Investasi

Indonesia Jadi Magnet Baru Investasi Asing di Tengah Pergeseran Produksi Global

Indonesia Jadi Magnet Baru Investasi Asing di Tengah Pergeseran Produksi Global
Indonesia Jadi Magnet Baru Investasi Asing di Tengah Pergeseran Produksi Global

JAKARTA - Perubahan lanskap ekonomi global yang memicu tren relokasi basis produksi perusahaan multinasional menjadi peluang strategis bagi Asia Tenggara, khususnya Indonesia, untuk menarik lebih banyak investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Tren positif ini ditegaskan Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu, 2 Juli 2025, yang mengungkapkan peningkatan signifikan aliran investasi asing ke kawasan.

Faisol mengutip data dari World Investment Report 2025 yang diterbitkan United Nations Trade and Development (UNCTAD), yang mencatat bahwa FDI ke Asia Tenggara tumbuh 10 persen sepanjang 2024, dari US$ 205 miliar pada 2023 menjadi US$ 225 miliar pada 2024. “Kenaikan investasi sebesar 10 persen dari US$ 205 miliar ke US$ 225 miliar,” kata Faisol.

Menurut laporan UNCTAD tersebut, lonjakan investasi ini dipicu masuknya aliran modal ke negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam, sehingga membawa FDI di Asia Tenggara mencapai rekor tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Secara khusus, Indonesia sendiri berhasil membukukan aliran FDI senilai US$ 24 miliar pada 2024, meningkat dari US$ 21 miliar pada 2023. Investasi tersebut banyak terserap di sektor strategis yang tengah berkembang pesat, seperti pengolahan mineral, energi terbarukan, hingga pusat data.

Faisol menekankan bahwa kenaikan ini bukan sekadar angka, melainkan momentum bagi Indonesia untuk mengukuhkan diri sebagai basis produksi alternatif di tengah dinamika global. “Tren ini menunjukkan Asia Tenggara termasuk Indonesia mulai menjadi lokasi yang semakin strategis bagi relokasi dan perluasan investasi global,” ujarnya.

Tren peningkatan FDI ke Asia Tenggara ini kontras dengan perkembangan di sejumlah negara berkembang lain di Asia. Data UNCTAD mencatat aliran investasi asing di kawasan Asia secara lebih luas justru mengalami penurunan sebesar 3 persen, dari US$ 622 miliar pada 2023 menjadi US$ 605 miliar pada 2024.

Temuan UNCTAD tersebut sejalan dengan data yang dihimpun Council of Foreign Relations, yang menunjukkan banyak perusahaan besar asal Amerika Serikat dan Uni Eropa mulai mengalihkan basis produksi mereka ke kawasan Asia Tenggara. “Tren ini menunjukkan penurunan tajam pangsa Tiongkok sebagai basis produksi global,” kata Faisol.

Council of Foreign Relations mencatat, pada kuartal I 2025 hanya 42 persen perusahaan yang memilih Cina sebagai lokasi produksi, jauh menurun dibanding 61 persen pada 2019. Sebaliknya, porsi Asia Tenggara melonjak dari 14 persen pada 2019 menjadi 26 persen pada 2025.

Faisol melihat pergeseran ini sebagai peluang yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk menjadi pusat produksi regional. Menurutnya, diversifikasi basis produksi menjadi langkah penting perusahaan global untuk mengurangi risiko ketergantungan pada satu negara. “Ini menjadi momentum emas bagi Indonesia untuk mengambil peran lebih besar dalam rantai pasok global,” tegasnya.

Salah satu contoh nyata relokasi industri global ke Asia Tenggara terlihat pada industri panel surya. Faisol mengungkapkan, setelah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menerapkan tarif resiprokal pada produk-produk Tiongkok, banyak produsen panel surya Cina mulai kehilangan daya saing di pasar ekspor utama mereka.

Hal ini kemudian mendorong para produsen tersebut untuk memindahkan fasilitas produksi ke negara lain di Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan termasuk Indonesia. “Kondisi ini tercermin dari penurunan nilai ekspor panel surya Tiongkok ke Amerika,” ujar Faisol.

Lebih lanjut, Faisol menilai Indonesia memiliki potensi besar sebagai alternatif lokasi relokasi produksi panel surya dari Cina. Ia mencontohkan sejumlah kemitraan strategis yang telah terjalin antara perusahaan asal Cina dengan perusahaan nasional, seperti PT Lesso New Energy yang bermitra dengan Pertamina NRE, PT Trina Mas Agra Indonesia, dan PT Thornova Solar Indonesia.

Kolaborasi tersebut menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia bukan hanya menjadi pasar, melainkan telah mulai bertransformasi menjadi pusat produksi untuk industri energi baru terbarukan. Dengan demikian, kehadiran investasi ini akan mendukung pengembangan industri hilirisasi mineral dan teknologi hijau di dalam negeri, serta memperkuat ketahanan energi nasional.

Faisol juga menegaskan pemerintah akan terus memperkuat kebijakan yang mendukung kemudahan investasi dan memperbaiki ekosistem usaha. Pemerintah, kata dia, telah menyiapkan insentif fiskal dan nonfiskal, seperti kemudahan perizinan, pemberian tax holiday, serta penyediaan kawasan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan.

“Dukungan kebijakan ini penting untuk menjaga momentum positif aliran investasi dan memastikan Indonesia mampu bersaing dengan negara lain di kawasan,” ujarnya.

Ke depan, Faisol berharap pemerintah daerah juga proaktif mendukung investasi melalui penyederhanaan perizinan, pembangunan infrastruktur pendukung, dan penyediaan tenaga kerja terampil. Dengan sinergi pusat-daerah dan perbaikan iklim investasi yang berkelanjutan, Indonesia diyakini mampu menjadi pusat manufaktur strategis di Asia Tenggara.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index