JAKARTA - Di balik kerja sama dagang yang terus dikembangkan antara Indonesia dan Amerika Serikat, terselip satu fakta menarik: kontribusi AS terhadap impor minyak mentah Indonesia ternyata sangat kecil. Padahal, sebagai dua negara yang telah menyepakati kerangka kerja untuk negosiasi Perjanjian Perdagangan Timbal Balik, publik mungkin menduga nilai ekspor energi AS ke Indonesia akan jauh lebih besar.
Dalam salah satu langkah konkret timbal balik kerja sama tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk menambah impor produk energi dari AS seperti Liquefied Petroleum Gas (LPG), minyak mentah, dan bensin dengan estimasi nilai hingga US$ 15 miliar. Ini merupakan bagian dari imbalan atas penurunan tarif produk Indonesia di pasar Amerika Serikat, yang kini tinggal 19% dari sebelumnya 32%.
Namun, data mengungkapkan bahwa hingga kini, kontribusi AS dalam suplai minyak mentah ke Indonesia masih sangat terbatas. Berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional (DEN), volume impor minyak mentah Indonesia dari Amerika Serikat hanya senilai US$ 431 juta, atau sekitar Rp 7,01 triliun. Angka itu setara dengan 4% dari total keseluruhan impor minyak mentah Indonesia pada tahun tersebut.
Jika dibandingkan dengan total impor minyak mentah nasional yang mencapai US$ 10,4 miliar, atau sekitar Rp 169,29 triliun (mengacu pada kurs Rp 16.278 per dolar AS), maka porsi AS memang terbilang minim.
Fakta ini menunjukkan bahwa peta ketergantungan Indonesia terhadap energi, khususnya minyak mentah, masih sangat bergantung pada sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah. Negara dengan kontribusi terbesar terhadap impor minyak mentah Indonesia adalah Nigeria.
Sepanjang satu tahun penuh, nilai impor minyak dari Nigeria mencapai US$ 2,9 miliar atau sekitar Rp 47,2 triliun. Angka itu setara dengan 28% dari total impor minyak mentah nasional. Ini menjadikan Nigeria sebagai mitra dagang utama Indonesia dalam hal pasokan energi, mengalahkan negara-negara produsen minyak tradisional lainnya.
Selanjutnya, Arab Saudi menjadi pemasok terbesar kedua bagi Indonesia. Nilai impor minyak mentah dari Arab Saudi mencapai US$ 2,05 miliar, atau sekitar Rp 33,36 triliun. Kontribusinya terhadap total impor minyak mentah Indonesia mencapai sekitar 20%.
Tak hanya Nigeria dan Arab Saudi, negara lain seperti Angola juga menempati posisi penting. Impor minyak dari negara ini tercatat sebesar US$ 1,71 miliar atau setara 17% dari total impor nasional. Gabon turut menyumbang 10% dengan nilai US$ 1,04 miliar, dan Australia dengan kontribusi sekitar 7% senilai US$ 0,75 miliar.
Sementara Amerika Serikat berada di posisi keenam, kontribusinya hanya 4% dari total impor minyak mentah Indonesia. Sisanya, sekitar 14% atau senilai US$ 1,47 miliar (Rp 23,93 triliun), berasal dari sejumlah negara lain yang tidak disebutkan secara rinci dalam laporan.
Temuan ini memberikan gambaran bahwa meskipun Indonesia menjalin kerja sama dagang yang erat dengan Amerika Serikat, terutama dalam kerangka penyesuaian tarif, kenyataannya aliran impor energi tidak serta-merta bergeser secara signifikan ke Negeri Paman Sam.
Kondisi tersebut juga mencerminkan adanya faktor lain yang mempengaruhi keputusan Indonesia dalam memilih negara pemasok minyak, mulai dari harga, kualitas minyak mentah, kecocokan spesifikasi dengan kilang dalam negeri, hingga stabilitas pasokan jangka panjang.
Secara strategis, Indonesia memang terlihat masih mengandalkan negara-negara Afrika dan Timur Tengah dalam pemenuhan kebutuhan minyak mentah. Hal ini tidak lepas dari hubungan perdagangan energi yang telah terjalin sejak lama, serta struktur pasar global yang mempengaruhi aliran komoditas.
Pemerintah sendiri terus mendorong diversifikasi sumber energi dan ketahanan pasokan nasional, termasuk melalui upaya peningkatan produksi dalam negeri serta kerja sama strategis dengan negara-negara penghasil minyak. Namun, upaya untuk mengurangi ketergantungan pada impor tentu membutuhkan waktu, investasi, dan inovasi teknologi.
Sementara itu, komitmen kerja sama dagang dengan Amerika Serikat tetap berjalan. Dalam jangka panjang, langkah ini diharapkan dapat membuka peluang lebih besar bagi produk Indonesia di pasar AS, sekaligus memungkinkan peningkatan impor energi yang lebih berimbang dan kompetitif dari pihak AS.
Meski saat ini kontribusi AS terhadap impor energi Indonesia masih tergolong kecil, tak tertutup kemungkinan bahwa proporsinya akan meningkat seiring berkembangnya kerja sama dan optimalisasi kebijakan perdagangan kedua negara.
Dalam konteks geopolitik dan energi global yang terus berubah, fleksibilitas dan strategi jangka panjang menjadi kunci utama bagi Indonesia dalam mengelola kebutuhan energinya, tanpa tergantung pada satu atau dua negara saja.
Dengan berbagai dinamika ini, publik kini memiliki pemahaman yang lebih utuh mengenai realitas di balik angka-angka perdagangan energi. Ke depan, arah kebijakan energi Indonesia akan semakin ditentukan oleh kombinasi antara diplomasi, daya saing pasar, dan ketahanan energi nasional.