Penyebrangan

Transportasi Penyeberangan Butuh Ditjen Sendiri

Transportasi Penyeberangan Butuh Ditjen Sendiri
Transportasi Penyeberangan Butuh Ditjen Sendiri

JAKARTA - Di tengah luasnya perairan nusantara, sistem transportasi sungai, danau, dan penyeberangan di Indonesia justru masih menghadapi tantangan mendasar. Ketimpangan perhatian dan anggaran antara angkutan perairan dengan moda transportasi lain seperti darat, udara, dan laut membuat potensi besar angkutan air belum termanfaatkan secara optimal.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan perairan yang luar biasa: lebih dari 840 danau dengan luas total 7.103 km², sekitar 735 situ, dan sekitar 70.000 aliran sungai. Namun, ironisnya, transportasi di sektor ini belum mendapat prioritas kebijakan yang sepadan dengan potensinya. Hal ini menjadi sorotan tajam dari Djoko Setijowarno, akademisi dari Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat.

Menurut Djoko, selama ini perhatian terhadap transportasi sungai, danau, dan penyeberangan hanya menjadi bagian kecil dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, atau kadang dilebur ke Perhubungan Laut. Akibatnya, dengan anggaran yang terbatas, pembenahan hanya mampu dilakukan di wilayah tertentu, seperti Danau Toba, sementara kawasan lain masih terabaikan.

"Yang terjadi tetap eselon 2 beralih dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ke Direktorat Perhubungan Laut. Anggaran tidak berubah, maka hanya bisa membenahi transportasi di Danau Toba. Sementara angkutan sungai terabaikan, lantaran minim anggaran," jelas Djoko.

Ia menambahkan, aliran sungai bisa dimanfaatkan untuk mengurangi beban logistik yang selama ini terlalu bertumpu pada jalan raya. Namun, ketika proyek besar seperti Trans Kalimantan hadir, pemanfaatan angkutan sungai justru makin ditinggalkan.

Contohnya bisa dilihat di Kalimantan. Dulu angkutan logistik menggunakan jalur sungai cukup umum, tetapi kini semakin minim akibat bergesernya fokus ke infrastruktur jalan. "Mestinya minimal tetap ada logistik di angkutan sungai, supaya tidak banyak beban jalan raya mengangkut logistik," lanjut Djoko.

Ia juga menyoroti ketimpangan perhatian antara penyeberangan yang menguntungkan dengan yang melayani pulau-pulau kecil. Misalnya, akses ke Pulau Enggano yang masih terbatas atau Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) di Sulawesi Selatan yang memiliki pulau-pulau kecil namun kurang didukung angkutan penyeberangan memadai.

Menurutnya, jika beban pengoperasian penyeberangan ke pulau-pulau kecil diserahkan ke pemerintah kabupaten, maka hal itu akan menyulitkan fiskal daerah karena biaya operasional terlalu besar.

“Kalau hanya mengurus penyeberangan padat seperti Merak-Bakauheni, ya gampang. Tapi akses ke pulau kecil yang tidak menguntungkan malah luput dari perhatian,” ujarnya.

Djoko juga mengkritik budaya reaktif pemerintah yang baru memperbaiki sistem setelah musibah terjadi. Ia mencontohkan tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali yang mencuatkan lagi lemahnya keselamatan pelayaran dan sistem transportasi penyeberangan secara umum.

"Jangan terus mengulang kesalahan dan nanti mau berbenah kalau terjadi musibah yang menelan korban jiwa," tegas Djoko.

Ia menilai, modernisasi armada kapal, terutama untuk transportasi sungai dan danau, harus menjadi bagian penting dari perencanaan nasional. Saat ini, masih banyak kapal tua yang beroperasi, terutama di Kalimantan.

“Banyak kapal di aliran sungai Kalimantan itu sudah tua dan tidak layak jalan. Modernisasi kapal harus masuk ke prioritas,” tambahnya.

Djoko menyebut, keberhasilan pembenahan transportasi di Danau Toba harus dijadikan rujukan nasional. Ia mendesak pemerintah agar membentuk Direktorat Jenderal Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan secara terpisah dari direktorat lain. Ia membandingkan hal ini dengan pemisahan Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang dulu juga lahir dari DJPD.

"Kalau kereta api bisa dipisah dari Ditjen Perhubungan Darat dan berdiri sendiri, kenapa transportasi sungai dan danau tidak bisa? Kita ini negara kepulauan, bukan daratan," tegasnya.

Kebijakan yang hanya menargetkan transportasi penyeberangan lintasan besar dan menguntungkan, menurut Djoko, hanya akan memperlebar ketimpangan layanan di wilayah-wilayah terluar dan perairan terpencil. Bahkan di Jakarta, katanya, masih banyak kali yang digunakan warga untuk menyeberang, namun tidak memiliki sarana dan pengawasan dari pemerintah.

"Ironis memang kalau konteks angkutan penyeberangan hanya dimaknai lintasan padat dan dilayani kapal besar seperti Merak-Bakauheni. Butuh perenungan dan evaluasi mendalam," ujarnya.

Djoko mengingatkan bahwa sistem keselamatan pelayaran juga tidak boleh dikorbankan atas nama efisiensi. Ia khawatir praktik penghematan justru berdampak pada pemotongan anggaran keselamatan transportasi yang sangat penting dalam mencegah tragedi.

“Dengan anggaran bertambah, maka perhatian keselamatan juga harus ditambah. Bukan dengan efisiensi, maka anggaran keselamatan ikut dikurangi bahkan dipotong habis-habisan,” katanya.

Ke depan, ia berharap pemerintah tidak hanya menekankan pada integrasi moda transportasi darat dan udara saja, tetapi juga menjadikan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan sebagai tulang punggung mobilitas masyarakat dan logistik antarpulau di wilayah kepulauan.

Sudah saatnya pemerintah menjawab kebutuhan tersebut secara menyeluruh—dari kelembagaan, sumber daya manusia, hingga infrastruktur yang mumpuni.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index