JAKARTA - Di tengah upaya global untuk menstabilkan perekonomian, harga minyak dunia kembali menunjukkan tren penurunan, meskipun terdapat sinyal positif dari tercapainya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Jepang. Sentimen pasar yang masih diliputi kekhawatiran mengenai prospek perdagangan global mempengaruhi pergerakan harga minyak dalam beberapa sesi terakhir.
Minyak mentah acuan dunia mengalami pelemahan meski sempat mengalami penguatan sesaat. Harga minyak mentah Brent untuk kontrak berakhir September turun sebesar 0,7 persen menjadi USD68,10 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami koreksi sebesar 0,7 persen dan diperdagangkan pada level USD64,86 per barel.
Koreksi harga ini menandai penurunan beruntun selama tiga sesi terakhir. Salah satu penyebab utamanya adalah kekhawatiran pelaku pasar terhadap meningkatnya tensi perdagangan internasional. Dengan mendekatnya tenggat waktu pemberlakuan tarif baru dari Presiden AS Donald Trump, kecemasan akan dampak negatif terhadap aktivitas ekonomi global semakin terasa. Tarif-tarif tersebut dijadwalkan berlaku pada awal Agustus dan dikhawatirkan akan menekan permintaan energi secara signifikan.
Namun, pasar tidak sepenuhnya dilingkupi sentimen negatif. Kesepakatan dagang baru antara Amerika Serikat dan Jepang sempat memberikan dorongan optimisme. Dalam kesepakatan tersebut, Amerika Serikat sepakat untuk mengenakan tarif 15 persen terhadap seluruh barang impor dari Jepang. Angka ini lebih rendah dibandingkan usulan awal yang mencapai 25 persen. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi AS untuk memperkuat hubungan perdagangan bilateral sambil tetap menjaga kepentingan domestik.
Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Jepang sepakat untuk menginvestasikan sekitar USD550 miliar ke dalam perekonomian Amerika Serikat. Investasi ini mencakup berbagai sektor, termasuk otomotif, produk pertanian, dan energi. Selain itu, Jepang juga membuka lebih luas pasarnya bagi produk ekspor Amerika Serikat. Langkah ini dinilai mampu memperkuat sentimen positif di tengah gejolak global, serta menciptakan harapan akan peningkatan permintaan terhadap minyak mentah dan produk energi lainnya.
Meski demikian, tidak semua mitra dagang utama Amerika Serikat menunjukkan sinyal positif. Harapan akan tercapainya kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa justru meredup. Uni Eropa secara terbuka menyatakan sedang mempertimbangkan langkah-langkah balasan terhadap tarif yang diberlakukan oleh AS, menandakan potensi eskalasi dalam konflik dagang antara dua kawasan ekonomi besar dunia. Situasi ini menambah beban psikologis bagi para pelaku pasar energi yang khawatir akan dampak berkepanjangan terhadap permintaan minyak global.
Sementara itu, data dari American Petroleum Institute (API) menghadirkan kejutan positif di tengah tekanan pasar. API melaporkan penurunan sebesar 577 ribu barel dalam stok minyak mentah AS pada pekan yang berakhir 18 Juli. Penurunan ini cukup signifikan mengingat pada pekan sebelumnya terjadi lonjakan persediaan sebesar 19,1 juta barel. Data ini menunjukkan adanya potensi rebound dalam konsumsi bahan bakar, seiring dengan meningkatnya mobilitas selama musim liburan musim panas.
Selain minyak mentah, laporan API juga menunjukkan penurunan stok bensin sebesar 1,2 juta barel. Namun, untuk persediaan distilat yang mencakup bahan bakar diesel dan minyak pemanas tercatat mengalami kenaikan sekitar 3,48 juta barel. Kondisi ini dinilai masih dalam batas wajar, terutama mengingat meningkatnya permintaan energi untuk keperluan transportasi dan industri selama musim panas.
“Ini akan sedikit meringankan pasar distilat menengah, yang tampaknya semakin ketat,” tulis analis dalam catatannya. Penurunan stok bensin dan minyak mentah dianggap sebagai sinyal membaiknya permintaan dalam negeri, yang dapat menjadi bantalan terhadap tekanan harga dari sisi eksternal.
Meski fluktuasi harga minyak mentah masih sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik dan kebijakan ekonomi negara-negara besar, faktor-faktor teknikal seperti laporan stok dan data konsumsi musiman tetap menjadi komponen penting dalam membaca arah pergerakan harga ke depan. Para pelaku pasar kini menunggu perkembangan lebih lanjut dari negosiasi dagang antara Amerika Serikat dengan negara-negara besar lainnya, termasuk kemungkinan resolusi ketegangan dengan Uni Eropa.
Dalam kondisi seperti ini, stabilitas harga minyak menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, langkah diplomatik seperti kesepakatan dagang AS-Jepang membawa angin segar bagi pasar energi. Namun di sisi lain, ketidakpastian yang masih menyelimuti negosiasi perdagangan global berpotensi mengganggu ekspektasi pemulihan ekonomi dan permintaan energi secara menyeluruh.
Dengan demikian, meskipun terdapat indikator yang menunjukkan potensi penguatan, tekanan global masih mendominasi pergerakan harga minyak. Para pelaku pasar perlu tetap waspada terhadap dinamika kebijakan internasional yang sangat mempengaruhi arah perdagangan dan konsumsi energi dunia.