi libur perdagangan di Amerika Serikat juga memperlihatkan bagaimana faktor eksternal non-geopolitik dapat memengaruhi volume perdagangan harian. Dengan aktivitas yang terbatas, pasar menjadi lebih rentan terhadap perubahan kecil dalam berita atau perkembangan terbaru.
Peran Negara-negara Barat
Amerika Serikat dan sekutunya sejauh ini masih berusaha mencari jalan untuk meredakan konflik. Namun, pendekatan diplomasi yang diambil seringkali berbenturan dengan kepentingan militer di lapangan. Perang yang telah berlangsung selama 3,5 tahun menunjukkan bahwa kedua belah pihak masih sama-sama enggan mengalah. Rusia tetap mempertahankan dominasinya, sementara Ukraina berupaya keras mempertahankan kedaulatannya dengan dukungan dari Barat.
Dalam konteks energi, situasi ini menjadi semakin kompleks. Negara-negara Eropa yang sebelumnya bergantung besar pada pasokan energi dari Rusia kini harus mencari alternatif sumber energi lain. Diversifikasi pasokan energi, termasuk memperbesar impor dari Timur Tengah atau Afrika, menjadi strategi utama untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara pemasok.
Prospek Harga ke Depan
Dengan perkembangan terbaru ini, para pengamat memperkirakan harga minyak masih berpotensi mengalami fluktuasi cukup tinggi. Jika eskalasi perang terus berlanjut dan serangan udara semakin intens, pasokan minyak dari wilayah konflik bisa kembali terganggu, mendorong harga ke level yang lebih tinggi.
Namun, jika ada sinyal positif menuju gencatan senjata atau perundingan damai, pasar bisa merespons dengan penurunan harga. Hal ini karena pasar selalu bergerak berdasarkan ekspektasi terhadap pasokan dan permintaan di masa depan.
Secara umum, prospek harga minyak dalam waktu dekat masih dibayangi ketidakpastian besar. Situasi geopolitik yang belum menentu, ditambah dengan faktor eksternal seperti kebijakan suku bunga, nilai tukar dolar AS, serta permintaan global, membuat harga minyak sangat sensitif terhadap setiap perubahan.
Perang Rusia–Ukraina terbukti kembali menjadi pemicu utama naiknya harga minyak dunia. Kenaikan harga Brent maupun WTI kali ini menegaskan bahwa stabilitas pasar energi global sangat rentan terhadap faktor geopolitik. Penurunan pengiriman minyak ke level terendah dalam empat pekan terakhir semakin memperkuat kekhawatiran akan kelangkaan suplai.
Bagi banyak negara, kondisi ini menjadi pengingat betapa pentingnya diversifikasi sumber energi dan memperkuat cadangan nasional. Selama konflik di Ukraina belum berakhir, dunia tampaknya harus terus bersiap menghadapi gejolak harga energi yang bisa datang sewaktu-waktu.