JAKARTA - Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034 kembali menuai sorotan. Meski pemerintah berupaya meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT), RUPTL terbaru masih mencantumkan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil—terutama batu bara dan gas—sebesar 16,6 gigawatt (GW). Langkah ini dianggap berisiko menghambat transisi energi bersih dan membebani keuangan negara.
Penambahan Kapasitas Pembangkit Fosil dalam RUPTL 2025–2034
Direktur Manajemen Pembangkitan PLN, Adi Lumakso, mengungkapkan bahwa kebutuhan pembangkit berbasis gas dalam RUPTL mencapai 10,3 GW hingga tahun 2035. Angka ini mengalami penurunan dari sebelumnya yang mencapai 15,2 GW, atau sekitar 14 persen lebih rendah. Penurunan ini menunjukkan upaya PLN untuk menyesuaikan kebutuhan gas dalam mendukung transisi energi nasional.
Namun, penambahan kapasitas pembangkit berbahan bakar fosil, terutama gas, tetap menjadi bagian dari rencana tersebut. PLN berencana mengganti beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dengan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Gas Uap (PLTGU). Contohnya, PLTGU Sulbagsel (450 MW), PLTGU Halmahera Timur (200 MW), PLTMG Sumbawa-2 (100 MW), PLTMG Lombok-2 (100 MW), dan PLTMG Bau-Bau (30 MW) direncanakan dalam RUPTL 2021–2030.
Risiko Lingkungan dan Ekonomi dari Investasi Pembangkit Fosil
Sartika Nur Shalati, Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah (CERAH), menilai bahwa investasi pada pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor. Ia menjelaskan bahwa pembangunan PLTG yang memiliki umur teknis 25–30 tahun biasanya akan diikuti dengan investasi pembangunan infrastruktur pendukung seperti pipa gas dan terminal gas alam cair (LNG), kontrak pasokan gas jangka panjang, peningkatan impor gas, dan subsidi pemerintah melalui harga gas bumi tertentu (HGBT).
Lebih lanjut, Sartika menambahkan bahwa jika penambahan 20 GW pembangkit listrik gas dalam RUPTL baru tetap diteruskan, maka diperkirakan akan membutuhkan bahan bakar gas sekitar 4.640 BBtud (4.640.000 MMBtud). Hal ini akan menambah beban subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena biaya operasi pembangkit gas lebih mahal dengan faktor kapasitas lebih rendah dibandingkan batu bara. "Semakin besar selisih harga gas dengan HGBT, maka semakin besar pula potongan pendapatan negara yang diperoleh dari sektor migas," ujarnya.
Upaya PLN Menuju Energi Bersih
Sebagai bagian dari komitmennya untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai netralitas karbon pada 2060, PLN telah melakukan langkah-langkah signifikan. Pada 2024, PLN membatalkan kontrak pembangunan PLTU batu bara sebesar 13,3 GW yang sebelumnya direncanakan dalam RUPTL 2019–2028. Direktur Manajemen Risiko PLN, Suroso Isnandar, menyatakan bahwa pembatalan tersebut dapat menghemat sekitar 1,8 miliar ton emisi CO₂. Selain itu, PLN juga mengganti 1,1 GW PLTU dengan pembangkit EBT dan 800 MW dengan pembangkit gas. PLN juga menerapkan co-firing biomassa di 46 PLTU dan menargetkan 52 PLTU pada 2025.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun ada upaya untuk meningkatkan porsi EBT dalam RUPTL, tantangan besar tetap ada. Pembangunan infrastruktur EBT memerlukan investasi yang tidak sedikit dan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pembangkit berbahan fosil. Namun, biaya operasional pembangkit EBT lebih rendah dan lebih ramah lingkungan dalam jangka panjang.
Pemerintah dan PLN perlu mempertimbangkan dengan cermat antara kebutuhan energi saat ini dan komitmen untuk transisi energi bersih. Keseimbangan antara keduanya sangat penting untuk mencapai tujuan jangka panjang tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.
Dengan adanya revisi RUPTL dan komitmen dari berbagai pihak, diharapkan Indonesia dapat mencapai bauran energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, serta mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang berisiko terhadap lingkungan dan perekonomian.
Sebagai penutup, Sartika Nur Shalati menekankan bahwa ketimbang memprioritaskan gas sebagai alternatif pengganti batu bara yang sama-sama energi fosil, mahal, dan tinggi emisi, pemerintah sebaiknya lebih progresif beralih ke energi baru terbarukan (EBT) seperti surya dan angin yang terbukti lebih ekonomis, rendah emisi, dan andal.